Pertobatan Ekologis, Manusia Harus Sadar, bahwa Ia bukan Allah

1091
Pastor Chris Surinono, OCD, Alumnus Universidad de la Mística, Avila, Spanyol

HIDUPKATOLIK.COM – PADA peringatan Hari Bumi (25/4/2020), Paus Fransiskus mengatakan, “Kita sudah lupa menghormati dan merawat, termasuk merawat sesama.” Lima tahun lalu, dalam Ensiklik Laudato Sí (2015), Paus juga mengajak semua untuk menjadi “perawat dan penjaga karya Allah” (LS 218). Karena ini perintah Allah, maka tanggung jawab merawat bumi adalah wujud dasar spiritualitas.

“Kita tidak melihat dunia dari luar tapi dari dalam” (LS 220). Dimensi kontemplatif ini, dalam bahasa St. Yohanes dari Salib, disebut memandang ciptaan dengan pandangan Allah sendiri, karena pandangan Allah adalah kasih, dan kasih itu selalu membersihkan, merahmati, memperkaya dan mencerahkan apa yang dipandang (bdk. MR 33, 1. 6). Bumi menjadi ruang konkret di mana Allah berkarya untuk keselamatan dunia. Ibarat buku hidup tentang kasih Allah yang  wajib dibaca dengan akal dan dialami dengan hati.

Untuk itu perlu pertobatan ekologis demi terciptanya dimensi perubahan yang perkelanjutan (bdk LS 219). Sebab “kejahatan terhadap alam adalah dosa terhadap diri kita sendiri dan dosa terhadap Allah” (LS 8). Manusia sebagai bagian dari alam, harus sadar bahwa ia bukan Allah, dan bebas, tanpa rasa bersalah, merusak bumi ini.

Jadi, pertobatan ekologis harus integral, karena manusia bukan hanya perlu harmonis dengan diri, tapi juga dengan ciptaan lainnya. Bapa Suci tegaskan bahwa perbaikan dan perawatan alam perlu tindakan nyata, yang dalam tawaran Sony Keraf, (2010), adanya pembangunan berkelanjutan, yakni usaha memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi berikut.

Selain tobat, perlu ada rasa syukur atas Allah sebagai Bapa dan bumi sebagai hadiah Allah. Tanpa rasa syukur kecintaan pada bumi mustahil berkembang dan dorongan berbuat hal konkrit dalam merawat sulit bertumbuh. Berdasar pada dua kutipan kisah penciptaan: perintah untuk menguasai dunia (Kej. 1: 28) dan perintah untuk mengolah dan dan merawat (Kej. 2: 15), Paus mengajak siapa saja untuk tidak keliru menafsir teks ini dengan merasa diri sebagai penguasa atas bumi ini. Tapi sebaliknya, mengakui, memuliakan dan memujian Allah Pencipta.

Ekologi adalah ilmu, bukan agama. Tapi, spiritualitas ekologis tak bisa dipisahkan dengan sakramen-sakramen, karena yang kodrati dijadikan pengantara kehidupan adikodrati. Contoh Sakramen Ekaristi (LS 235-236).

Ekaristis merupakan “tindakan kasih kosmik”, karena satu dalam Putra yang menjadi manusia dan hadir nyata dalam roti dan anggur, mengucap syukur kepada Allah. Alam sungguh menjadi sarana kodrati untuk mengenal dan mengalami kehadiran Allah, sehingga semakin kita mencintai dan merawat alam, semakin kita mengalami kehadiran Allah Pencipta.

Dalam ibadat Rosario Laudato Si Oktober lalu, para uskup selalu mengajak untuk merawat bumi dengan: mengurangi sampah plastik, hemat air dan listrik, tidak membuang sisa makanan, menanam pohon, memelihara sumber air, sungai, danau dan laut. Ajakan ini tidak sekadar seruan moral, tapi juga sebagai wujud spiritualitas keseharian sesuai teladan Yesus.

Dengan menjadi manusia, Yesus masuk, mentransformasi, menguduskan, dan memberi nilai pada materi, dan “dengan cara itu, Ia telah menguduskan pekerjaan manusia dan memberinya nilai khusus untuk pengembangan kita” (LS 98).

Akhirnya, jika semua ciptaan hidup dalam atmosfir spiritualitas ekologis, maka, meminjam istilah A. Comte-Sponille, “semua tidak jauh dari kerajaan Allah” (Mrk. 12: 24).

Pastor Chris Surinono, OCD, Alumnus Universidad de la Mística, Avila, Spanyol

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini