HIDUPKATOLIK.COM – Banyak seminari menengah di tengah pandemi ini ngos-ngosan dalam hal pembiayaan kebutuhan hidup sehari-hari. Ada yang bahkan meliburkan para siswanya.
Sejak Desember 2020, para siswa di Seminari Menengah St. Vincentius a Paulo, Garum, Blitar, Jawa Timur tidak diperkenankan pulang rumah. Biasanya menjelang Natal, pihak seminari bekerja sama dengan orangtua seminaris, sudah menyiapkan tiket kereta atau bus agar para siswa bisa kembali ke rumah. Bertemu orangtua adalah waktu yang paling ditunggu-tunggu para seminaris.
Sayang, harapan itu hilang karena Covid-19. Pandemi memupus harapan para siswa bertemu keluarga. Sejak wabah merebak, para siswa Seminari Garum tidak diizinkan keluar asrama. Segala kegiatan di luar seminari ditiadakan. Seminari Garum lockdown untuk memutuskan mata rantai penyebaran Covid-19. “Kenyataan pelik ini tak dapat ditawar. Beragam perasaan terselip di lubuk hati kami. Kecewa dan sedih sudah tentu. Tapi liburan di asrama meninggalkan kesan tersendiri di hati kami,” ujar Joseph Dimas Kusuma, siswa Seminari Garum.
Konsekwensinya, seminari yang harusnya bisa menghemat biaya makan-minum masa liburan kini harus mencari dana tambahan. Tidak saja itu, para seminaris harus mendapat asupan gizi dan vitamin di masa pandemi. Sayuran, buah, dan daging menjadi asupan wajib para seminaris guna mendukung daya tahan tubuh mereka. Kluster asrama menjadi lahan penyebaran virus yang susah terbendung.
Jika situasi demikian, bagaimana pihak seminari harus memutar otak guna mensejahterakan para siswa? Di satu sisi para seminaris butuh asupan yang layak, di sisi lain para donatur atau komunitas-komunitas pencinta seminari harus mengurangi jatah bantuan karena ikut terdampak pandemi. Bisakah seminari terus bertahan di tengah pandemi ini?
Kreatif dan Mandiri
Ekonom Seminari Garum Pastor Robertus Theo Elno Respati mengakui sejak pandemi beban pengeluaran seminari justru makin bertambah khususnya soal makan-minum, gizi, dan kesehatan para siswa. Walau keuangan tersendat-sendat, pihak seminari tidak sekadar duduk berpangku tangan. Katanya, pandemi juga membuka peluang untuk kreatif dan mandiri. Segala kebutuhan dapur yang dahulu selalu didapatkan di pasar, kini harus diupayakan sendiri dengan memanfaatkan lahan-lahan seminari yang cukup luas.
Lanjutnya, selama ini untuk kebutuhan gizi juga datang dari Gerakan Orang Tua Asuh Seminari (Gotaus). Tetapi hendaknya bukan menjadi sumber pengharapan utama karena Gotaus juga memperhatikan seminari-seminari lainnya di seluruh Indonesia. Setahun ada dua kali bantuan dari Gotaus dan itu cukup untuk gizi, sesuai dengan jumlah seminaris.
Soal kreatif dan mandiri di masa pandemi, Seminari Garum mengajak para siswa untuk memanfaatkan lahan produktif. Kini mereka memiliki kebun buah sendiri, ada kolam ikan, kebun sayuran hidroponik yang bisa dikonsumsi di masa pandemi. “Seminari di masa pandemi berusaha tidak tergantung pada donatur atau Gotaus. Harus kreatif dan berusaha untuk bisa mandiri, khususnya mandiri soal kebutuhan dapur,” ujar Pastor Theo.
Sementara Rektor Seminari Menengah St. Laurentius, Keuskupan Ketapang, Pastor Andreas Setyo Budi Sambodo setuju bahwa semua seminari harus kreatif dan mandiri di tengah pandemi. Seminari harus pintar-pintar “jemput bola”. Ia mengakui sejak pandemi, keuangan seminari merosot dan bahkan hampir tidak cukup membiayai kebutuhan para siswa. Satu program yang ia buat adalah mengunjungi setiap paroki atau stasi asal para seminaris untuk meminta dukungan bahan pangan.
“Biasa sebulan sekali saya mengunjungi paroki dan stasi asal para seminaris. Sebelum berangkat saya kirim surat dulu. Umat begitu antusias membantu. Mereka sudah menyiapkan beras, sayur, kelapa, buah-buahan, daging, minyak goreng, dan sebagainya untuk saya antar ke seminari,”ujarnya. Ia menambahkan, dalam kunjungan itu, orangtua siswa bisa menitipkan uang sekolah dan asrama.
Tidak cuma itu, kreativitas menghidupkan kebutuhan dapur diwujudkan dengan mengolah beberapa lahan seminari menjadi lahan produktif baik untuk peternakan maupun perkebunan. Seminari sedang mencoba beternak kambing dan juga membuka kebun tomat, sayuran, dan buah-buahan.
Hal yang sama ditambahkan Rektor Seminari Menengah St. Andreas, Masohi, Keuskupan Amboina, Pastor Alfons Louis Suarubun. Ia menceritakan hampir rata-rata seminari menengah di Keuskupan Amboina “menjemput bola” dari umat. “Syukur umat memiliki kepekaan besar terhadap pendidikan dan pembinaan calon imam. Mereka biasa membawa pangan berupa beras, sayur, buah-buahan, termasuk kayu bakar bagi seminari,” ujar imam Diosis Amboina ini.
Hal ini terjadi di Seminari St. Andreas di mana seminari tidak ingin tetap diam menunggu bantuan Gotaus, donatur, atau subsidi keuskupan. “Sebagai rektor, saya harus berpikir keras, termasuk kreatif dan mandiri dengan menanam, beternak, dan sebagainya. Paling utama gizi, daya tahan tubuh, dan kesehatan para seminaris,” paparnya.
Dapur dan Disiplin
Pastor Laurentius Sopang selaku Rektor Seminari Menengah Yohanes II, Labuan Bajo, Keuskupan Ruteng menggarisbawahi bahwa dalam pedomannya, Gotaus diperuntukkan bagi penambahan gizi serta kebutuhan dapur para seminaris. Itu artinya makanan untuk para seminaris hendaknya mengandung gizi yang cukup.
Pastor Laurentius mengakui urusan dapur adalah hal yang sangat mendesak untuk diperhatikan. Jika asap dapur tidak mengepul, aktivitas seminari juga terganggu. Ia mengutip pribahasa Bahasa Latin Bona Culina, Bona Disciplina (Jika dapur baik, dalam arti gizi baik, disiplin hidup terpelihara dengan baik).
Demi memenuhi kebutuhan dapur, Pastor Laurentius mengakui akhir-akhir ini Seminari Yohanes II berusaha untuk hemat, mengurangi perbelanjaan yang berhubungan dengan penambahan atau perbaikan fasilitas. Selain itu, ada usaha untuk meningkatkan usaha pertanian agar belanja dapur seperti kebutuhan sayur-mayur diambil dari kebun sendiri. “Kami juga sedang berusaha ternak ayam dan kambing yang bisa dijual untuk kebutuhan sendiri,” ujarnya.
Berbeda dengan seminari Menengah Petrus Van Diepen, Keuskupan Manokwari Sorong. Rektor seminari, Pastor Adrianus Tuturop menjelaskan selama ini ada bantuan dari Gotaus, pihak keuskupan, dan para donatur lainnya. Khusus para donatur ini di masa pandemi mengalami pengurangan jatah sumbangan karena banyak juga donatur yang merasakan akibat langsung dari Covid-19.
Soal seminari baik tingkat SMP, Kelas Persiapan Bawah, SMA, dan Kelas Persiapan Atas dengan total siswa 304 siswa untuk sementara dipulangkan ke orangtua. Keputusan ini diambil untuk pertama-tama mencegah penyebaran Covid-19 di Papua yang kian hari makin bertambah. Di samping itu tentu tak menutup kemungkinan untuk mengurangi biaya kehidupan sehari-hari para seminaris. Sebab sejak pandemi, seminari terus “mengeratkan ikat pinggang” karena beban biaya yang cukup tinggi.
“Sejak pandemi hingga sekarang ini jumlah seminaris makin bertambah sejalan dengan kebutuhan seperti gizi, vitamin, dan makan-minum yang bisa mendukung daya tahan tubuh para seminaris. Pemasukan dari donatur, keuskupan, atau Gotaus dirasa belum bisa menjawab kebutuhan para seminaris,” ujarnya.
Butuh Dukungan
Apapun situasinya, tempat persamaian ini hendaknya mendapat dukungan penuh semua umat. Akhir-akhir ini, para seminaris menjadi korban kasus penularan Covid-19. Pada akhir April 2021, ada sekitar 172 orang seminaris dinyatakan positif Covid-19 di Seminari Maria Bunda Segala Bangsa (BSB), Keuskupan Maumere, Nusa Tenggara Timur. Mereka yang terinfeksi terdiri dari pelajar SMP, SMA, karyawan, dan guru.
Para seminaris menjalani karantina mandiri di ruang-ruang kelas yang disulap jadi fasilatas karantina. Kepala Sekolah SMA Seminari BSB Pastor Raymond Minggu dalam pesannya mengharapkan umat beriman tetap mendukung para seminaris dengan berbagai cara. “Paling penting adalah dukungan berupa obat-obatan dan vitamin, makan minum untuk menambah gizi, dan fasilitas yang layak untuk kesehatan mereka,” ujarnya,
Sebelumnya pada September 2020 lalu, kasus yang sama terjadi di Seminari St. Yohanes Maria Vianey, Keuskupan Sintang, Kalimantan Barat. Ada sekitar 30 seminari yang tertular Covid-19. Sudah saatnya Gereja bersama umat beriman terlibat dalam kehidupan para seminaris. Sebagai jantung keuskupan, peran seminari menengah sangat penting bagi sebuah Gereja lokal.
Yusti H. Wuarmanuk
Majalah HIDUP, Edisi No.19, Tahun ke-75, Minggu, 9 Mei 2021