HIDUPKATOLIK.COM – (MENTARI mulai menumpulkan teriknya. Dan warna merah dan biru berbaur di langit. Sementara jalan setapak masih menyisakan jejak, dari pengelana sebelumnya)
Datanglah padaku saat engkau galau, tetapi jangan bergantung padaku, karena guru yang terbaik adalah dirimu sendiri.
Begitulah ia melanjutkan kata-katanya, yang sesekali disambung dengan diam berkepanjangan, membiarkan suara langkah mengisi waktu. Tak selalu bisa dimengerti. Seperti kata-kata ini, terasa ajaib, bukankah murid dan pengikut adalah sumber rezeki, dari mana angpau dan honor berasal. Alih-alih membuat mereka ketagihan kepadanya, sang guru malah menyuruh muridnya mengandalkan dirinya sendiri.
Jangan mengikuti aku, ikutilah kata hatimu. Ajaranku hanyalah salah satu cara untuk menemukan Kebenaran. Dan engkau akan menemukan caramu sendiri.
Agar kursus kita laku, tentu perlu diagung-agungkan bahwa “Inilah metodologi nomor satu. Dengan memakai cara ini, sudah pasti akan mencapai ketentraman, kesuksesan, dan, ini yang mahal, masuk surga.”
(Dan kaki pun terantuk batu-batu, oleh jalan yang berlubang)
Kebenaran tidak akan pernah kita kuasai, namun Ia rindu untuk dicintai. Hanya dengan kerendahan hatilah, kita bisa menjadi pantulan-Nya.
Kebenaran dengan ‘K’ besar? Jauh sekali. Yang dengan ‘k’ kecil saja sudah diributkan berkali-kali. Bagaimana mungkin hanya menjadi pantulan, kita harus berani mengatakan bahwa “Akulah kebenaran” agar orang terkesima, terpesona, mau datang dan mendengarkan.
(Jalan mulai menanjak, dan sesekali kaki tergelincir oleh licin sisa hujan)
Jika engkau ingin mengatasnamakan Kebenaran, lepaskan dirimu dari segala kepentingan. Karena kepentinganmu, akan menjadi penyesatan atas-Nya.
Baiklah, lalu kita dapat apa? Massa pengikut membuat kita disambut. Bisa punya program teve sendiri. Paling tidak, ada sponsor yang mengundang kita bicara, atau ikut kampanye. Soal materi presentasi tinggal dicocok-cocokkan dengan kepentingan mereka. Kita bicara tentang sabda yang lebar dan luas yang bisa dikaitkan kemana-mana. Tidakkah kau lihat, mereka haus mendengar, dan tontonan tanpa kedalaman, membuat mereka semakin haus. Ini lahan bisnis.
Dalam kesendirian, masuklah dalam kesunyian. Kebenaran akan menyapa lewat nafasmu. Bukan dengan kata-kata, karena kata-kata, sebagaimana juga perkataanku, tidak akan mampu memuat-Nya. Bagaimana itu mungkin?
Ya, kenapa jadi begitu? Merangkai keindahan kata-kata, lalu meneriakan ayat-ayat dengan semangat yang menggelora, akan membuat orang suka dan bersorak. Meski belum tentu mereka mengerti. Meski tidak penting-penting amat mereka mengerti atau tidak. Yang penting orang banyak berkerumun, lalu menjadi sasaran berita, lalu menjadi viral. Perkara menjadi sarang corona berbiak, biarlah itu jadi urusan mereka, yang bertugas mengurusnya.
Coba jelaskan dengan kata-kata, wangi bunga atau rasa mangga. Lihatlah, seringkali dibutuhkan perumpamaan. Namun perumpamaan bukanlah Kebenaran, ia hanya sekadar perantara, sebuah jembatan.
Waduh, mulai puyeng nih. Jadi kita belajar apa, jika tidak mampu menjelaskannya? Soal wangi bunga? Ya, suruh dicium saja. Soal rasa mangga? Ya, suruh icipin saja. Beres. Tapi, kalau orangnya banyak, abis diongkos yak? Buat membeli bunga dan mangga. Hmm, iya, bener juga, ‘cium saja’ atau ‘icipin saja’, artinya memberi contoh, memberi teladan, tidak perlu lagi dijelas-jelaskan dengan kata-kata.
(Jalan setapak mulai melandai, namun nafas masih terengah-engah, berebut oksigen dalam masker yang menyumpal)
Jika engkau melulu terpaku pada kata-kata, dan menganggapnya sebagai pedoman yang tinggal diikuti, seperti piranti lunak yang mengikuti program yang telah dibuat, engkau akan buta. Jarak pandangmu hanya sejauh jari, sementara jari itu menunjuk bulan, sebagai tujuan.
Ah, bisaan nih, guru. Kepanjangannya begini, kan, “agama seumpama jari yang menunjuk bulan, dan orang bodoh hanya melihat jarinya.” Tetapi meskipun begitu, kebodohan seseorang adalah rezeki nomplok bagi orang lain. Banyak yang menjadi kaya dengan berjualan sabda. “Hati-hatilah terhadap guru-guru agama. Mereka suka berjalan-jalan dengan jubah yang panjang dan suka dihormati di pasar-pasar. Mereka suka tempat-tempat yang terhormat di dalam rumah ibadat dan di pesta-pesta” (Mrk. 12:38-39). Nyindir yak?
Pergilah untuk berguru pada dirimu sendiri, dengan segala kesalahan yang menyertainya. Karena cintamu pada Kebenaran, dan sebagaimana juga kesunyian, akan menjadi penunjuk jalanmu.
“Sebagaimana juga kesunyian,” ini yang berat, selalu ada lorong sepi yang musti dilewati, dan kesepian yang menggigit kala tidak dimengerti, bukan saja oleh orang lain, seringkali oleh diri sendiri, “Saya kenapa, kenapa saya?” Namun, bukankah kita membutuhkan orang lain juga?
(Rombongan kelelawar terbang melintas awan sambil mencicit, giliran mereka mencari makan)
Tentu. Burung yang ingin melintasi benua, akan terbang bersama teman-temannya yang semisi. Kita bisa berguru dari banyak hal, dari pengalaman orang lain, dari pengalaman diri sendiri, namun tiada perlu bergantung pada satu orang, karena perbedaanlah yang akan mengutuhkan.
(Tonggeret mulai bernyanyi, sementara mentari tinggal menyisakan biasnya. Di kejauhan yang tak jauh lagi, pelita rumah sudah menyala, penat kaki sudah terasa)
Tinggallah di tempat kami, sekarang sudah hampir malam dan sudah mulai gelap juga. (Luk. 24:29)
Akan ada masanya, saya akan datang. Kala itu, izinkan aku untuk berguru padamu.
Henry C. Widjaja, Kontributor. IG/FB: @henrycwidjaja