HIDUPKATOLIK.COM – Mereka datang sebagai gelandangan kecil, compang-camping, bahkan telanjang, kurus, penyakitan, kotor, dan berkutu. Ada hati untuk mereka.
KONGREGASI Bruder Maria Tak Bernoda (MTB) didirikan oleh Mgr. Joannes van Hooydonk, Uskup Breda, Belanda. Sejak keterpilihannya sebagai gembala utama Breda, Mgr. Hooydonk memilih moto Simpliciter et Confidenter (Kesederhanaan dan Kepercayaan). Nilai kesederhanaan tertuang dalam sikap bersahaja dan rendah hati di hadapan orang lain. Sementara kepercayaan mau mengungkapkan bahwa ada nilai menganggap, memperhitungkan, dan menghargai sesama manusia sebagaimana citra Allah.
Kampung Kecil
Bruder Petrus Handoko, MTB dalam buku, “Penjuru Abad Baru 100 tahun Kongregasi Bruder MTB Berkarya di Indonesia” menyebutkan dua sikap ini. Mgr. Hooydonk bebas bergaul dengan siapa saja dalam membangun persaudaraan insani. Ia menata kehidupan umat dan meningkatkan corak hidup para imam. Ia mengajak para imam setia pada tri kaul, terlibat dalam retret tahunan, meditasi, dan baca Kitab Suci. Sementara kepada umat, ia terus mengajak umat giat mendaraskan Rosario, penghormatan kepada Sakramen Mahakudus, dan devosi Hati Kudus Yesus. Paroki-paroki di Keuskupan Breda, setia memperdalam Kitab Suci.
Kesetiaannya membangun keuskupan membuat umat menjulukinya, suis praefuit ac profuit pastor et pater (Ia adalah seorang gembala yang membimbing kawanan dan bapa yang melimpahkan berkatnya). Sebutan ini sungguh beralasan karena perannya bagi pengembangan iman umat dan kehidupan spiritual imamnya. Bukan semata itu, ia memiliki hati yang mendalam kepada orang-orang miskin dan anak-anak terlantar.
Di Breda ada yayasan kaum papa-miskin yang menangani anak-anak bermasalah, tapi ketersediaan tenaga pendamping sangat minim. Sementara Mgr. Hooydonk berharap anak terlantar segera mendapatkan pembinaan iman yang baik. Gagasan untuk memperhatikan anak-anak miskin dan terlantarlah menjadi benih awal kelahiran kongregasi bruder di Huijbergen.
Huijbergen, kampung kecil yang tidak terkenal. Berada di perbatasan Belanda Selatan dan Belgia. Huijbergen artinya bukit ilalang, tanah tandus berupa bukit pasir yang hanya ditumbuhi semak belukar ilalang. Huijbergen, bukan tanah misi ideal bagi tertanamnya misi Kerajaan Allah. Masyarakatnya sering menderita wabah penyakit, bencana alam, dan perang antara Belgia-Belanda. Ada juga ketegangan politik antara pemerintah Belanda yang mayoritas beragama Protestan dan penduduk Huijbergen yang Katolik.
Bencana alam dan situasi sosial-politik Belanda “menelurkan” 30 ribu lebih anak yatim-piatu. Sebenarnya ada usaha untuk menitipkan anak-anak ini pada keluarga asuh, tapi selalu saja ada keluhan baik perlakuan buruk, pemerasan, pelecehan, dan diperalat. Mgr. Hooydonk berpikir panti asuhan dan asrama adalah rumah alternatif yang dirindukan anak-anak.
Biara Wilhelmit
Kerinduan untuk memiliki rumah itu terjawab. Di Huijbergen ada sebuah biara pertapaan milik para Rahib Wilhelmit. Para Wilhelmits telah bubar abad 19, tetapi di Huijbergen masih ada seorang rahib bernama Wilhelmus van den Berg dari Kalmthout, Belgia. Bangunan tua rusak ini memiliki tiga lantai dan sebuah gereja dengan tanah luas untuk perkebunan, pertanian, dan peternakan.
Tanggal 29 Desember 1847, Wilhelmus menyerahkan pertapaannya itu ke Mgr. Hooydonk sesuai keputusan Kongregasi Propaganda Fide Vatikan. Kepindahannya ke Bornem, Belgia menjadi pintu masuk bagi Mgr. Hooydonk untu membangun Kongregasi Bruder MTB, sebuah Ordo Ketiga Regular Fransiskan.
Rob Wolf dalam catatan, “Ujung-ujung Dunia Bruder MTB (1854-2004)” menceritakan awalnya biara para rahib untuk mendirikan kongregasi Bruder MTB, tetapi kebutuhan rumah bagi anak yatim-piatu mendesak. Selain itu, di Huijbergen sudah ada Kongregasi Bruder Santo Aloysius (CSA) yang didirikan oleh Pastor H. Hellemons. Bruder CSA memiliki cita-cita yang sama dengan Mgr. Hooydonk melayani anak-anak. Maka sang uskup menyerahkan biara tersebut kepada Bruder CSA.
Tanggal 5 Maret 1849 diutuslah Bruder Dionysius, CSA dan Bruder Yoannes, CSA ke Huijbergen. Seraya mempersiapkan tempat yang layak, Mgr. Hooydonk mengeluarkan surat edaran kepada pastor paroki untuk mengirimkan anak-anak ke Huijbergen. Menjelang akhir tahun 1849, datanglah berbondong-bondong kawanan anak miskin yang sudah bertahun-tahun terlantar. Mereka datang sebagai gelandangan kecil, compang-camping bahkan telanjang, kurus, penyakitan, kotor, dan berkutu.
Pada awalnya pelayanan ini berjalan lancar, tetapi kedua bruder mulai jengkel dengan perilaku anak-anak yang katanya tidak tahu aturan; hidup seperti “anjing-anjing liar” dan berkelahi seperti kucing. Situasi ini ditambah hubungan Mgr. Hooydonk dan Pastor Hellemons soal corak hidup berasrama kurang harmonis. Akhirnya para Bruder CSA ditarik dari asrama itu, meninggalkan 30 anak yatim-piatu tanggal 21 Juli 1852.
Misi Singkawang
Tanpa berlarut-larut, Mgr. Hooydonk menerima dua pemuda dari Roosendaal; Petrus Karremens (38 tahun) dan Jan Brouwels (19 tahun) untuk menggantikan tugas Bruder CSA. Sebulan kemudian datang lagi Henk Claeren (17 tahun) dari Afferden, Belanda. Ketiga pemuda ini menjadi biji sesawi lahirnya Kongregasi Bruder MTB di Hujibergen dengan fokus pelayanan yaitu merawat yatim-piatu; mengolah bukit pasir menjadi taman dan hutan rindang; serta mengelola sekolah Santa Marie.
Bak jamur di musim hujan, kongregasi ini bertumbuh pesat di bidang pendidikan dan asrama. Tidak saja di Huijbergen tapi merambat ke Breda (1890), di Oosterhout (1895), lalu di Bergen op zoom, terakhir di Hulst, Belgia. Dari tiga bruder, berkembang menjadi enam, lalu antara tahun 1980-1902 bertambah menjadi 35 bruder.
Misi ini belum selesai. Roh Kudus bekerja saat Kapitel Umum MTB yang merekomendasikan kemungkinan misi di Indonesia. Tahun 1920 Vikaris Apostolik Borneo saat itu, Mgr. Jan Pacifus Bos, OFM kala kunjungan ke Belanda pernah menawarkan para bruder untuk membuka misi di Indonesia. Mgr. Pacifus menawarkan sekolah dan asrama Santo Dyonsius di Singkawang yang akan diambil pemerintah kolonial Belanda.
Pemimpin Umum Bruder MTB, Bruder Silvester de Maat (1911-1939) menerima tawaran ini dengan senang hati seraya membuka pendaftaran bagi para bruder. “Singkawang, Singkawang, siapa yang mau ikut ke San Khew Djong,” demikian Bruer de Maat. Dari sekian bruder yang mendaftar, para petinggi memilih lima bruder yaitu Bruder Canisius van de Ven, Bruder Seraphinus van Tilborg, Bruder Maternus Brouwers, Bruder Longinus van Spreeuwel, dan Bruder Leo Geers.
Tanggal 21 Januari 1921, dengan diiringi teriakan San Khew Djong, kelima bruder berangkat menuju “tanah harapan” Singkawang, Borneo menumpangi kapal uap Patria. Di tanah asing itu, mereka ingin membagikan cerita indah tentang kasih Tuhan di Tanah Borneo.
Mereka terus bertahan menebar kasih hingga kini menggapai 100 tahun karya di Indonesia.
Kesalehan Hidup sejak Kecil
Mgr. Joannes van Hooydonk lahir di Desa Nostel, Kota Ulvenhout, Nieuw Ginneken, Belanda, 2 Agustus 1782. Orangtuanya Adrian Michels van Hooydonk dan Sijke Pebergen. Adrian adalah seorang petani dan pemimpin umat Katolik yang terpandang di Ulvenhout. Sejak kecil anak keempat dari enam bersaudara ini sudah diajarkan kesalehan hidup. Doa rosario dan penghormatan kepada Sakramen Mahakudus menjadi kebiasaan rutin keluarga Hooydonk.
Ia menghabiskan masa kecilnya bersama keluarga hingga umur 17 tahun. Ia gemar membantu orangtua di ladang dan aktif dalam hidup menggereja. Tahun 1799, ia belajar di Oosterhout memperdalam bahasa Latin. Setahun kemudian, melanjutkan ke seminari Ypelaar, Belanda untuk belajar filsafat dan teologi. Tahun 1808 Frater Hooydonk ditahbiskan menjadi imam diosesan di Amsterdam.
Tugas perdananya sebagai dosen teologi di Seminari Ypelaar. Karena kesalehannya dan kecakapannya menyampaikan ilmu ditambah pandai bergaul dengan orang muda ia diangkat menjadi rektor di seminari tersebut. Tahun 1817, ia memindahkan seminari ke Bovendonk.
Ketika Vikaris Apostolik Breda, Adrianus van Dongen meninggal tahun 1826, Paus Leo XII menetapkan Pastor Hooydonk sebagai Administrator Apostolik Breda, 1 Mei 1827. Tanggal 18 Juni 1842, Pastor Hooydonk diangkat sebagai Pejabat Uskup Breda, lalu tanggal 4 Maret 1853, ia diangkat sebagai Uskup Breda. Ia tercatat sebagai gembala pertama sejak peralihan dari Vikariat Apostolik menjadi Keuskupan Breda.
Yusti H. Wuarmanuk
HIDUP, Edisi 49, Tahun ke-49, Minggu, 5 Desember 2021