KADERISASI HANYA OMONG KOSONG?

355
Cosmas Christanmas, Kontributor

HIDUPKATOLIK.COM – “Setiap masa ada orangnya dan setiap orang ada masanya”. Waktu terus berjalan, setiap orang akan terus bertumbuh. Setiap organisasi, setiap waktu, membutuhkan orang yang pas sesuai perkembangan.

Apapun jenis, tujuan, dan skalanya, setiap organisasi yang masih ingin berperan untuk jangka panjang, selalu membutuhkan sejumlah orang yang pas untuk setiap jenjang organisasinya.

Mengembangkan orang (talenta) sejak dini, sama pentingnya dengan mengembangkan produk/jasa agar tetap diminati oleh masyarakat di tempat dan lingkungannya berkiprah. Dan karena strategisnya pengembangan talenta itu, setiap orang dalam organisasi itu ikut memiliki tugas dan kewajibannya masing-masing. Yaitu melalui pengembangan organisasi agar tetap relevan dan seksi, tahapan pengembangan talenta yang jelas, serta tata kelolanya yang transparan, akuntabel, responsibel, integral, dan fair (TARIF).

Tulisan A.M. Lilik Agung di Majalah HIDUP edisi 1/2021 (cetak 3 Januari 2021, online https://www.hidupkatolik.com/2021/01/31/51538/quo-vadis-kaderisasi-katolik-iksa-pmkri-pk-wkri-fmki-pukat-dan-lain-lain.php), menarik untuk disimak. Intinya mengajak kita semua untuk melihat kembali bagaimana kaderisasi di beberapa organisasi kemasyarakatan Katolik selama ini berproses.

Membaca sejarah, kaderisasi dianggap berhasil bila ada orang Katolik yang mampu menapaki jenjang hingga tingkat nasional dan meninggalkan jejak yang diakui bermakna untuk waktu yang lama.

Beberapa Pertanyaan

Pertama, apakah organisasi kemasyarakatan Katolik yang kita miliki selama ini masih relevan dan seksi?

Apa pula hasil-hasil pemikiran dan kiprah organisasi kemasyarakatan Katolik yang telah tersampaikan ke masyarakat (khususnya umat Katolik) sampai sekarang?

Lihatlah pula semakin banyak lembaga sosial masyarakat masa kini yang lebih ramping dan gesit bergerak pada isu-isu kekinian seperti lingkungan hidup, hak asasi manusia, persaudaraan lintas agama, tanpa membawa identitas agama?

Kedua, sistem pendidikan kita yang berorientasi pada prestasi akademik dan sedikit seni/olahraga, menghendaki para siswa agar menyelesaikan masa studinya dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Biaya hidup yang meningkat, membuat orang lebih fokus pada survival kepentingan diri sendiri dan jangka pendek. Selanjutnya makin sulit mendapatkan orang yang sengaja meluangkan waktu untuk berorganisasi, daripada orang yang sekedar memanfaatkan waktu luangnya.

Ketiga, teknologi digital zaman sekarang memberi lebih banyak hiburan dan peluang ‘karier’ yang menantang. Setiap orang bisa menghasilkan lebih maksimal secara mandiri atau melalui jejaring tanpa harus melalui jenjang dan prosedur organisasi konvensional yang panjang. Tidak ada ikatan tertentu, setiap saat, bebas tanpa batas, dan bisa di/dari mana saja. Banyak orang muda yang berhasil menjadi influencer yang lebih mampu mengguncang emosi masyarakat daripada pejabat struktural.

Keempat, apakah umat Katolik masih membutuhkan organisasi kemasyarakatan Katolik itu? Betul, kehadiran beberapa organisasi kemasyarakatan Katolik di Gereja/Paroki, memberi pilihan bagi umat yang ingin berkiprah lebih luas daripada sekitar teritori Lingkungan/Wilayah tempat tinggalnya saja.

Sejauh mata memandang, organisasi kemasyarakatan Katolik itu lebih fokus pada kegiatan internal para anggota, aktif melayani acara di gereja, dan sesekali mengadakan bakti sosial bila ada bencana. Dan menjadi perwakilan Gereja/Paroki bila ada kegiatan lintas agama di tingkat Kelurahan.

Kelima, kaderisasi membutuhkan orang-orang yang lahiriahnya memiliki minat dan kemauan berbagi waktu, pikiran, dan tenaga bagi orang lain. Kebahagiaannya terletak pada idealisme, sekecil apapun hasil yang diraihnya.

Mereka adalah rang-orang yang hidup untuk masa depan, tidak hanya untuk hari ini. Mereka bisa berkembang secara mandiri karena zaman sekarang memungkinkannya mendapatkan banyak alternatif di dunia maya.

Mereka sudah bisa berbuat banyak tanpa harus menunggu urut kacang hingga posisi puncak di organisasi. Karena berorganisasi melalui jejaring tanpa bentuk.

Dengan beberapa pertanyaan reflektif di atas, organisasi kemasyarakatan Katolik dan Gereja sendiri perlu melihat dengan jernih kebutuhan zaman sekarang, apakah ‘kita’ ini masih relevan dan seksi bagi umat Katolik sendiri.

Banyak pilihan alternatif untuk berkembang, justru tersedia di luar organisasi konvensional yang ada. Semua pihak merasakan perlunya kaderisasi untuk organisasinya, namun hanya lembaga-lembaga kedinasan yang masih mampu melakukannya secara sistematis. Akibatnya terjadi saling cangkok dan rebut dari organisasi lain, untuk jangka pendek maupun jangka panjang.

Mengharapkan kader internal untuk organisasi kemasyarakatan Katolik adalah sebuah harapan yang ideal. Namun kita tidak perlu galau juga, bila ada ‘kader’ kita yang justru lebih berbuah di organisasi lain dan memberi dampak strategis pada kebaikan bersama. Tanpa harus membawa-bawa identitas agama (Katolik). Bukankah itu sebagian dari makna universal dalam Katolik?

Kaderisasi yang sesungguhnya justru lebih penting pada tataran moral. Menanamkan nilai-nilai hakiki menjadi orang Katolik yang penuh cinta kasih, jujur, bertanggungjawab, menghormati martabat manusia, dan membawa kebaikan bersama, sejak usia dini. Di sini peranan Gereja sangat dominan.

Cosmas Christanmas, Kontributor

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini