HIDUPKATOLIK.COM – PERISTIWA sekian tahun lampau. Saya berada di perut pesawat Etihad EY-XXX yang siap lepas landas dari Berlin menuju New York. Pramugari mengumumkan aturan keselamatan penerbangan seperti yang acap didengar sebelum pesawat mengangkasa.
“In the case of emergency, those parents traveling with small children should put their own oxygen mask on first before assisting their children in putting on their oxygen mask”.
Itu salah satu aturan yang harus dicamkan oleh penumpang yang membawa anak-anak. Pakailah masker oksigen terlebih dahulu, sebelum membantu memakaikannya kepada anak-anak.
Tak cukup sampai situ. Kepada penumpang yang bersama anaknya, pramugari secara khusus, membisikkan pesan yang sama, satu persatu. Saya sempat mencuri-dengar apa yang disampaikan kepada seorang ibu bersama anak perempuannya. Mereka duduk persis di sebelah saya.
Cerita soal pemakaian masker oksigen berlalu begitu saja. Sudah lama, sangat lama. Mungkin karena tak ada yang istimewa, saya gampang melupakannya.
Sampai 2 hari lalu, tiba-tiba kisah itu terungkit kembali. Saya ngobrol dengan 2 Captain Pilot senior Garuda, yang sudah purna-karya. Mereka adalah Captain Onky dan Captain Pahlevi. Keduanya mencatat service years lebih dari 40 tahun. Saya angkat pengalaman menarik di atas. Kisah sesaat sebelum terbang dengan Etihad, “Boeing 787 Family”.
Ternyata, topik itu menarik perhatian mereka. Seperti laiknya paduan suara, keduanya berebut mengutarakan hal serupa, dengan berbagai alasannya, namun intinya sama.
“Sebelum menolong orang lain, berdayakan dirimu sendiri. Kalau tidak, bisa jadi semuanya malah celaka”.
Keduanya juga menyebut lembaga yang mengeluarkan aturan itu, “International Civil Aviation Organization” (ICAO).
Setelah diskusi usai, saya termenung dan menerawang lebih jauh. Ada filosofi sederhana yang menjiwai aturan itu. Tak mungkin seseorang menolong orang lain, bila dia tak mampu melakukannya. Orang harus punya dulu, baru bisa memberi kepada sesamanya. Kalau tidak punya, apa yang akan diberikan?
Kalau ingin sedekah uang, pastikan punya uang terlebih dahulu. Kalau tak punya, dengan apa mau bersedekah?.
Kalau ingin mengangkat seseorang yang terperosok ke dalam sumur, pastikan kuat untuk itu. Kalau tidak, bagaimana mampu mengangkatnya?.
Identik dengan prinsip “punya dulu, baru memberi”, syarat yang sama berlaku juga dalam memberi nasehat. Bila ingin mengajak berbuat baik, berilah dulu keteladanan dengan berperilaku baik. Meluruskan kekurangan hanya pas dilakukan oleh mereka dengan sedikit mungkin kekurangan. Begitu seterusnya.
Bila syarat tak dipenuhi, memberi nasehat tak banyak artinya. Ajakan memperbaiki akhlak hanya berhasil bila dilakukan oleh yang mempunyai akhlak. Ajakan tanpa “modal” niscaya sia-sia, bak mimpi di siang bolong.
Di pesawat dalam keadaan darurat, orangtua tanpa masker oksigen, jangan dulu membantu anaknya. Guru berkata dan menulis yang pantas, agar mencetak anak-didik yang berbudi-pekerti. Pemimpin memberikan keteladanan, agar dihormati dan diikuti pengikutnya. Begitu Hukum Tuhan yang berlaku dan tak terbantahkan. Bila dilanggar, jangan mengeluh kalau alam menghakimi dengan tegas dan adil.
“Satu keteladan lebih manjur daripada sejuta perintah”.
ICAO mungkin tak sadar, kalau aturan mereka mengandung semangat yang luhur. Mensyaratkan orangtua, guru dan pemimpin mendahulukan anutan sebelum mengajak dan mendidik anak-kandung, anak-didik dan anak-buah. Pesan mulia yang sangat sulit diikuti. Saya masih jauh dari itu.
Tak berbeda dengan itu, KH Dimyati Rois, akrab dipanggil Abah Dim, Kiai sepuh dan Ulama khos dari Kendal, berpesan untuk para guru (dan tentunya juga untuk orang tua dan pemimpin).
“Jika Anda menjadi guru hanya sekadar transfer pengetahuan, akan ada masanya ketika Anda tak lagi dibutuhkan. Karena Google lebih cerdas dan lebih tahu banyak hal daripada Anda. Namun, jika Anda menjadi guru juga mentransfer adab, ketakwaan dan keikhlasan, maka Anda akan selalu dibutuhkan karena Google tak punya itu semua”.
P.M. Susbandono, Kontributor, Penulis buku inspiratif