Perkembangan Izin 11 Rumah Ibadah Non Muslim di Aceh Singkil

232
Para Pembicara dan Peserta Lokakarya foto bersama seusai acara. (Dok. bimaskatolik.kemenag.go.id)

HIDUPKATOLIK.com – PERIZINAN 11 rumah ibadah non Muslim di Aceh Singkil yang disepakati pada Oktober 2015 diharapkan tetap menggunakan Peraturan Gubernur Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah. Demikian salah satu hasil Lokakarya Hak atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang diadakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI Komnas HAM RI, pada Kamis-Jumat, 19-20/1/2017, di Subulussalam, Aceh seperti dilansir bimaskatolik.kemenag.go.id, Senin, (23/1/2017).

Hadir sebagai pembicara dalam Lokakarya ini Ketua Komnas HAM RI Dr. Imdadun Rahmat, Kepala Dinas Syariat Islam Aceh dan juga Guru Besar UIN Ar-Raniry Banda Aceh Prof. Dr. Syahrizal Abbas, MA, dan Koordinator Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) Komnas HAM, Dr Jayadi Damanik. Sedangkan peserta yang hadir berasal dari jajaran Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil (Perwakilan Kodim, Polsek, Kakan Kemenag), Pemerintah Provinsi Aceh, Kementerian Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, dan Kementerian Agama RI.

Dalam Lokakarya itu, menjawab salah satu pertanyaan dari peserta Imdadun Rahmat menegaskan bahwa sesuai kesepakatan dan pembicaraan resmi dengan Plt. Bupati Aceh Singkil, pada 18 Januari 2017 di rumah dinas Bupati pada pukul 21.00-22.00 WIB, maka proses perizinan pendirian 11 gereja tetap berdasarkan pada Peraturan Gubernur Nomor 25 Tahun 2007, “Mengingat proses perizinan 11 gereja itu telah dikeluarkan sejak Oktober 2015 sebelum Qanun (Red. Qanun nomor 4 Tahun 2016). Ini harus dipegang bersama,” ujarnya.

Lanjut Imdadun, hak-hak internum setiap individu yang tidak bisa dikurangi adalah hak untuk mengimani dan memilih satu agama. Selain hak-hak internum ada pula hak-hak yang bisa diatur cara menikmati dan melaksanakannya, tetapi tidak bisa dihilangkan secara keseluruhan.

Terkait dengan hal itu Prof. Dr. Syahrizal Abbas, MA juga sepakat bahwa hak atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) tidak bertentangan dengan Syariat Islam, bahkan nilai-nilai dan sejarah peradaban Islam mendukung pelaksanaan prinsip kebebasan beragama dan berkeyakinan. Ia juga mengapresiasi langkah Komnas HAM dalam mengadakan pertemuan Lokakarya untuk membicarakan sisi normatif dan praktik Syariat Islam di Aceh dalam kaitannya dengan kebebasan beragama hari itu.

Sebagai pembicara berikutnya, Dr Jayadi Damanik memaparkan tiga temuan Komnas HAM berkaitan dengan masalah KBB yang muncul di Aceh Singkil. Tiga masalah itu adalah soal pendirian rumah ibadah, pendidikan agama peserta didik di sekolah, dan hak-hak penghayat kepercayaan misalnya kepercayaan Parmalim. Dari pantauan Jayadi Damanik tentang kondisi di Kabupaten Aceh Singkil ini, ia merekomendasikan beberapa hal, antara lain: Satu, pendirian rumah ibadah non Muslim di Aceh Singkil, termasuk untuk kelanjutan pendirian rumah ibadah di Aceh Singkil yang telah memperoleh Rekomendasi Kemenag dan FKUB setempat, merujuk pada PBM No.9/8 Tahun 2006, setidaknya merujuk pada Pergub No. 25/2007; Kedua, Qanun Nomor 4 Tahun 2016 tidak dapat diterapkan sebagai dasar hukum pendirian rumah ibadah non Muslim di Aceh, termasuk di Aceh Singkil; Ketiga, apabila hendak mengatur secara khusus pendirian Rumah Ibadah Muslim di Aceh, maka pengaturannya dapat dengan Qanun, tetapi Qanun tidak dapat mengatur pendirian rumah ibadah non Muslim, sebab pengaturan (pembatasan) hak asasi manusia hanya dapat dilakukan dengan UUD 1945.

Turut hadir dalam Lokakarya ini, Direktur Urusan Agama Katolik, Sihar Petrus Simbolon. Dalam sambutannya, ia menyampaikan ucapan terimakasih kepada Komnas HAM RI yang mengikutsertakan Ditjen Bimas Katolik. “Saya mengucapkan terimakasih kepada Komnas HAM, karena kami diikutsertakan. Saya banyak belajar dari Lokakarya ini. Kesan saya, seluruh peserta yang hadir, baik pejabat pemerintah dari Pusat maupun Daerah punya rasa cinta dan keadilan, dan bertekad menyelesaikan persoalan di Aceh Singkil agar umat beragama dapat beribadat dengan tenang dan aman. Sebagai Direktur Urusan Agama Katolik, saya berdoa dan memohon agar umat beragama di Aceh Singkil segera mendapat izin 11 rumah ibadah mereka,” harapnya.

Di akhir pertemuan, peserta Lokakarya merumuskan masukan untuk Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil, yaitu: Pertama, melanjutkan proses penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) pendirian rumah ibadah untuk 11 rumah ibadah setelah Pilkada di Aceh Singkil berdasarkan Pergub. Nomor 25 Tahun 2007; Kedua, berupaya memfasilitasi guru agama selain Islam di sekolah-sekolah Negeri atau setidaknya tidak memaksakan pendidikan agama Islam kepada anak-anak yang menganut agama lain; Ketiga, memberikan jaminan hak atas identitas kependudukan, termasuk dokumen kependudukan dan layanan publik kepada penganut kepercayaan di Aceh Singkil.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini