Uskup Agung Medan, Mgr. Kornelius Sipayung, OFMCap: Mencintai Allah dalam Mencintai Sesama

247

HIDUPKATOLIK.COM Minggu, 31 Oktober 2021 Minggu Biasa XXXI, UL.6:2-6; Mzm.18:2-3a, 3bc-4, 47, 51ab; Ibr.7:23-28; Mrk.12:28b-34

Mencintai Allah dan mencinta sesama atau mencintai Allah dalam diri sesama?

Satu hal yang sangat menarik dan pantas diteladani dari pribadi Yesus dalam hal mengambil sikap berhadapan dengan siapa pun bahwa Yesus senantiasa menghadapi seseorang itu sebagaimana dia ada. Dia tidak memakai persepsi salah tentang orang yang berhadapan dengan Dia. Yesus menerima dan menjawab pribadi itu dengan cara sebagaimana dia ada. Melihat dan menerima seseorang apa adanya adalah awal dari aksi mencintai. Persepsi apalagi  pandangan yang salah dan keliru tentang seseorang sungguh bertentangan dengan mencinta.

“Dari semua hukum ini mana menjadi lebih utama, yang paling mendasar, yang menjadi rangkuman dari semua hukum yang ada?” Mengutip Hukum Yahudi yang tertuang dalam Kitab Keluaran, satu dari buku tentang hukum Yahudi. Seseorang dapat melihat bahwa seseorang perlu mengasihi Allah dengan seluruh kekuatan dan “harus berpegang pada semua hukum dan perintah Allah” dan mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri. Tetapi tidak disebut disini siapa itu sesama. Jawaban Yesus sungguh menyenangkan ahli Taurat ini. Dan lebih lanjut dia menambahkan dua hukum ini sungguh lebih penting dari pada persembahan apa pun juga.

Kita harus mencintai sesama sebagaimana kita mencintai diri kita sendiri. Nampaknya ini benar tetapi menjadi sering tergantung pada cara orang mencintai dirinya sendiri, sementara ini juga bisa menjadi masalah. Banyak orang dari antara kita tidak mengetahui bagaimana mencintai diri sendiri, tidak tahu merawat diri sendiri. Bahkan ada yang memanjakan dan merusak diri sendiri.

Pengenalan adalah awal dari mencinta. Mengenal diri sendiri adalah syarat agar seseorang sanggup mencintai diri sendiri. Seseorang bisa mencintai diri sendiri jika dia mengenal dan menerima diri apa adanya. Sementara zaman ini, manusia banyak kurang mengenal diri sendiri bahkan sering membuat dirinya sendiri menjadi bukan dirinya dengan sering bertopeng, menyembunyikan diri yang sebenarnya. Inilah kelemahan manusia. Kita sering menunjukkan bukan diri kita yang sebenarnya dengan segala upaya memiliki banyak hal. Banyak orang menghabiskan banyak uang untuk sebuah gaya hidup. Hanya sedikit orang yang menunjukkan dirinya yang sebenarnya dihadapan orang lain.

Syarat  agar seseorang bisa sungguh mencintai dirinya adalah pertama harus mengenal diri sendiri, kedua menerima dirinya sendiri apa adanya. Menerima diri berarti mengakui segala kekurangan dan kelebihan. Orang yang menerima diri sendiri akan sanggup mengembangkan hal positif dari dirinya dan kemudian sanggup juga meminimalisir kejahatan dalam diri. Saya akan sanggup mencintai jika saya tidak mempunyai sesuatu yang saya sembunyikan. Yang disembunyikan itu bisa berupa kepentingan pribadi, ambisi pribadi, keinginan tersembunyi, pokoknya semua yang menjurus kepada diri sendiri. Hanya orang yang mencintai diri sendirilah akhirnya juga mampu mencintai yang lain.

Hanya bila kita mengerti apa cinta yang sesungguhnya dan apa itu dicinta, tentu berdasarkan pengalaman, kemudian kita dapat berbicara tentang mencintai Allah. Cinta bukanlah teori, tetapi aksi. Jika saya tidak mencintai sesama maka hambarlah nilai setiap kegiatan gerejawi. Apa gunanya saya pintar berkotbah, menderma, beribadat jika saya tidak mempunyai cinta? Yesus mengatakan kepada ahli Taurat sedang “dekat dengan Kerajaan Allah” sebab dia telah menyentuh esensi dari hidup: mencintai Allah dan mencintai sesama lebih penting dari pada setiap persembahan. Kendati demikian, dia belum sungguh anggota kerajaan. Dia belum secara penuh menjadi murid kristus. Mengapa?

Apa yang membuat seseorang menjadi murid. Seorang murid adalah mereka yang sanggup mencintai Allah dalam mencintai sesama dan mencintai sesama dengan motivasi mencintai Allah. Demikian tidak terpisahkan antara mencintai Allah dan mencintai sesama. Motivasi untuk mencintai sesama adalah cinta kepada Allah, dan mencintai sesama merupakan perwujudan dan realisasi dari cinta kepada Allah. Demikian tidak bisa dipisahkan cinta kepada Allah dan cinta kepada sesama. Mencintai Allah dalam diri sesama dan mencintai sesama atas dorongan cinta kepada Allah. Dan inilah motif dan pendorong Yesus untuk mengurbankan diri. Taat dan patuh kepada Allah sebagai realisasi dari cinta-Nya. Dia patuh kepada Allah dengan mengurbankan diri dan kurban-Nya ini sungguh memperdamaikan Allah dan manusia.

Cinta bukanlah teori, tetapi aksi. Jika saya tidak mencintai sesama maka hambarlah nilai setiap kegiatan gerejawi.

HIDUP, Edisi No.44, Tahun ke-75, Minggu, 31 Oktober 2021

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini