REMO meletakkan pizza di tempat agak tersembunyi, lalu kembali menemui Jessi yang sudah berbaik hati membawakannya.
“Kok disimpan. Enggak suka ya?” Jessi cemberut.
“Masih kenyang, ntar saja,” sela Remo.
“Aku sengaja pesan yang besar biar cukup buat semua penghuni kontrakan ini.”
“Nanti malam kami santap. Biasanya malam semua kumpul.”
“Antar aku ke kampus yuk.”
Remo ingin menolak tapi sungkan. Beruntung Ello melintas bawa kunci motor. Cepat Remo mencegat, memintanya mengantar Jessi. Meski berusaha menolak dan memilih berangkat sendiri saja, tapi Remo membujuk seakan ingin bertanggung jawab. Setelah keduanya berlalu, Remo segera mengambil pizza dan melesat ke rumah di ujung jalan.
***
“Terima kasih! Pizzanya gede banget,” Rosana tesenyum.
“Sibuk?” tanya Remo sebab sepertinya tidak ada tanda-tanda diajak masuk.
“Enggak.., tapi sedang ada tamu.”
“Kalau gitu aku pulang ya,” Remo kecewa karena sangat ingin menghabiskan waktu berdua. Setiap sore hanya bisa menatap dari balkon rumah kontrakan saat-saat Rosana menyirami koleksi anggreknya. Kecantikan warna bunga berpadu kulit coklatnya tertimpa matahari dalam persiapan senja memuaskan santapan mata. Lalu merasuk dalam mimpi-mimpi serta angannya. Remo melambai meski terasa berat. Seperti biasa setiap habis melihat senyum Rosana, dia terlelap sambil merangkai masa depan versi fantasinya bersama gadis impian.
Matahari mulai melorot ke kaki langit sebelah barat saat Remo tersentak akibat gelak tawa dari lantai bawah mengejutkannya. Lama juga dia tertidur sambil membayangkan senyum Rosana tadi. Bergegas turun mendapati sumber gelak bahagia, ternyata dari keceriaan Ello, Darno dan Jessi tengah menyantap pizza.
“Hai Jessi..! Maaf aku tertidur. Kok enggak nelpon mau balik lagi?” sapa Remo ramah sambil melirik Ello sedang lahap mengunyah pizza.
“Tumben tidur siang sampai kebablasan gitu,” goda Darno.
“Lha kamu kok udah bagun, tadi kan juga tidur siang?”
“Kalian ini kayak punya tabungan nggak habis dipakai tujuh turunan. Masih tidur siang. Kerjaaa…. !”
“Kamu bawa pizza lagi Jess?” tanya Remo sedikit salah tingkah. Teringat pizza pemberian Jessi tadi sudah diberikan ke Rosana buat cari perhatian tapi tanpa modal, juga tanpa sepengetahuan teman satu kontrakan.
Spontan Jessi, Darna dan Ello berapandangan.
“Lagi…….?” seru ketiganya bersamaan.
“Ini kan pizza yang tadi aku bawa. Kotaknya pun sama.. tuh penyok di sudut kanan. Kebentur pas buru-buru turun grab,” Jessi menatap Remo heran.
“Eeeeeh.. ini pizza aku yang bawa! Sembarangan banget sih kalian ini. Mentang-mentang belum urunan uang kontrakan kalian nggak percaya aku bawa pizza?” seru Darno.
“Lha.., Jessi minta balik ke sini katanya mau makan pizza rame-rame. Sudah dikasi ke Remo,” Ello menatap Darno.
Sejurus semua kegiatan terhenti. Jessi menatap Remo tajam seolah minta penjelasan. Remo menatap Darno tanpa minta apa-apa selain heran. Dia juga merasa kotak pizza yang ada di meja saat itu persis sama dengan pizza yang diantar ke rumah Rosana dan sejak pagi Darno belum keluar kamar. Ello menatap Jessi, Darno dan Remo bergantian sambil tetap berusaha menelan kunyahan terakhir.
Satu ruangan hening lagi. Tiba-tiba Darno berdiri: “Dari kita bertiga, secara ekonomi memang aku paling susah. Tapi bukan berarti enggak bisa bawa oleh-oleh, berbagi kesenangan buat teman-temanku kan. Meski ujung kotaknya penyok dan bukan langsung dari restorannya, tapi tolong nikmati saja pemberian seorang teman.”
Darno pergi masuk kamar, yang lain bengong.
“Aku hanya lapar. Enggak bermaksud membedakan pizza dari Darno atau Jessi. Aku bahkan enggak tahu apa-apa, karena saat kami tiba, Darno lagi menikmati pizza dan mengajak ikut menyantap,” jelas Ello.
“Aku bahkan tidak bertanya sampai Remo bilang kenapa bawa pizza lagi? Karena memang tidak bawa lagi. Bagiku ini pizza yang kubawa tadi buat Remo dan bisa dimakan bareng karena besar. Sama seperti setiap kali aku bawa makanan untuk Remo.” urai Jessi.
“Setiap kali….?” Ello spontan setengah berteriak.
“Yaaah.. seringlah…. !” sahut Jessi.
Ello menatap Remo dan yang ditatap salah tingkah.
***
“Masak sih kamu enggak menangkap sinar-sinar cinta penuh harap dari Jessi? Kalau nggak ada rasa.. ngapain selalu kirim makanan?” tanya Ello sambil menatap Remo.
“Belum tentu orang ngasi makanan karena cinta. Siapa tahu Jessi kasihan lihat Remo kurang makan. Kelamaan bokek,” ejek Darno ngakak.
“Kalau alasannya itu, dia lebih pilih kamulah,” balas Remo pada Darno.
Ketiganya terbahak. Lumayan mencairkan suasana setelah kejadian pizza ‘misterius’ beberapa hari lalu.
Tawa mereka terhenti saat terdengar suara semerdu vocal Lara Fabian melantunkan tembang Caruso.
“Permisiiiiiiiii…………”
“Rosana…….!” ketiganya serempak.
“Kalian saling kenal?” tanya Rosana sama kagetnya.
“Kenalkan, ini Darno dan Ello. Kalau aku.. pasti sudah sangat kenal kan…..,” Remo tebar pesona cari perhatian.
Ello dan Darno melirik sinis.
“Aku sudah kenal mereka,” sahut Rosana lembut.
“Kamu juga kenal Remo…?” Darno penasaran.
“Dia yang ngirim pizza waktu kamu lagi di rumahku. Remo ini baik banget, penuh perhatian, rajin kirim makanan. Katanya hobby masak ya. Dia suruh aku cicipi, tapi jadi malu karena masakanku tidak seenak buatannya.”
“Sebentar…. Darno di rumahmu waktu aku ngantar pizza?” selidik Remo.
“Sebentar…. Remo sering kirim makanan?” susul Ello
“Sebentar… dan kiriman itu hasil masakan Remo?” sela Darno.
Ketiganya saling tatap. Rosana mendadak gelisah, merasa ada sesuatu yang harus dia sampaikan.
“Remo, maafkan! Pizza yang kamu kirim waktu itu besar sekali. Di rumah hanya ada aku sama ibu. Kami enggak terbiasa makanan begitu.. maklum orang desa… Daripada mubazir…… …….”
“Aku bawa pulang…..dan kalian ikut makan…..?” potong Darno cepat.
Remo mengerutkan kening, melirik Darno yang ngakunya tidur tapi ternyata bertamu ke Rosana.
“Maaf Remo, aku nggak mau menyia-nyiakan makanan. Bukan menolak pemberian.” Rosana berkata tulus.
“Lain kali tolak saja,” terdengar suara riang Jessi, masuk sambil memegang sekeranjang buah.Ternyata sudah di situ sejak lama, mendengar semua misteri pizza yang sudah terpecahkan. Remo mulai gelisah, Ello menahan tawa, Darno menyeringai.
“Ini sekeranjang buah buat kamu nona cantik. Pasti ibumu lebih suka buah. Ini aku beli di pasar…! Di pasar…! Bukan nanam sendiri,” Jessi sengaja mengulang-ulang mengejek Remo.
“Kalian saling kenal?” tanya Remo menahan malu menatap Rosana dan Jessi bergantian.
Rosana menggeleng.
“Kalau sudah kenal, aku akan antar langsung semua makanan yang kubuat ke rumahnya. Nggak perlu pakai perantara kamu,” seru Jessi sambil melotot ke Remo.
Rosana merasa sesuatu telah terjadi tanpa sepengetahuannya. Tak hendak disalahkan hanya karena terlahir sebagai perempuan cantik.
“Maafkan kalau kehadiranku mengacaukan situasi. Aku ke sini mau membalas kebaikan kalian bertiga yang selama ini selalu rajin berkunjung. Aku bahkan tidak tahu kalau serumah.”
“Akupun tidak tahu kalau Remo rajin mengantar makanan,” sindir Darno.
“Akupun pikir Darno sedang menjalankan pola hidup sehat selalu tidur siang ternyata ngelayap ke rumah Rosana,” balas Ello.
“Akupun tak mengira Ello selalu berangkat ke kampus 2 jam lebih cepat, ternyata menawarkan jadi ‘ojek’ buat Rosana,” ejek Remo.
“Dan aku nggak nyangka kalian bertiga memperebutkan satu perempuan dengan menyingkirkan kejujuran dan persahabatan. Terlebih lagi mengesampingkan perasaan satu perempuan lain,” tambah Jessi lalu pergi.
Sesaat ketiga sahabat itu saling menyalahkan.
“Hhmmm… maaf. Sekali lagi, aku ke sini hanya ingin berterima kasih sekalian pamit. Makanya aku bawakan pizza. Tapi ini beli di restoran lho, khusus untuk kalian. Bukan pemberian orang lain kok..,” jelas Rosana serius.
“Kok pakai pamit segala? Mau ke mana memangnya?” Darno antusias.
“Besok aku mulai masuk biara di Jogja,” Rosana sudah merasa lega.
“Kenapa masuk biara…?” Remo spontan seakan tidak rela.
“Memangnya kalau Rosana tidak masuk biara, dia milih kamu?” ejek Darno.
“Tidak juga milih kamu pastinya Dar,” sembur Ello.
“Apalagi kamu Lo…!” balas Remo.
“Sudah-sudah! Jangan bersaing dengan sang pencipta. Rosana telah memilih Tuhan,” Darno sok bijak mencoba menutupi kekecewaan.
“Ada tertulis, bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Banyak yang dipanggil tetapi sedikit yang terpilih. Dan aku sudah dipilih,” Rosana berkata pelan.
“Omonganmu seperti biarawati saja. Padahal berangkat pun belum,” canda Remo di tengah kegetiran hati. Patah hati bahkan sebelum lagi cintanya tersampaikan.
***
“Jessi, dengar dulu penjelasanku.”
“Buat apa Remo? Sudah jelas semua. Kamu enggak pernah menghargai pemberian aku, malah dikasi ke perempuan lain buat tebar pesona. Normal enggak sih? Mengharap cinta perempuan lain dengan menyakiti perempuan lain lagi.”
“Kita masih punya kesempatan memulai dari awal lagi. Aku janji mau jujur, perhatikan kamu dan membalas cintamu.”
“Balas cintaku? Emangnya aku cinta sama kamu?”
“Katanya kecewa karena aku nggak menghargai pemberianmu.”
“Apakah setiap pemberian itu tanda cinta?”
“Menurutku begitu.”
“Salah besar! Aku enggak naksir kamu, apalagi jatuh cinta. Tapi lagi bikin penelitian prilaku dan reaksi pria ketika mendapat perhatian ekstra seorang wanita. Dan aku sudah mendapatkan hasil yang akurat.”
Remo terperangah! Merasa dilepeh saat mulai mencoba mencintai dan menyadari ketulusan perempuan yang selama ini disia-siakan bahkan dimanfaatkan. Jessi berbalik, pergi meninggalkan Remo. Air matanya menitik, menyesali kenapa gengsi telah mengalahkan cinta. Bahkan membiarkan dirinya berbohong soal penelitian demi sebuah harga diri. Jessi tak ingin memilih cintanya… tapi lebih ingin cinta yang memilihnya.
Oleh Ita Sembiring