HIDUPKATOLIK.COM – SIKAP ateis membawanya pada penyangkalan akan Tuhan. Namun, Tuhan selalu membuktikan kasih-Nya dengan memilih dia sebagai pendoa bagi kaum ateis.
DI akhirat, tak saja orang Kristiani yang masuk surga. Bahkan orang ateis sekalipun bisa mendapatkan rahmat itu. Kritik ini dilontarkan Itala Mela, seorang mahasiswi di Universitas Genoa, Italia. Ia mengutarakan secara blak-blakan dalam sebuah diskusi yang digelar Federasi Mahasiswa Katolik Italia (Federazione Universitaria Cattolica Italiana/FUCI). Dalam diskusi itu, Itala membombardir semua peserta dengan pertanyaan-pertanyaan tentang Tuhan. “Mengapa Tuhan Anda menciptakan alam semesta yang begitu kejam? Mengapa Tuhan mengizinkan seorang bayi meninggal? Mengapa Tuhan Anda menciptakan alam semesta yang begitu besar, tapi hanya satu planet yang dapat didiami? Tuhan tidak adil, bahkan Dia tidak ada!” demikian kesimpulan Itala.
Gadis kelahiran La Spezia, Italia, 28 Agustus 1904 ini, selama bertahun-tahun tak percaya adanya Tuhan. Saat duduk di bangku kuliah, Itala gemar membaca tulisan para tokoh ateisme, seperti Ludwig Feuerbach (1804-1872) dengan ajaran tentang Tuhan dan agama sebagai proyeksi dari kehendak manusia belaka. Itala setuju bahwa Tuhan hanyalah proyeksi manusia yang mendamba sifat-sifat kesempurnaan yang tak dicapainya. Tuhan hanyalah ilusi infantil manusia. Ia juga tertarik dengan pandangan ateisme Friedrich Nietzsche (1844-1899). Dalam novel filsafat berjudul “Sabda Zarathustra”, muncul jargon terkenal, “Tuhan telah mati”.
Pengaruh ateisme yang ia pelajari sangat berpengaruh dalam tindak-tanduknya. Di luar dugaan, Tuhan menyapa dalam visiun (penglihatan rohani). Tuhan membalikkan konsep-konsep ateisme yang ia genggam erat dalam sekejap. “Mulai hari ini, kamu akan menjadi pendoa,” pesan Tuhan ini menjadi kekuatan bagi Itala untuk menapaki panggilan hidup selibat dalam biara kontemplatif sebagai Suster Oblate Sancti Benedicti (OSB)
Pergumulan Iman
Selama menjalani studi, Itala tercatat sebagai mahasiswi brilian. Tahun 1923, kala bergabung dengan FUCI, ia sering mengkritik kawan-kawannya yang menganggap diri lebih superior dalam hal iman. Ia tak suka jika realitas manusiawi dikaitkan dengan kehadiran Tuhan. Ia lebih senang mengutip adagium kaum Marxis, “Agama adalah candu masyarakat”. Agama sering membutakan orang mengenai kondisi ketertindasan yang ia alami bersama masyarakat. “Seandainya Tuhan dan agama tidak ada, manusia pasti akan hidup bebas dan lebih bermartabat,” tegas Itala.
Itala menyelesaikan studi sastra, termasuk sastra klasik, pada 1928. Setelah itu, ia banyak membantu kaum ateis yang diperlakukan secara diskriminatif. Tak heran, dalam beberapa kesempatan, ia bertemu para tokoh agama, seperti seorang imam Diosesan Brescia, Italia, Pater Giovanni Battista Enrico Antonio Maria Montini (1897-1978). Kelak Pater Montini ini akan menjadi Uskup Agung Milan, Italia (1954-1963); lalu terpilih sebagai Paus Paulus VI (1963-1978); dan dibeatifikasi pada 19 Oktober 2014. Itala juga bertemu Abas Biara St Paulus Luar Tembok, Mgr Alfredo Ildefonso Schuster OSB (1880-1954). Kelak Abbas Schuster diangkat sebagai Kardinal-Imam Santi Silvestro e Martino ai Monti dan Uskup Agung Milan (1929-1954). Pada 12 Mei 1996, Kardinal Schuster digelari beato oleh Paus Yohanes Paulus II (1920-2005).
Dalam pertemuan dengan Pater Montini, Itala menunjukkan diri sebagai seorang yang sangat rasional. Pater Montini menggambarkan figur Itala sebagai pribadi yang sering berhadapan dengan pertanyaan “mengapa”. Namun, semua jawaban Pater Montini tak ada satu pun yang mampir dalam benaknya. Pada akhir pertemuan, Pater Montini berpesan, “Suatu saat, kamu akan mengerti bahwa rasio dan materi tak dapat menjelaskan pengalaman manusia!”
Kata-kata Pater Montini menyusup bak mantra sihir bagi Itala. Gadis itu mulai meragukan konsep yang ia yakini. Pikirannya mulai terusik dengan semua pengetahuan rasional yang ia banggakan. Itala pun seolah berada di persimpangan jalan, antara percaya pada Tuhan atau tidak sama sekali.
Jalan Tobat
Masa kecil Itala sebenarnya mencerminkan kehidupan seorang Katolik yang taat. Meski orangtuanya, Pasquino Mela dan Luigia Bianchini, pasangan guru ateis, Itala belajar mengenal Tuhan karena campur tangan kakek dan neneknya. Ia tinggal bersama kakek dan neneknya sekitar sepuluh tahun (1905-1915). Itala sudah dibaptis, lalu menerima Komuni Pertama pada 9 Mei 1915, dan Sakramen Krisma pada 27 Mei 1915. Namun, semua pengalaman tentang Tuhan itu lenyap ketika ia menghadapi realitas kematian kakaknya, Enrico Mela, 27 Februari 1920. Kematian saudaranya ini mengguncang iman Itala. Alhasil, ia berkesimpulan, “Tuhan tidak ada! Pun bila ada, Tuhan tak bisa menyelamatkan orang saleh yang beragama.”
Suatu saat, Itala berniat membuktikan keberadaan Tuhan. Pada 3 Agustus 1928, Itala merasa tertarik menikmati suasana pagi di Seminari Pontremoli, Tuscany, Italia. Entah mengapa ketika tiba di seminari, timbul keinginan melihat bagian dalam kapel. Saat matanya memandang Tabernakel, ia melihat kemilauan sinar putih dari dalam tempat penyimpanan Sakramen Mahakudus itu. “Putri kesayangan-Ku, layanilah umat-Ku dalam doa dan matiragamu,” demikian bisikan suara yang ia dengar sayup-sayup. Tubuhnya membeku dan hanya mengisyaratkan kesanggupan dengan sebuah anggukan kecil. Ada suatu kekuatan besar yang tak bisa ia tolak. Keesokan harinya, ia memutuskan masuk biara.
Pada 1929, Itala berstatus novis di Biara St Paulus, sebuah biara kontemplatif tua di luar tembok Kota Abadi. Ia bergabung dengan Oblat St Benediktus, yang berkiblat pada regula St Benediktus dari Nursia (480-543) dengan ciri hidup monastik yang kental. Sr Itala menghidupi semangat doa dan kerja dengan tekun dan setia. Ia secara khusus mendoakan orang-orang ateis yang belum mengakui limpahan kasih Tuhan. Sebagai tanda hidup baru sebagai rubiah, Sr Itala mengikrarkan kaul dan mengambil nama biara, Sr Maria della Trinità (Sr Maria dari Trinitas) pada 4 Januari 1933.
Sr Itala dibimbing langsung oleh Abas Schuster OSB, sebagai Bapa Rohaninya. Ia mengungkapkan keyakinan kepada sang Abas bahwa Tuhan selalu mengungkapkan kebaikan kepada siapa saja, bahkan kepada seorang ateis sekalipun. “Aku akan mengikuti Engkau, ya Tuhan, sampai cahaya mataku redup,” kata Sr Itala dalam doa bersama Bapa Rohaninya.
Selama bertahun-tahun, Sr Itala setia menjadi pendoa. Ia juga mengembangkan talenta menulis dengan menuangkan refleksinya seputar tema Trinitas. Kelak, tulisan-tulisan itu dirangkai menjadi sebuah panduan latihan spiritual. Konon, selama di biara, kesehatannya sering terganggu. Namun, ia tetap setia menunaikan tugas-tugasnya. Hingga akhir hayatnya, ia tak pernah lelah merefleksikan tentang Allah Tritunggal Mahakudus. Sang pendoa ini wafat pada 29 April 1957. Tahun 1983, jazadnya dipindahkan ke Gereja La Spezia.
Mendiang Sr Itala dikenal sebagai penulis teologi, terutama tentang Trinitas. Proses penggelaran kudusnya mulai diusulkan pada 29 April 1968. Tahun 1979, semua warisan tulisannya terkumpul lengkap. Namun, Takhta Suci baru membuka secara resmi proses penggelaran kudus pada 2 Oktober 1992. Melalui penyelidikan dan penelitian, akhirnya Paus Fransiskus merestui dekrit keutamaan Kristiani Sr Maria dari Trinitas dan menggelarinya venerabilis pada 12 Juni 2014.
Takhta Suci pun mengakui mukjizat yang terjadi melalui perantaraan doa Sr Maria dari Trinitas. Bapa Suci merestui beatifikasinya pada 14 Desember 2015. Paus Fransiskus menunjuk Prefek Kongregasi Penggelaran Kudus, Kardinal Angelo Amato SDB untuk memimpin Misa Beatifikasi Sr Maria dari Trinitas. Misa digelar di Piazza Europa, La Spezia, pada 10 Juni 2017. “Suster Itala dibesarkan dalam iman Katolik, tapi akhirnya mengalami situasi yang berbeda. Kadangkala dunia membutuhkan orang seperti ini untuk menggambarkan kasih Allah yang tak terbatas,” demikian pesan Paus. Gereja memperingatinya tiap 28 April.
Yusti H. Wuarmanuk