Diusir dari Cina, ‘Terdampar’ di Indonesia

711
Delapan Misionaris Xaverian yang pertama datang ke Indonesia tahun 1951. (Dok. SX)

HIDUPKATOLIK.COMSetelah 70 tahun, wajah SX Provinsi Indonesia berubah dari wajah Italia menjadi wajah yang lebih Indonesia.

SERIKAT Xaverian (SX) didirikan Guido Maria Conforti, Uskup Parma, Italia tahun 1895. Pada awal pendiriannya, serikat ini bertujuan melanjutkan karya misi St. Fransiskus Xaverius mewartakan Injil di negeri Cina. Karya di Cina mengalami banyak tantangan sampai akhirnya berakhir dengan pengusiran semua misionaris dari negeri tirai bambu itu saat Partai Komunis berkuasa. Tidak disangka peristiwa menyedihkan itu justru menjadi sarana pengembangan karya misi di Asia, khususnya di Indonesia.

Diusir dari Cina tahun 1951, delapan misionaris Xaverian, tidak kembali ke tanah air mereka, Italia, tetapi berlayar menuju Indonesia. Kedelapan misionaris itu adalah Vicenzo Capra, Oddo Galeazzi, Antenore Nardello, Lorenzo Lini, Pio Pozzobon, Pietro Spinabelli, Mario Boggiani, Aurelio Canizzaro. Mereka berlabuh di Belawan, Medan, Sumatra Utara, 24 Juli 1951, lalu menuju Padang, Sumatera Barat untuk memulai sejarah karya di bumi Indonesia.

Waktu itu, karya misi di Padang dipegang oleh para imam Kapusin (OFMCap) dari Belanda. Tahun 1952, para Kapusin ditarik ke pusat keuskupan, yakni Medan. Padang, saat itu merupakan wilayah Vikariat Apostolik, diserahkan sepenuhnya kepada Xaverian.

Tahun 1953, status gerejani Padang diubah dari Vikariat Apostolik menjadi Prefektur Apostolik. Takhta Suci mengangkat Mgr. Pasquale de Martino SX, sebagai Prefek Apostolik Padang, yang tiba di Padang tahun 1953. Seiring berjalannya waktu, Gereja semakin berkembang dan menjadi mandiri. Tanggal 3 Januari 1961 statusnya diubah menjadi keuskupan. Uskup pertama, Mgr. Raimondo Bergamin, SX.

Melbarkan Sayap

Padang waktu itu adalah sebuah daerah seluas 133.000 km persegi dan berpenduduk 3,5 juta jiwa. Dari jumlah itu hanya terdapat kurang lebih 2.000 orang Katolik. Dari Padang Xaverian meluaskan karya pelayanannya ke daerah Riau. Mula-mula di Kepulauan Riau (Bengkalis, Selat Panjang dan Bagansiapi-api). Tahun 1952 menetap di Pekanbaru, waktu itu tidak lebih dari sebuah kampung.

Tahun enam puluhan jumlah Xaverian dari Italia kian bertambah sehingga bisa mulai berkarya di Air Molek dan Rengat (Indragiri). Umat di daerah ini kebanyakan kaum pendatang dari etnis Thionghoa, Jawa, dan Batak. Tahun 1980an, kian berkembang seiring adanya gelombang transmigrasi orang Jawa ke daerah Riau, baik yang diprakarsai pemerintah, maupun transmigrasi spontan dari Sumatra Utara.

Misi Gagah Berani

Terobosan terbesar adalah membuka misi di Kepulauan Mentawai tahun 1954.  Kepulauan ini terletak 100 km di sebelah Barat Sumatera. Waktu itu belum pernah dijamah misi Gereja Katolik. Kepulauan Mentawai saat itu adalah daerah yang masih terisolir.  Kehidupan penduduk sepenuhnya tergantung pada alam. Tahun 1954 terbentuklah Paroki Siberut, menyusul Sikakap (1958), Sipora (1962) dan Sikabaluan (1969). Xaverian memusatkan karya dalam bidang pendidikan, kesehatan, sosial, dan katekese. Dibuka sekolah-sekolah sederhana di kampung-kampung dan merintis kader-kader pendidik dengan membangun beberapa asrama anak sekolah dan ketrampilan untuk wanita. Di asrama-asrama, putra-putri Mentawai mendapatkan pendidikan tulis-menulis dan ketrampilan lainnya. Di bidang kesehatan, Xaverian mendapat bantuan dari Suster-suster Ausiliarie Laiche Internazionali (ALI) yang membuka poliklinik-poliklinik.

Pastor Antonius Wahyudianto, SX (paling kanan) menjalankan karya Xaverian di Mentawai. (Dok SX)

Karya di Sumatera Utara

Tahun 1975 Uskup Agung Medan, Mgr. Van den Hurk, OFMCap meminta bantuan Xaverian untuk melayani umat di Sumatra Utara bagian Timur. Di kawasan ini tersebar luas umat Katolik suku Batak.  Xaverian memegang paroki di Kisaran, Tanjung Balai dan Aek Nabara.

Tahun 1981 Xaverian memperluas pelayanan di Keuskupan Sibolga. Atas undangan Mgr. Anicetus B. Sinaga OFM Cap, Uskup Sibolga waktu itu, Xaverian diminta melayani umat di Pulau Nias. Di sini, Xaverian dihadapkan pada tantangan yang tidak kecil, medan yang sulit dan 650 buah stasi di pedalaman.

Kehadiran di Pulau Jawa

Tahun 1970 Xaverian memulai karya di Jakarta. Awalnya hanyalah keingian membangun rumah singgah bagi misionaris yang datang dan pergi. Uskup Agung Jakarta waktu itu, Mgr. Leo Soekoto, SJ memberikan izin pendirian rumah singgah dengan syarat harus bersedia melayani di Jakarta.  Mulailah karya di Paroki Toasebio disusul pembentukan Paroki Pluit, Paroki Pademangan, dan Paroki Bintaro.

Tahun 1985, dimulai bidang karya baru, yakni pendidikan calon misionaris dari kalangan pemuda Indonesia.  Rumah pendidikan pertama di JI. Cempaka Putih Raya No. 42, dengan jumlah calon perdana 10 pemuda Indonesia.  Wisma ini tidak jauh letaknya dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, tempat calon imam dari berbagai kongregasi menjalani studi filsafat.

Tahap pendidikan yang dilakukan di Jakarta meliputi pendidikan pra-novisiat (postulan), novisiat dan Skolastikat Filsafat.  Berhubung di Jakarta waktu itu belum ada sekolah tinggi teologi Katolik, maka pendidikan teologi dilanjutkan ke Kentungan, Yogyakarta. Untuk itu didirikan rumah frater teologan. Tahun 2003 dibuka pula Tunas Xaverian, pendidikan para lulusan SMA dan sederajat yang mau bergabung dalam keluarga Xaverian.

Mgr. Vitus Rubianto Solichin, SX (pakai mitra) bersama para pastor dan frater Xaverian di Wisma Xaverian, Jakarta. (Dok SX)

Setelah 70 tahun, wajah SX Provinsi Indonesia juga berubah dari wajah Italia, menjadi wajah yang lebih Indonesia. Yang cukup menggembirakan wajah Indonesia ini masih diwarnai wajah “miniatur Indonesia” dengan adanya para Xaverian dari berbagai suku (Jawa, Thionghoa, Batak, Nias, Flores, Bali, Mentawai dan Manado). Saat ini sudah ada 45 yaul kekal (1 uskup, 42 imam, 2 bruder, 1 diakon) yang tersebar di seluruh dunia: 10 di Afrika, 28 di Asia, 5 di Benua Amerika, 2 di Benua Eropa. Sementara itu rajawali muda masih cukup menjanjikan di masa yang akan datang yaitu 37 frater (19 teologan di luar negeri, 17 filosofan, 1 frater TOM).

Tantangan ke Depan

Kehadiran Xaverian di Indonesia mengalami berbagai macam tantangan. Tantangan dirumuskan dalam Kapitel Provinsi XVII.

Pertama, kesetiaan kepada kharisma misi ad gentes. Konstitusi menegaskan, tujuan tunggal dan khusus adalah memperkenalkan Kristus kepada orang-orang yang belum mengenal-Nya.  Misi ad gentes saat ini sedang menjadi bahan diskusi yang hangat di kalangan Xaverian.

Misi ad gentes juga mengandaikan kebutuhan dasar untuk membangun dialog dengan liyan (perjumpaan dengan orang yang berbeda suku, budaya dan agama). Ini menjadi tantangan besar saat ini ketika politik indentitas berkembang dan meningkatnya fundametalisme agama di beberapa tempat. Xaverian diajak untuk kian giat dalam dialog kehidupan, juga dalam tataran konkret: belajar bahasa setempat, berinisiatif menjumpai orang-orang dari suku, budaya dan agama lain.

Kedua, reposisi personel dalam lima sampai sepuluh tahun ke depan. Perkembangan anggota yang berasal dari Indonesia cukup menggembirakan. tetapi pada saat yang sama, Propinsi Xaverian Indonesai harus rela “berbagi” personel dengan negara-negara lain yang kekurangan. Dengan semakin merosotnya panggilan imam di Eropa, Xaverian dari Indonesai menjadi tulang punggung di daerah-daerah misi di berbagai belahan dunia.

Ketiga, kolaborasi dengan kaum awam untuk mewujudkan misi ad gentes. Sosok misionaris zaman sekarang bukan lagi sosok superman atau sinterklas yang serba bisa dan serba ada tapi sosok yang mau hadir di tengah-tengah hiruk-pikuk dunia, mengenali dunia dan terlibat di dalamnya untuk mewujudkan Kerajaan Allah. Para Xaverian, sebagai misioanaris ada gentes diharapkan menjadi ahli-ahli kolaborasi dengan umat awam di dalam pewartaannya.

Sebuah Harapan

Tema yang diambil dalam perayaan 70 tahun adalah “Menuju pastoral ad gentes yang inovatif”. Ada dua hal pokok yang mau direnungkan bersama dalam tema ini. Pertama, misi ad gentes, yang merupakan DNA seorang Xaverian, semakin disadari sebagai panggilan luhur yang harus dihayati secara radikal dan gembira hati oleh semua anggota. Berkarya di Indonesia yang merupakan negara dengan jumlah umat Muslim terbesar di dunia, bagi Xaverian, membawa harapan yang besar pula.

Kedua, misi ad gentes perlu dihayati dalam terang masa kini, yaitu hasrat yang kuat untuk setia kepada kharisma kongregasi dengan disertai kemampuan mendengarkan suara Roh Kudus dalam membaca “tanda-tanda zaman”. Kata “inovatif” memberi tekanan pada usaha kreatif mencari cara-cara terkini yang relevan untuk mewujudkan misi ad gentes ini.

Pastor Beben, SX (pakai stola hijau) di Aire Sacrée, Chad. (Foto: Dok SX)

Romo Harno Leonardus, SX, Ketua Panitia Perayaan 70 Tahun Serikat Xaverian di Indonesia

HIDUP, Edisi No. 48, Tahun ke-75, Minggu, 28 November 2021

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini