Konflik: Tembok atau Jembatan dalam Berelasi?

164

HIDUPKATOLIK.COM – Pada umumnya, sebagian dari masyarakat kita memiliki beberapa pertimbangan sebelum memutuskan sesuatu. Sebagai contoh, seseorang pemuda berpikir dahulu sebelum menolong temannya, “Ah, kira-kira benefit apa yang saya dapat kalau membantu dia?” Atau mungkin seorang mahasiswi mempertimbangkan beberapa waktu sebelum bergabung pada organisasi tertentu, “Hmm, kalau saya ikut UKM itu, apakah saya bisa mendapatkan relasi yang baik?”

Mungkin anda pernah memiliki pengalaman serupa terkait dengan soal memutuskan suatu hal. Biasanya, pertimbangan itu didasarkan pada perspektif “untung-rugi”. Mudahnya, sejauh hal itu menguntungkan, saya akan pilih dan menerimanya. Sebaliknya, kalau kerugian yang ditimbulkan lebih besar, saya secara instuitif akan menghindarinya. Memang, pertimbangan semacam itu adalah hal yang sangat manusiawi. Sangat wajar mengingat manusia menginginkan yang terbaik untuk hidupnya. Namun, kelihatannya kita perlu realistis. Tidak selalu hal yang kita dapatkan bersifat menyenangkan. Hal ini secara konkret tampak dalam relasi dan pergaulan kita sehari-hari.

Berbicara soal relasi dan pergaulan, saya memiliki secuplik kisah. Bila dihitung-hitung, saya telah tinggal bersama di sebuah komunitas besar selama 8 tahunan. Perhitungan itu dimulai dari saya memasuki seminari menengah hingga menjalani hidup membiara sampai saat ini. Awalnya, cukup berat bagi saya untuk menjalani hidup di sebuah komunitas bersama (sebut saja asrama). Pertama-tama bukan karena hidup yang harus serba disiplin-teratur, namun lebih pada perjumpaan dan pengalaman baru yang belum pernah saya alami sebelumnya. Dapat dibayangkan, kala itu saya adalah seorang remaja yang belum genap 15 tahun, harus berhadapan dengan situasi yang amat berbeda dengan lingkungan di rumah. Katakanlah lingkungan rumah saya relatif bersifat homogen, sementara situasi di asrama itu sangat heterogen.

Di sini saya tidak akan menjelaskan detail-detail situasi yang ada di asrama itu. Namun, saya hendak mengatakan bahwa ternyata saya harus realistis dalam hal menjalin pertemanan. Tidak semua teman itu memiliki karakter, minat, serta latar belakang yang sama dengan saya. Entah itu karena faktor lingkungan, didikan orang tua, atau kultur, yang jelas saya sempat merasa “tertipu”. Lho, kok anak males kayak gini bisa masuk seminari? atau, masak dia yang suka usil kayak gitu mau jadi imam? adalah langgam pertanyaan yang kerap berkecamuk dalam hati saya di awal masuk asrama. Hingga pada suatu ketika, romo pembimbing rohani saya memberi amanat kepada saya. Kira-kira amanatnya seperti ini. “Kita tidak bisa memilih dengan siapa kita hidup. Itu semua sudah direncanakan oleh Tuhan. Jadi, anggaplah bahwa saudara sekomunitas adalah pemberian yang Tuhan berikan kepadamu.”

Wow, pernyataan itu menohok sanubari saya. Saya tersadar bahwa selama ini lensa pengamatan yang saya gunakan cenderung negatif. Saya mudah berapriori terhadap teman-teman yang berbeda dengan saya. Padahal, Tuhan sendiri yang telah mengatur perjumpaan-perjumpaan yang saya alami itu. Artinya, saya tinggal menerimanya (bahkan menikmatinya) apa yang telah Tuhan anugerahkan itu.

Di samping itu, saya menyadari bahwa barangkali selama ini saya belum “pas” dalam menempatkan diri. Bisa jadi saya merasa diri yang paling benar bahkan “superior” dibanding yang lain. Di pihak lain, mungkin “keusilan” yang mereka perbuat adalah cara mereka untuk semakin akrab dengan saya. Singkat kata, amanat romo itu membuat saya perlu instropeksi sembari membenahi sikap saya belum tepat.

Siapa tahu Tuhan punya maksud tertentu menghadirkan mereka untuk mengisi hidup saya

Pengalaman yang telah terjadi kurang-lebih delapan tahun itu nyatanya berguna bagi saya hingga hari ini. Memang tidak dipungkiri bahwa ada kalanya timbul kesalahpahaman dan konflik. Hal tersebut menjadi lumrah mengingat tiap relasi dan pergaulan manapun selalu terbuka untuk itu.

Dalam lingkup kecil, katakanlah keluarga, juga pasti pernah mengalami konflik (entah kecil ataupun besar). Namun, menjadi tantangan tersendiri bagaimana kita melihat konflik dalam kacamata positif; bukan sebagai tembok yang membentengi, melainkan jembatan yang menghantarkan pada relasi yang lebih dalam. Sekian!

Frater Gabriel Mario L, OSC, tinggal di Biara OSC, Bandung, Jawa Barat

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini