Kisah Kasih Klara

191

HIDUPKATOLIK.COM ”Rangkaian kata-kataku menjadi sebuah cerita cinta telah pudar, justru ketika aku mulai mencintaimu,” Budiman membetulkan letak cangkir kopi panasnya. Lalu menatap wajah ayu Agatha.

”Ketika aku selesai mencintaimu, justru sebuah kisah cinta mulai aku tulis.” Agatha berkata. Tiada memandang ke arah Budiman, ia mengangkat tubuh. Melangkah, meninggalkan Budiman.

”Agatha,” Budiman berkata sedikit keras, menghentikan langkahnya, ”Jika kamu mulai menulis cerita cinta, sertakan juga kisah cintaku pada ceritamu!”

Buku kumpulan pemenang fiksi mini antar mahasiswa itu kembali aku baca. Entah sudah berapa kali aku baca tulisan Klara, pemenangnya. Tetap saja ada kalimat-kalimat yang dirangkai Klara terasa magis bagiku. Termasuk juga kisah cintaku padanya. Ada ruang dan waktu nan magis.

Mahasiswi Fisipol Jurusan Hubungan Internasional itu mengirim tiga fiksi mini. Semuanya memukau. Namun sedari awal panitia menetapkan, setiap peserta hanya satu karyanya yang dipilih sebagai pemenang. Sebagai ketua panitia aku tunduk pada aturan ini. Namun aku tidak tunduk untuk bertemu langsung dengan penulisnya, Klara Theodora Seruni. Foto yang disertakan dalam biodata. Aku bisa menyimpulkan. Antara fiksi karyanya dan wajah miliknya seirama, ayu.

Aku telepon. Dia menyuruh aku datang ke kosnya, Jalan Kaliurang Gang Pandega Marta Yogya. Aku ingat betul penampilan Klara sore itu. Tanpa ada riasan wajah. Kaos merah bertulis “I love Indonesia.” Berpadu dengan celana jins biru yang sedikit robek pas di lututnya.

Ah, mengapa tiba-tiba jantungku berdetak lebih cepat? Itukah yang namanya cinta? Aku tak memahami. Yang aku pahami kemudian, ada dorongan kuat padaku untuk sering hadir di kosnya. Dan Klara membiarkan diriku untuk sering menjemput dirinya ketika pulang kuliah.

Kami dihubungkan dengan kesenangan yang sama: sastra, konser musik, dan secangkir kopi. Mirip dengan kisah cerita HC Andersen, itulah kisah cintaku pada Klara. Malam ketika kami selesai menonton film peraih oscar, Slumdog Millionaire. Ada Klara disadel belakang motorku. Menelusuri jalanan Kota Yogya. Pada pintu pagar depan kos Klara. Seperti ritual yang sudah-sudah, Klara membiarkan kedua pipinya menerima ciuman dari bibirku.

Namun ada perbedaan ritual malam ini. Sekaligus juga membuyarkan seluruh rangkaian cinta yang aku susun. Ketika membonceng tadi, Klara memasang cincin di jari manisnya. Aku pegang tangannya, lalu kutatap tajam jari manisnya, Klara diam. Pandanganku beralih menatap wajahnya. Beku. Malam menjadi sangat panjang aku rasakan.

“Dia, semester ini lulus dari ITB. Kakak kelas SMA, beda satu tahun. Kebetulan orangtua kami berkarib. Kami terima saja ketika orangtua meminta kami bertunangan. Itu dua tahun lalu.” Klara menghentikan omongannya. Tujuh bulan nan indah aku jalani bersamanya. Buyar. Ritual lalu berganti. Malam ini dia yang mengecup dua pipiku. Klara melangkah, membuka pintu pagar kosnya.

“Klara,” aku berkata, menghentikan langkahnya, ”Jika kamu mulai menulis cerita cinta, sertakan juga kisah cintaku pada ceritamu!” Ah, mengapa malam itu aku mencomot kalimat dari fiksi mini karyanya?

***

Hanya perlu empat puluh lima menit dari Stasiun  Hankyu Umeda Osaka menuju stasiun Kawaramachi Kyoto. Namun perlu waktu enam tahun tiga bulan untuk bertemu kembali dengan Klara setelah terakhir pada 21 Januari 2009. Kutuju Hotel Nikko Princess Kyoto. Di kedai kopi hotel itu, duduk menunggu, Klara Theodora Seruni.

Klara mengangkat tubuh begitu melihat aku. Memeluk erat diriku dan mencium pipiku. “Selagi di negeri jauh,” katanya begitu ia selesai mencium kedua pipiku. Duduk berhadapan, Klara melanjutkan berbicara “Sudah aku pesankan kopi kesukaanmu, latte ditambah sedikit foam. Tonkatsu sandwich isi daging babi di kedai ini enak. Kau bisa mencobanya.”

“Enam tahun delapan puluh lima hari tiada bertemu. Kau tetap ayu, Klara,” kubuka percakapan.

Klara tidak menanggapi percakapanku. Klara memotong tonkatsu sandwich dan memasukkan ke bibirnya. “Kamu ada tugas di Osaka? Bekerja di mana sekarang?”

“Ada konferensi bisnis digital. Dilanjutkan bertemu para investor di Osaka dan Tokyo. Aku profesional di perusahaan teknologi. Dua minggu berkantor di Jakarta, dua minggu berikut berkantor di Singapore. Setelah lulus, aku ambil MBA di Santa Clara University, California. Lulus, pulang kampung dan bekerja di perusahaan sekarang ini” gantian aku memotong tonkatsu sandwich.

“Kalau aku mendapat tugas belajar terus dari Kementerian Luar Negeri. Setahun kerja di kementerian, melanjutkan master di Osaka University. Lulus master, ada penugasan di Denmark dan Portugal. Setahun ini di Kyoto University ambil doktor.”

Lalu kami bercerita aneka rupa. Dari media sosial yang mulai riuh rendah, ekonomi Jepang yang stagnan hingga U2 yang menggelar konser dunia 2015 namun belum mau mampir ke Indonesia.

“Ada resto shabu-shabu enak, namanya Sikiken. Kita makan malam di sana. Sebagai tuan rumah, aku mentraktirmu.” Klara berucap. Kami meninggalkan kedai kopi Hotel Nikko Princess. Di pengkolan jalan Kiyamachi-dori tangan kiriku meraih tangan kanan Klara. Jari-jari kami bertemu. Kurasakan ada yang hilang dari jari manis Klara.

“Cincinmu enggak ada, Klara?” aku bertanya.

“Satu tahun tujuh bulan lalu cincinku lepas. Ketika aku bertugas di Portugal. Empat bulan menjelang pernikahan, kami bubar. Terlalu dipaksakan tidak baik,” Klara mempererat gandengan tangannya. “Sejak kau masuk kedai kopi tadi, aku melihat ada cincin di jarimu.”

“Ketika kamu melepas cincin, justru aku mulai mengenakan cincin. Satu tahun tujuh bulan lalu kami bertunangan. Dia lagi di Prancis menuntaskan master lingkungan.”

Malam merayap pelan. Jalan Kiyamachi-dori semakin disesaki manusia dari berbagai negara. Tanganku semakin erat menggandeng tangannya. Klara, mengapa ketika kamu melepas cincin, justru aku mulai mengenakan cincin?

***

Pada kerumunan penumpang di pintu keluar Bandar Udara Internasional Macdonald-Cartier, Ottawa Kanada. Kulihat Klara melambaikan tangan ke arahku. Kuseret kopor, kupercepat langkah. Lalu kupeluk tubuhnya. Setelah menyelesaikan doktor diusia 30 tahun. Klara bertugas di Kanada.

Kabar dari Klara  seminggu lalu cukup pendek, begitu tahu aku mau ke Ottawa mengikuti simposium bisnis internasional. “Apartemenku tidak kalah deh dengan kamar Hotel Fairmont Le Château Selagi di Ottawa, kamu tinggal saja di apartemenku. Cukup leluasa untuk membenamkan tubuhmu dan menaruh kopermu. Nanti aku yang menjemputmu.”

Premiere Suites, apartemen tempat tinggal Klara memang terlalu lega untuk membenamkan tubuh dan menaruh koper besarku. Ada dua kamar tidur.

“Orang tuaku pernah menginap dua minggu di kamar ini,” kata Klara ketika menunjukkan kamar tidur tamu. Kamar tidur satunya, tempat Klara mengistirahatkan raganya. Kamar tidur yang luas. Ada rak buku. Kulihat koleksi lengkap CD David Foster.

Tentu, aku memilih tidur di kamar Klara. Terlampau luas bila hanya untuk Klara sendirian. Lima malam bersama Klara. Ya, cahaya malam Kota Ottawa nan gemerlap, terlihat indah dari lantai 27 kamar Klara.

***

Lima bulan sesudah bertemu di Ottawa, ada undangan dari Klara. Ia memberi kabar bahwa sudah kembali ke Indonesia. Mengundang diriku, ke apartemen barunya di bilangan SCBD Sudirman, Jakarta. Kubawa bunga tangan lavender. Cincin yang melingkar di jari manisku ternyata tidak sampai pada ujung pernikahan. Magdalena pacarku, memilih tinggal di Paris begitu menyelesaikan masternya. Aku tetap di Indonesia. Pilihan berbeda yang berujung pada bubarnya pertunangan.

Klara? Di Ottawa dia belum bercincin lagi. Malam ini akan aku rangkai kembali cerita cinta bersamanya. Lobbi apartemen. Kutuju resepsionis. Kusebut apartemen nomer 206.

“Dari kedutaan?” tanya resepsionis.

“Bukan,” kujawab pendek. Kuserahkan KTP padanya. Dia memberikan kartu akses masuk apartemen. “Sudah ada sebelas orang yang datang,” ia berkata.

“Sebelas? Maksudmu?” aku bertanya, tiada paham.

“Hari ini Bu Klara mengundang dua puluhan orang. Bu Klara lamaran.”

“Bu Klara lamaran?!” aku tatap tajam wajah si resepsionis. Kartu akses kuletakkan kembali.

“Iya. Bu Klara dilamar oleh Pak Markus. Pak Markus penghuni nomer 208, bersebelahan dengan Bu Klara. Lama bertugas sebagai diplomat di Korea,” resepsionis menutup perkataan.

KTP kuambil. Bunga tangan kuserahkan kepadanya. Aku membalikkan badan. Keluar apartemen. Kulihat grup lawas God Bless manggung di Hard Rock Café. Kulangkahkan kaki menuju Hard Rock Café yang hanya berjarak dua ratus meter. Malam ini akan kuhabiskan waktu mendengar musik gemuruh yang dilantunkan God Bless. Sambil menggenggak sebotol bourbon. Sendirian.

Yogya, 1999 – Tokyo Juni 2019

A.M. Lilik Agung 

HIDUP, No. 32, Tahun ke-75, Minggu, 8 Agustus 2021

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini