Bukan Sekadar Basa-basi Bila Uskup Bandung Minta Mendoakan Para Imam

366

HIDUPKATOLIK.COM – Kalau ada umat yang menawarkan sesuatu kepada saya, saya selalu menjawab, “Doakan saya.” Ini bukan basa-basi!

TEPAT pada Sabtu, 26/6/2021, Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, OSC akan merayakan 25 tahun tahbisan presbiteratnya. Menyambut momen sukacita tersebut, HIDUP berbincang-bincang secara virtual dengan Uskup Bandung/Sekretaris Jenderal Konferensi Waligereja Indonesia tersebut. Berikut petikannya:

Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, OSC (kiri) dan orang muda pada Jambore Panggilan 2017. (Foto: Dok. Majalah Komunikasi)

Apa yang membuat Monsinyur selalu bersukacita sebagai imam/uskup? Adakah hal yang membedakan saat menjadi imam atau uskup?

Dalam perjumpaan dengan Yesus pada banyak kesempatan, baik saat melakukan kegiatan sakramental, terutama Sakramen Ekaristi maupun saat melaksanakan tindakan pastoral, teristimewa pelayanan kepada mereka yang membutuhkan, saya mengalami sukacita. Ekaristi menjadi sumber sukacita karena di sana saya yang tak pantas ini diperkenankan menjadi imam yang dalam pribadi Kristus (in persona Christi) merayakan Ekaristi, di mana korban Yesus dihadirkan secara riil dan Tubuh Kristus dibagikan secara nyata kepada umat. Pelayanan kepada Yesus dalam diri saudara-saudari yang paling hina (Bdk Mat 25: 40) melengkapi sukacita menjadi imam. Sukacita ini tak berbeda saat menjadi uskup. Yang berbeda adalah cakupannya. Sebagai uskup diberi kesempatan yang lebih besar menggembalakan umat yang lebih luas. Selain itu, tentu saya mengalami lebih terberkati lagi saat menjadi uskup sebagai rahmat untuk makin dekat dengan Tuhan agar makin dapat melayani Gereja-Nya.’

Apa cerita menarik jelang tahbisan presbiterat? Pesan orangtua yang masih teringat hingga saat ini saat menjadi presbiter?

Sejak saya menjalani proses pendidikan imam, orangtua selalu berpesan bahwa kalau mau menjadi imam, jadilah pastor yang baik. Demikianlah beberapa orang pun, termasuk para imam dan suster berpesan, “Jadilah gembala yang baik!” Untuk apa menjadi imam atau bahkan diangkat uskup kalau tidak menjadi gembala yang baik. Maka, dalam segala kekurangan yang ada, saya berusaha menjadi gembala yang baik yang menurut istilah Sri Paus Fransiskus adalah gembala yang berbau domba. Maka, dengan rendah hati saya mohon kepada Saudara-saudari yang terkasih, “Doakanlah saya agar menjadi gembala yang baik.” Menjadi gembala baik adalah proses perjalanan seumur hidup bukan suatu cita-cita yang bisa dicapai pada waktu tertentu seperti orang lulus atau memperoleh gelar. Menjadi gembala yang baik perlu ditempatkan dalam konteks mengasihi Yesus sebagaimana Yesus pun bertanya kepada Petrus sebelum menyerahkan domba-domba-Nya.

Saya mewakili teman-teman memberi sambutan seusai tahbisan pada 26 Juni 1996. Inilah kutipan paragraf terakhir: “Akan tetapi, hari ini bukanlah akhir dari perjalanan kami, melainkan langkah baru dalam hidup kami sebagai imam walaupun kami adalah kami yang kemarin. Kiranya kenyataan ini selalu mengingatkan bahwa kami manusia biasa namun mendapat karunia istimewa dan tanggung jawab besar dalam Gereja. Maka, baiklah kiranya kalau kami selalu tahu diri dan rendah hati. Doa dan dukungan dari saudara\i sungguh kami butuhkan. Ini bukan basa-basi, tapi harapan dan ungkapan hati yang mudah-mudahan bisa diterima dengan lapang dan tulus hati.” Itulah pengalaman sangat mengesankan di mana untuk pertama kali saya berbicara di depan umum sebagai imam.

Pengalaman pastoral apakah yang paling berkesan (saat menjadi presbiter)? Bagaimana membangun relasi dengan umat?

Yang penting adalah bagaimana saya mewujudkan iman pada Allah dan komitmen pada Gereja sebagai bagian perjalanan hidup imamat. Di situlah pengalaman pastoral akan selalu mengesankan sebagai persembahan kepada Allah dan pengabdian kepada Gereja. Di mana pun saya berkarya, saya mengalami sukacita. Saya tak pernah menolak atau menawar tugas perutusan yang diberikan kepada saya oleh atasan yang saya percayai bahwa Allah berbicara dan bertindak melalui pimpinan.

Hal apakah yang menjadi inspirasi (“kunci sukses”) sebagai seorang imam dan bagaimana mengembangkannya?

Kunci sukses seorang imam adalah doa yang memuncak pada perayaan Ekaristi, di mana saya bisa berjumpa secara langsung dengan Yesus. Maka, di mana dan ke mana pun, walau dalam perjalanan misalnya di airport, atau saat liburan misalnya di penginapan, saya selalu merayakan Ekaristi. Hanya setahun sekali saya tak merayakan Ekaristi, yaitu pada Jumat Agung. Di samping itu, Ibadat Harian yang merupakan kewajiban seorang imam menjadi barometer komitmen pelayanan. Kalau ibadat yang menjadi kewajiban harian saja tak dilaksanakan, bagaimana kita bisa melaksanakan pelayanan lain? Kehidupan komunitas dan spiritualitasnya yang saya timba dari Ordo Salib Suci, di mana saya dididik dan dibesarkan, meneguhkan perjalanan saya sebagai imam Krosier. Tak mungkin seorang imam menjadi gembala yang baik kalau ia bukan a man of community; pribadi yang mempunyai passion for community. Di samping itu, ketaatanlah yang membuat saya bersukacita sebagai imam, di mana kita menyerahkan seluruh hidup kita pada Allah (iman) melalui pimpinan agama dalam melayani sesama (umat dan masyarakat) dengan baik dan benar (komitmen).

Kegalauan apa yang pernah dihadapi saat menjadi imam?

Kegalauan yang paling saya ingat adalah saat saya sebagai imam balita mengalami konflik dengan rekan imam serumah hingga tak berkomunikasi selama tiga hari padahal saya harus berkhotbah tentang komunikasi. Bagaimana mungkin seorang imam bisa hidup damai sementara tak “omong” dengan saudara sekomunitasnya? Seusai Misa yang kebetulan adalah hari Komsos Sedunia, saya langsung bertemu dengan imam tersebut dan berkata, “Saudara sekarang Hari Komunikasi Sosial Sedunia, mari kita berkomunikasi.” Kami pun berkomunikasi kerena salah paham. Selesailah persoalan. Hati pun damai. Khotbah pun diwujudkan dalam hidup sendiri. Saya galau kalau berkhotbah sesuatu yang tak dijalankan sendiri. Maka, setiap kali berkhotbah, tiada lain saya mengkhotbahi diri sendiri juga.

Sebagai seorang imam, apa reaksi spontan saat terpilih menjadi uskup?

Tentu saya tidak pernah membayangkan menjadi uskup bahkan bertemu uskup pun sungkan. Maka, saat saya diberitahu oleh Nunsio pada 3 Juni 2014 bahwa saya diangkat uskup bingung, saya tak mampu berucap apapun. Bahkan saat berjalan kaki dari Kedutaan Vatikan menuju Wisma KAJ menemui Mgr. Ignatius Suharyo, saya tersesat saking bingung bercampur takut; haru bercampur syukur. Inilah yang saya sampaikan pada pengantar tahbisan uskup: “Peristiwa iman hari ini kiranya menyatakan kebesaran Allah yang telah berkenan melalui Gereja-Nya memilih saya yang hina ini untuk melayani sebagai uskup. Saya adalah seorang hamba Gereja. Dengan rendah hati dan penuh iman saya berkomitmen: Kapan pun Gereja membutuhkan, saya akan siap; Apapun yang Sri Paus minta, saya akan laksanakan. Martabat uskup adalah suatu anugerah istimewa yang pantas disyukuri, sekaligus suatu salib indah yang mesti ditekuni. Panggilan ini merupakan rahmat untuk makin dekat dengan Tuhan agar makin dapat melayani Gereja-Nya. Saya menyadari kelemahan dan kerapuhan diri. Oleh karenanya, saya memohon doa dan dukungan supaya bersama saudara-saudari sanggup melaksanakan perintah Tuhan: Ut diligatis invicem: kasihilah seorang akan yang lain. Kita sudah mengetahui perintah ini, tetapi kadang tidak sungguh melaksanakannya.”

Setelah menjadi uskup, bagaimana kiat menjalin relasi dan perhatian dengan para imam agar tidak berjarak (imam yang lebih senior dan seusia)?

Setelah diumumkan sebagai Uskup Terpilih, sebelum ditahbiskan, saya mengunjungi semua imam diosesan Keuskupan Bandung dan berbicara secara pribadi sebagai pintu masuk pada persaudaraan. Para imam ini kini bukan hanya menjadi sabahat karya tetapi juga menjadi saudara sekeluarga. Setelah ditahbiskan, saya mengunjungi semua orangtua para imam diosesan Keuskupan Bandung. Pada tahun berikutnya, saya mengumpulkan para orangtua imam tersebut dengan keluarga intinya untuk acara kekeluarga selama dua hari satu malam. Saya mengalami bukan hanya sebagai bapak bagi para imam tetapi juga saudara. Sukacita karena persaudaraan dalam keluarga imam diosesan meneguhkan panggilan saya. Semoga para imam pun mengalami sukacita besar. Sebenarnya saya menjadi bapak untuk semua imam, baik diosesan maupun religius. Persaudaraan di antara para imam dari mana pun kiranya makin meneguhkan panggilan saya bersama semua imam dan menjadi kesaksian yang patut disyukuri.

Apa yang perlu dilakukan agar semakin banyak orang muda mau menjadi imam?

Di banyak tempat saya berkata bahwa yang terjadi saat ini bukanlah krisis panggilan, tetapi krisis teladan. Untuk menarik banyak orang muda menjadi imam, kita harus memperlihatkan teladan hidup yang penuh sukacita sebagai gembala yang baik dengan iman yang total dan komitmen yang radikal. Setiap hari Jumat, saya mendoakan intensi Misa untuk panggilan rohaniwan, biawaran-biarawati, setiap hari Sabtu bagi para imam. Panggilan itu milik Allah maka perlu kita minta kemurahan Allah.

Apa pesan Monsinyur kepada segenap umat beriman agar para imam selalu setia pada imamatnya.

Kalau saya ditanya umat yang menawarkan sesuatu, saya selalu menjawab, “Doakan saya!” Ini bukan basa-basi. Ini harapan yang sesungguhnya. Apa lagi yang terutama diharapkan oleh seorang imam dari sahabat, kerabat, dan umat kalau bukan doa. Biasanya, orang yang menawarkan pun menjawab, “Kalau doa, itu sudah saya lakukan!” Syukur kepada Allah dan terima kasih kepada saudara-saudari yang terus mendoakan saya bersama para imam lain. Saya tahu ada orang dan kelompok tertentu yang setiap hari berdoa untuk saya. Harapan ini pun saya sampaikan dengan rendah hati pada kesempatan ini: Doakanlah kami, para imam agar menjadi gembala yang baik, yang hidupnya memuliakan Tuhan dan menjadi berkat bagi sesama hingga mengalami sukacita Injil.

Edy Suryatno (Bandung)

HIDUP, Edisi No.25, Tahun ke-75, Minggu, 20 Juni 2021

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini