ADA APA DENGAN SAYA DAN JAMES BOND

385

HIDUPKATOLIK.COM – JUDUL film “No Time To Die” dari James Bond yang terbaru sebenarnya tidak menarik bagi saya. Judul ini hanya menambah listing judul-judul filmnya yang enak didengar saja, seperti  A View to a Kill, License to Kill, Tomorrow Never Dies, dan Die Another Day. Wow, judul-judulnya bernuansa kematian semua. Minimal judul ini bisa memudahkan saya untuk membedakan film-filmnya yang sekarang sudah mencapai film ke-25.

Jadi bagi saya menonton film James Bond bukan karena tertarik dengan judulnya yang biasa-biasa saja tersebut. Menonton film James Bond seakan seperti keharusan. Saya harus nonton, entah film itu bagus atau jelek. Pokoknya saya jangan sampai tidak nonton. Walaupun setelah beberapa tahun, saya tidak ingat lagi ceritanya masing-masing.

Film terakhir bagi Daniel Craig dalam memerankan James Bond ini, sempat ditunda 3 kali perilisannya karena pandemi. Akhirnya setelah bioskop kembali dibuka, film ini pun tayang dengan sukses. Mendapat rating 84% di rottentomatoes dan 7,6 di IMDB pada saat saya ketik tulisan ini. Pemutaran perdananya di Inggris pun dihadiri Pangeran Charles,  Camilla, Pangeran William dan Duchess of Cambridge Catherine.

Kalau ditanya apa pendapat saya tentang film ini, saya akan jawab bahwa aksi-nya biasa saja. Karena film ini hanya masuk kategori PG-13. Adegan-adegan sadis banyak disamarkan dengan kamera tidak menyorot kepada korban. Aksi-aksi akrobatik-nya pun sudah bisa kita lihat di trailer-nya. Tidak ada yang baru. Tetapi sebagai tontonan, saya cukup terhibur dengan keseluruhan film ini. Setidaknya ada 3 poin yang bisa saya bawa pulang dari film ini.

Poin pertama adalah tentang jabatan. Kalau sebelumnya, kita mengenal James Bond sebagai agen 007 yang legendaris, ternyata bagi Bond nomor 007 bukanlah sesuatu yang perlu dipertahankan sebagai milik pribadi. Nomor 007 silakan saja dipakai oleh orang lain, karena yang tidak tergantikan adalah “James Bond”-nya sebagai pribadi. Sebagai penonton, malah saya yang kurang terima dengan pemisahan “James Bond” dengan “007”.

Tentang jabatan ini Gus Dur pernah berkata, “Tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian.” Gus Dur sendiri  sudah memberi contoh yang baik tentang “jabatan” ini. Dalam lengser-nya Gus Dur tidak ingin dibela oleh para pengikutnya.

Hal ini juga mengingatkan saya akan jabatan-jabatan saya selama saya bekerja di berbagai kantor. Semua jabatan itu hanya sementara. Entah apakah orang-orang lain menghormati saya sebagai pribadi ataukah karena sebagai jabatan saya. Bagi saya sendiri, saya mesti melepaskan diri dari jabatan. Saya mesti tetap berprestasi walaupun tanpa jabatan bergengsi. Saya juga mesti bersyukur dengan jabatan apapun yang saya miliki di kantor.

Poin kedua adalah tentang pilihan untuk memiliki keluarga. Sebagai agen rahasia, James Bond pantang memiliki keluarga, yang bisa digunakan oleh lawan-lawannya sebagai titik kelemahan. Tetapi di dalam film ini, penonton diberi teka-teki apakah Bond sebenarnya memiliki anak. “Matanya biru seperti matamu.” Sayang sekali, jika Bond yang sebenarnya memiliki sisi lembut ini, tidak merasakan indahnya memiliki keluarga sendiri. Tentu saja Bond bukanlah Tuhan Yesus yang bisa mengatakan, “Ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku ialah mereka, yang mendengarkan firman Allah dan melakukannya.” Bond tidak cukup dengan mengatakan “keluargaku adalah teman-teman sekerjaku”. Setelah tidak aktif di dinas rahasia, sangat lumrah jika Bond juga memiliki keluarganya sendiri.

Untungnya kepelikan Bond dalam memiliki keluarga, tidak saya alami. Sebagai orang kebanyakan, saya tidak perlu memikirkan dalam-dalam apakah saya ingin memiliki keluarga atau tidak. Karena ada jodoh dari Tuhan, maka saya pun berkeluarga. Kehidupan berkeluarga memberi saya banyak kebahagiaan dan banyak mengubah saya secara pribadi. Kesempatan untuk memiliki orang-orang terkasih adalah hal yang membahagiakan. Menjadi seorang ayah juga merupakan anugerah yang tidak tergantikan. Saya sangat bersyukur memiliki keluarga.

Poin ketiga adalah tentang kesetiaan pada panggilan hidup. Memang kisahnya cukup klise untuk sebuah film aksi. Sang jagoan diminta untuk kembali menjadi pahlawan walaupun sekarang sudah tidak aktif di dalam dinas. Kedudukan Bond di dinas rahasia sudah digantikan oleh yang lebih muda, tetapi Bond diminta untuk menemukan penjahat baru yang menguasai senjata bioteknologi yang mematikan.  Bond menuntaskan tugasnya dengan menewaskan sang penjahat dan pasukannya, walaupun harus penuh pengorbanan.

Kali ini hal ini mengusik kegalauan saya tentang pelayanan. Apakah saya perlu aktif di pelayanan sampai akhir hidup saya? Bukankah semestinya pelayanan itu ada masanya? Saya sudah cukup lama terlibat di pelayanan. Mestinya banyak orang-orang baru yang bisa menggantikan. Di dalam pelayanan pun saya tidak mengejar posisi, sehingga tidak perlu melayani sampai mendapat posisi tertentu. Karena posisi-posisi penting dalam pelayanan pun pernah saya tolak. Beberapa orang pendahulu saya sudah memberi contoh dengan mengundurkan diri dari pelayanan. Mestinya saya juga boleh mengundurkan diri.

Tetapi saya sadari bahwa panggilan di dalam pelayanan bukanlah berasal dari saya pribadi. Ada kuasa Tuhan yang menggerakkan saya di dalam pelayanan ini. Ketika saya merasa cape dan ingin menyerah, ternyata dorongan dari Tuhan tetap menguatkan sehingga saya belum berhenti sampai sekarang. Entah sampai kapan, hanya Tuhan yang tahu. Yang perlu saya imani adalah bahwa lebih baik melayani daripada dilayani.

Kesimpulan dari semuanya adalah jalanilah kehidupan dengan selalu penuh syukur. Jangan memandang ke belakang dan jangan memandang yang negatif. Sama seperti yang dikatakan Billie Eilish dalam lagu tema film ini, “Now you’ll never see me cry. There’s just no time to die.” Aku tidak akan menangis, semangatku tidak akan mati.

Julius Saviordi, Kontributor, Alumni KPKS Santo Paulus Tangerang

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini