Staf Dewan Kepausan untuk Dialog Antarumat Beragama, Pastor Markus Solo Kewuta, SVD: Kita Butuh Terowongan dan Jembatan, Bukan Tembok Pemisah (2)

252
Wapres KH Ma'ruf Amin (tengah) saat meninjau terowongan yang menghubungkan Masjid Istiqlal dan Katedral Jakarta (Foto: Humas KAJ)

HIDUPKATOLIK.COM – TEROWONGAN yang menghubungkan Masjid Istiqlal dan Katedral Jakarta telah rampung. Wakil Presiden RI, Ma’ruf Amin sudah melewatinya saat berkunjung ke Katedral baru-baru ini. Terowongan yang disebut sebagai Terowongan Silaturahmi ini kian mengukuhkan dialog yang kian mendalam antarumat beragama di Tanah Air. Terkait dengan hal ini, hidupkatolik.com mewawancarai Pastor Markus Solo Kewuta SVD, Staf Dewan Kepausan untuk Dialog Antarumat Beragama, Desk Islam di Asia dan Pasifik, dan Wakil Presiden Yayasan Nostra Aetate di Takhta Suci Vatikan. Sebagian wawancara ini telah dimuat di Majalah HIDUP, Edisi No. 43, Tahun ke-75, Minggu, 24 Oktober 2021. Kami akan menurunkan wawancara ini dalam tiga seri secara bersambung.  Berikut seri kedua:

Dalam konteks Indonesia, bagaimana Pastor melihat progres kerukunan antarumat beragama di Indonesia?

Indonesia memiliki situasi relasi lintas agama, terutama antara umat Kristiani dan umat Islam dengan dinamika pasang-surut yang tidak menentu. Sering peristiwa-peristiwa politik turut menentukan naik-turunnya relasi antarkedua agama. Kecendrungan yang tidak bagus adalah mempolitisir agama atau membalut segala sesuatu dengan bungkusan agama. Ini pertanda kurang ada respek dari manusia terhadap yang sakral. Sesuatu yang sakral tidak bisa diperjualbelikan atau digadaikan dengan ambisi-ambisi pribadi. Ketika yang sakral kehilangan kualitasnya, agama tidak lain hanya sebagai bahan perjudian, apalagi kalau pada akhirnya menerima uang haram dari perjudian tersebut.

Kerukunan kita di Indonesia dalam sejarah yang panjang dibangun di atas prinsip toleransi (teposeliro). Prinsip ini hemat saya sudah banyak kehilangan khasiatnya karena banyak kali disalahgunakan. Banyak orang belum atau tidak bersedia hidup bersama orang beda agama dan etnik, merasa tersiksa di dalam bathin, lalu membiarkan situasi yang ada berlangsung dan mendefenisikannya sebagai sebuah toleransi.

Dengan demikian, mentalitas eksklusif atau penolakan terhadap yang berbeda akan tetap ada, dan sejauh itu rasa sakit atau terganggu karena perbedaan akan selalu hadir. Tidak ada relasi di antara yang berbeda karena tidak ada kesediaan untuk menerima perbedaan, adalah halangan paling besar. Mereka membutuhkan banyak edukasi, input-input konstruktif dari tokoh-tokoh agama dan berbagai pihak untuk membawa mereka keluar dari kegelapan ini (educere=membawa keluar).

Paus Fransiskus dan Imam Besar al-Azhar Dr. Ahmad al-Tayyib membuat gebrakan baru dengan mengajak umat Katolik dan umat Islam untuk saling menyapa sebagai saudara. Tentu saja saudara dalam kemanusiaan, dalam nasib sejarah, dalam kewarganegaraan, tetapi lebih dari itu dalam kemanusiaan, sekalipun berbeda agama. Sebagai saudara, orang tidak cukup hanya saling mentolerir, tetapi harus saling mengasihi. Toleransi saja tidak cukup. Untuk kita di Indonesia, mari kita memulai sebuah era baru, dalam spirit Abu Dhabi, untuk saling mengasihi satu sama lain sebagai saudara.

Tahun 2022 adalah tahun toleransi di Indonesia. Mudah-mudahan tahun ini memberikan tekanan khusus kepada persaudaraan lintas agama di negara kita Indonesia.

Demensi-diensi apa saja yang perlu ditigkatkan ke depan, dalam hubungan dengan dua ormas terbesar keagamaan di tanah air?

Dalam konteks luar negeri, termasuk di Vatikan, Islam di Indonesia selalu dilihat dalam keterwakilan melalui NU dan Muhammadiyah. Sudah bertahun-tahun dan melalui tokoh-tokoh berbeda-beda, kedua ormas ini hadir di kancah internasional dan berbicara atas nama Islam di Indonesia, terlepas dari denominasi-denominasi Islam kecil lainnya yang hadir di negara kita. Prinsip keterwakilan terhadap organisasi-organisasi besar dengan keanekaragaman struktur internal, tradisi-tradisi dan pemahaman yang berbeda-beda pula, tentu merupakan sebuah tantangan tersendiri. Akan tetapi sadar bahwa ada tanggung jawab besar sebagai wakil-wakil yang harus menyebarluaskan pesan-pesan bersama dari pertemuan-pertemuan internasional, seperti juga pada pihak kita, setiap tokoh dengan fungsi keterwakilan harus konsekuen dan bekerja keras untuk bisa tetap merangkul sebanyak mungkin orang yang diwakilinya dan meyakinkan mereka akan pentingnya berbagai pesan dan resolusi dari kesepakatan-kesepakatan internasional.

Karena kalau tidak, semua akan berhenti pada pertemuan-pertemuan elit dan tidak sampai ke tingkat akar rumput.

NU dan Muhammadiyah adalah dua ormas besar yang kita kenal baik dan sudah bekerja sama ratusan tahun. Kita tidak memiliki kompentesi untuk mencampuri relasi keduanya secara ke dalam, tetapi kita harus tetap menjaga relasi yang baik dengan kedua ormas ini, tanpa memandang bulu. Walaupun berbeda dalam visi dan misi masing-masing, keduanya adalah partner kerja sama kita untuk merawat Indonesia yang satu dan untuk memajukan kesejahteraan kita bersama. Di dalam pembicaraan-pembicaraan pribadi antara pihak Takhta Suci Vatikan dengan tokoh-tokoh NU dan Muhammadiyah selalu ada ungkapan yang jelas dan nyata untuk tetap memupuk dan mengembangkan relasi yang baik menuju kerjasama nyata. Nyatanya, Vatikan tidak pernah absen mengundang tokoh2 NU dan Muhammadiyah untuk pertemuan-pertemuan internasional.

Niat-niat baik ini harus selalu tunjukan kepada satu sama lain dan berdialog untuk menemukan cara-cara kerja sama di berbagai lini dan sektor untuk kesejahteraan bersama. (Bersambung)

F. Hasiholan Siagian

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini