HIDUPKATOLIK.COM – Kegalauan sempat membekapnya. Sejurus kemudian, cahaya terang menuntunnya.
“ADUH! Mati aku!” Dokter Krismini seperti disengat lebah. Wajah pemilik nama lengkap dr. Caecilia Krismini Dwi Irianti, MARS ini tertangkap kamera dan ditayangkan di layar lebar di tepi lapangan Markas Besar TNI Angkatan Darat, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Pasalnya, airpods di telinganya tampak dengan jelas. Awalnya ia tak menduga hal itu terjadi karena ia dengan sengaja mengenakan giwang. Ternyata tidak. Sebagai Wakil Ketua Umum Persit, saat itu ia menghahadiri sebuah upara serah terima jabatan (Sertijab). Ia berdiri di sebelah Ketua Umum Persit (Istri Kasad).
Dokter Kris – sapaannya — tersentak. “Sambil bekerja, ya Mbak,” bisik Ibu Kasad pendek.
Mendengar itu, Kris salah tingkah.
“Siap, Ibu! Izin…. Siap salah!” jawabnya dengan muka padam. Ia sadar, empat kata dari Ketum itu sudah lebih dari cukup sebagai teguran halus namun dalem. Sejak kejadian itu, Kris tak pernah lagi mengikuti upacara sambil mengikuti rapat secara online.
Kris memang berhadapan dengan dilema. Sebagai istri seorang pejabat tinggi di TNI AD, di satu sisi ia harus mengikuti acara-acara penting kedinasan sang suami. Di sisi lain, ia adalah Direktur Medik Rumah Sakit Carolus. Kendati ia sudah diberi keleluasaan oleh pimpinan Perhimpunan Santo Carolus (PSC), namun, batinnya berbisik lain.
Diberi kelonggaran itu, Kris justru makin merasa tak elok. Ia memegang teguh prinsip, jangan setengah-setengah dalam bekerja. Di rumah sakit berlebel Katolik ini, 24 tahun ia telah mendedikasikan dirinya tanpa batas. Rumah Sakit yang dikelola Suster-suster Carolus Borromeus (CB) ini telah memberinya banyak hal yang tak terhitung secara material. “Pelajaran tentang nilai-nilai kehidupan yang tidak pernah aku dapatkan di bangku sekolah/kuliah,” ujarnya.
Dalam kesendirian, Kris termenung. Mendengar bisikan terdalam batinnya. Apakah akan meneruskan ‘perlombaan’ ini hingga garis finish atau mengambil jalan lain. Ia butuh waktu dan pikiran yang jernih. Tak semudah membalik telapak tangan.
Karier sang suami moncer. Bila dihitung-hitung, sejak bintang satu bertengger di pundak suami, tak lama kemudian menjadi bintang dua, dan kini bintang tiga. Dan, diberi amanah menjadi Kepala RSPAD Gatot Subroto. Rumah sakit paling bergengsi, tempat para presiden/wapres dan pejabat tinggi negara dirawat bila mengalami gangguan kesehatan. Jabatan Kris sebagai Direktur Medik Rumah Sakit Carolus masih tersisa setahun lagi. “Aku galau dan bingung. Kusampaikan kegalauanku kepada Suster CB yang duduk sebagai Sekretaris PSC. Suster mengatakan, saya menjabat sampai masa jabatan berakhir tahun depan. Apalagi aku belum menyiapkan pengganti,” ujar istri Letnan Jenderal TNI dr. Albertus Budi Sulistya, SpTHT-KL, MARS ini.
Hati dan pikiran ibu dua anak ini gundah. Melepas atau memutus hubungan dengan Carolus. 24 tahun lalu ia melamar untuk bekerja di sini. Setelah melalui proses test yang cukup panjang dan berliku, ia diterima. Awalnya sebagai dokter umum. Dokter ingusan. Kadang ia dikerjaian pula oleh senior-seniornya.
Suatu saat ia dipandang sebelah mata oleh seorang dokter senior ketika ia ditugaskan sebagai dokter jaga di UGD. Pertama kali mendapatkan pasien gawat, ia panik. “Aku bingung mau ngapain. Perawat UGD juga sepertinya enggak yakin dengan aku yang baru pertama kali jaga,” kenangnya. “Kamu tuh sudah lulus klinik belum sih,” hadik dokter senior dari seberang telepon.
“Betapa sakit hatiku dibilang belum lulus klinik,” ujar Kris. Namun, sebagai dokter muda, semangatnya enggak mau dipatahkan hanya oleh ucapan pedas seperti itu. Bekerja di Carolus adalah pilihannya. Sebelum diterima di Carolus, sebetulnya ia telah diterima di sebuah rumah sakit swasta lain. Proses di sana lebih singkat. Enggak bertele-tele. Pendapatan lebih menjanjikan.
Carita lain lagi ketika Kris sudah didapuk sebagai Kepala Humas. Ia harus menangani sebuah kasus pasien yang sudah menggunakan jasa pengacara. Keluarga pasien mengira, kematian terjadi karena salah penanganan di Carolus. Padahal tidak seperti itu.
Keluarga datang bersama pengacara ke Humas. “Rasanya dunia seperti mau kiamat. Mukaku berasa panas. Jantungku berlari. Namun seorang stafku menasihati, aku harus bersikap tenang. Aku ngaca dulu. Aku tambahkan sedikit bedak di mukaku supaya agak segar, lalu aku coba tersenyum,” tutur Kris mengingat peristiwa yang menguras pikiran dan tenaganya waktu itu. Kasus ini sempat deadlock. Namun, berakhir dengan cara yang amat sederhana. Keluarga pasien sebetulnya tidak mau menuntut tetapi karena dipanas-panasi pengacara saja. “Kasus ini kami selesaikan di depan toilet bersama keluarga tanpa kehadiran pengacara arogan itu,” tutur Kris tersenyum.
Menjaga Reputasi
Mungkin separuh nyawanya sudah Kris berikan pada Carolus. Namun, untuk kesekian kalinya ia harus berlapang dada. Kali ini datang dari belahan jiwanya.
Carolus mengembangkan sayap dengan menggandeng sebuah pengembang ternama di kawasan Serpong, Tangerang Selatan. PSC menunjuk Kris sebagai kepala proyek pembangunan mewakili Direksi Carolus. Bekerja sama dengan pengusaha, insinyur, teknisi bukanlah perkara mudah. Namun, semua rintangan itu dijabani Kris hingga berdiri sebuah rumah sakit di Provinsi Banten. Kris lega. Sebuah kepercayaaan ia tuntas. Tak ia sangka-sangka, Direktur Utama Carolus Jakarta menawarinya menjadi kepala rumah sakit yang baru ini dengan gaji tiga kali lipat. Jantungnya berdegub. Ia tak memberi jawaban seketika. Konsultasi dengan sang suami. Setelah memberitahu tawaran itu, sang suami berkata lain. Jarak Carolus Serpong terlalu jauh dengan rumah tinggal mereka di kawasan Bekasi. Lebih dari itu, anak-anak yang sudah beranjak dewasa membutuhkan perhatian sang bunda.
Mendengar itu Kris menarik napas panjang kendati kemudian ia menerimanya. Itu artinya, ia harus kembali ke Carolus Jakarta setelah sekian lama menangani proyek pembangunan Carolus Serpong.
Bekerja di Carolus, bagi Kris, memang bukan lagi soal mendapatkan upah yang pantas. Sejak ia memilih untuk bekerja di sini, ia sadar, bahwa ia ingin mengabdikan ilmunya (baca: dirinya) melayani orang sakit. Dan, untuk orang-orang yang bekerja bersamanya. Bila ada hal-hal yang tak sesuai dengan nuraninya sebagai orang yang beriman kepada Kristus, ia akan bersuara lantang. Termasuk bila ia pun harus diPHK karena memperjuangkan nasib karyawan kecil yang mendapat perlakuan semena-mena. Ia pun akan membela Manajemen Carolus bila ada karyawan yang ingin ‘menghancurkan’ Rumah Sakit ini dari dalam. Baginya Rumah Sakit ini adalah salah satu wajah Gereja Keuskupan Agung Jakarta.
Pinsil
Aku hanya pinsil di tangan-Nya. Meminjam kata-kata Ibu Teresa dari Kalkuta, India. Dokter Kris mungkin juga hanya pinsil di tangan-Nya namun pinsil yang jauh lebih kecil dibandingkan sang santa.
“Seluruh hidup saya merupakan penyelenggaraan Ilahi. Yang saya tulis di buku (Undtold Story, Red.) hanya sebagian saja. Tuhan telah menyelamatkan Carolus hingga saat ini masih survive, di umur menjelang 103 tahun, 21 Januari 2022 nanti, meskipun pernah ada issue slow death,” ujar Kris.
Carolus sendiri, bagi Kris, adalah penyelenggaraan Ilahi. “Masa pandemi ini merupakan masa sulit bagi semua institusi, tetapi Carolus bisa melaluinya,” tambahnya.
“Bukan hebatnya saya sehingga Carolus menjadi seperti sekarang. Saya bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Saya hanya satu dari sekian puluh ribu orang yang boleh mengalami dan menyaksikan kehebatan Ilahi, bahkan mengalami 24 tahun menjadi bagian dari karya pelayanan di Carolus,” katanya.
Setelah 24 tahun menjadi pinsil-Nya di sini, Kris akhirnya berujar, “Selamat tinggal Carolusku tercinta. Engkau akan selalu di hatiku selamanya. Engkau adalah bagian dari hidupku selama sepertiga umurku, dan seperempat abad waktuku.”
Kris berharap, semoga Carolus tetap menjadi tempat yang diberkati. Tempat para pasien mendapatkan pelayanan yang dibutuhkan, tetap menjadi ladang Tuhan, tempat penyelamatan nyawa berlangsung dan cinta kasih kepada sama dilakukan oleh semua roang yang berkerja di dalamnya.
F. Hasiholan Siagian
HIDUP, Edisi 46, Tahun ke-75, Minggu, 14 November 2021