“Amin” Tak Sebatas Ungkapan Setuju

543

HIDUPKATOLIK.COM – TERKADANG, antusiasme umat Katolik untuk menjawab kata amin dalam doa-doa Liturgi maupun doa-doa pokok Gereja, dirasa mulai kendor. Hal ini sangat terasa, terutama dalam Perayaan Ekaristi, kata amin sesudah doa-doa presidensial hanya diucapkan oleh imam, sedangkan tidak semua umat mengucapkannya, padahal itu adalah bagian untuk umat berpartisipasi dalam Misa. Bahkan saat Komuni, setelah menerima Tubuh Kristus, ada yang mengucapkan kata amin dengan jelas dan mantab, tetapi ada juga yang hanya diam saja.

Sering kali kita memaknai kata amin hanya sebatas formalitas atau ungkapan setuju atas apa yang telah kita doakan. Padahal jika kita melihat lebih dalam lagi makna kata amin ini, maka tidak cukup hanya sebatas ungkapan setuju. Dari asal katanya, amin merupakan turunan dari Bahasa Ibrani emunah yang berarti kuat, teguh atau andal. Dalam konteks iman dapat dihubungkan dengan kesetiaan akan kebenaran.

Dalam Perjanjian Baru, dikatakan bahwa amin merupakan sebuah permintaan yang ditujukan kepada Allah Bapa dengan sungguh-sungguh (Bdk. Yoh. 23:16). Santo Paulus juga pernah mengatakan, “mengucapkan kata amin sudah menjadi kebiasaan bagi jemaat perdana setiap kali mengakhiri sebuah doa (Bdk. 1 Kor. 14:16). Bahkan dalam Kitab Wahyu 3:14, Yesus sendiri disebut sebagai ‘ho Amen’ (Sang Amin: Kristus, Tuhan).

Santo Cyrillus dari Yerusalem (315-386 M) pernah mengatakan demikian, “Setiap kali mengakhiri doa, kamu mengatakan amin yang berarti ‘semoga terjadi demikian’, berarti kamu telah mengesahkan isi doa yang diajarkan Allah.” Katekismus Gereja Katolik juga mengutip kata-kata Santo Cyrillus dari Yerusalem tadi bahwa setiap orang Katolik yang mengakhiri doa dengan kata amin berarti dia telah menyetujui doa yang telah diungkapkan (KGK. 2856).

Sadar atau tidak sadar kata amin mudah kita ucapkan, bahkan di media sosial kita kerap menggunakannya untuk membalas pesan, membuat caption atau story. Namun apakah kita sungguh memahami arti dari kata amin tersebut? Setidaknya ada tiga hal yang dapat kita pahami dari kata amin yang bukan sebatas ungkapan setuju atau ‘ya’ atas apa yang kita doakan.

Pertama, sebagai konfirmasi dari sebuah doa. Dengan mengucapkan amin di akhir sebuah doa berarti kita meng-iya-kan dan menyetujui bahwa doa yang telah diucapkan benar adanya. Doa yang kita haturkan kepada Allah Bapa menjadi utuh dan lengkap saat kita mengucapkan amin. Santo Yustinus Martir menegaskan bahwa dengan mengucapkan amin, kita menunjukkan persetujuan atas doa yang telah disampaikan kepada Tuhan (Apologia I: Chap. 65).

Kedua, sebagai pengakuan iman Gereja Katolik. Pengakuan iman ini menjadi nyata saat Gereja mendoakan Syahadat Iman para Rasul. Dengan mengucapkan amin di akhir doa Aku Percaya berarti kita mengakui bahwa Allah sungguh Sang Kebenaran sejati. Dia telah lebih dahulu mengasihi manusia dengan mengutus Putra Tunggal-Nya, Yesus Kristus, untuk memulihkan hubungan manusia dengan Allah yang rusak akibat dosa. Dengan mengucapkan amin sama halnya kita membuka hati akan kehadiran Sang Sabda yang telah menjadi manusia, sebagaimana Maria mengatakan ‘ya’ saat menerima kabar gembira dari Malaikat Gabriel dengan ketaatan imannya.

Ketiga, sebagai ungkapan kepercayaan kepada Allah. Saat mengucapkan amin di akhir doa-doa kristiani, kita sungguh percaya bahwa Allah akan melaksanakan janji-Nya kepada kita. Demikianlah, amin menjadi bentuk penyerahan total kepada Allah Sang Penyelenggara Kehidupan ini, sekaligus menjadi ungkapan iman kita kepada Yesus ‘Sang Amin’ yang akan menyempurnakan doa-doa kita melalui perantaraan-Nya, serta kepada Roh Kudus yang akan mempertahankan iman kita kepada Bapa.

Marilah kita tidak ragu-ragu lagi untuk mengucapkan kata amin dengan jelas dan mantab di akhir doa-doa kita, terutama saat mengikuti Perayaan Ekaristi. Dengan mengucapkan kata amin, kita tidak sebatas menyetujui apa yang kita ucapkan, tetapi juga mengakui iman Gereja dan akhirnya mengungkapkan kepercayaan total kita kepada Allah Sang Penyelenggara Kehidupan. Hanya kepada Dia sajalah kita percaya dan mengandalkan kekuatan-Nya.

“Sering kali kita memaknai kata amin hanya sebatas formalitas atau ungkapan setuju atas apa yang telah kita doakan.”

Yustinus Andi Muda Purniawan, Pr
Alumni Mahasiswa Licensiat Teologi Fakultas Teologi Wedabhakti Yogyakarta

HIDUP, Edisi No.40, Tahun ke-75, Minggu, 3 Oktober 2021

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini