HIDUPKATOLIK.COM-“BETE nih, hidup gue begini-begini aja.”
Kalau di depan sana, tidak terlihat apa-apa, maka kita juga tidak pergi ke mana-mana. Kerjaannya tinggal ngunyah dan kebo, kenyang bobo. Namun, di situlah kesempatan membangun mimpi.
“Membangun mimpi? Mimpi, tapi bangun?”
Iyalah, membangun, seperti membangun rumah di alam khayal. Dan mumpung dikasih bonus waktu sama WFH, bermimpilah dengan detail, bagaimana desain rumahnya, berapa banyak kamarnya, siapa saja penghuninya, bagaimana konstruksinya, dll, dll. Itulah yang disebut visi, sebuah cita-cita yang tergambarkan.
“Tapi mimpiku banyak, bang. Ada yang jorok, ada yang ngangenin.”
Apapun. Tapi visi yang asli terpendam di dalam hati. Ia sebetulnya menggedormu berkali-kali, jika kamu jujur kepada diri sendiri. Visimulah yang menyatukan pikiran, raga dan jiwa. Visi menggerakan niat. Niat menggerakan kerja. Dan ketika kerja terasa mandek, adalah visi yang akan menjadi penggugah, menjadi lokomotifnya. Mumpung belum bisa bebas ke mana-mana, inilah kesempatan ngumpulin lagi apa yang kamu punya.
“Yang aku punya? Sepasang bantal dan guling?”
Ya, kenapa tidak. Sepasang bantal dan guling yang selalu mewadahi badan yang lelah oleh hasrat yang membengkak. Membengkak seperti susu sapi betina, yang tidak pernah diperah. Hasrat yang tersembunyi dalam kemampuan yang terbungkam.
Ada yang bisa main piano, tapi setop di ujian sertifikasi. Ada yang suka IT, tapi mentok main TikTok. Ada yang pinter masak, tapi buat dimakan sendiri. Ada yang jago bikin rute blusukan, cuma buat jalan-jalan sendirian. Ngumpulin lagi itu seperti rekoleksi, termasuk di dalamnya menyadari, bahwa, meski dulu mimpinya jadi penari tetapi sekarang lulusnya ekonomi, patut disyukuri. Paling tidak ijazah itu sudah di tangan, kemahiran ilmu perduitan sudah menjadi kemampuan. Duit yang terkumpul bisa bikin studio tari.
Termasuk juga, menyadari bahwa banyak barang-barang yang sudah terbeli tapi tidak lagi terpakai, yang bisa dijual kembali sebagai modal. Termasuk juga, menyapa sobat-sobat jaman sekolahan yang pernah punya mimpi yang sama. Termasuk juga, menyadari bahwa di hape yang kita pegang, ada fasilitas untuk menghubungi dan menghubungkan banyak orang, hanya dengan ujung ibu jari.
Hidup, sebetulnya, sudah melengkapi apa yang kita butuhkan. Ia menaruhnya di dalam diri dan di sekeliling kita. Persoalannya, apakah kita merasa memilikinya, menyadari untuk memanfaatkannya. Menjadikannya produktif dan bernilai tambah?
Memang sih, hidup yang sama juga, yang mengajari kita untuk terus membeli tanpa memanfaatkan. Seperti, sudah punya hape pintar, terus diiming-imingi untuk membeli yang lebih baru, yang lebih canggih, meski tidak lebih perlu. Karena yang dipakai, toh, fasilitas yang itu-itu saja. WA lagi WA lagi, selfi lagi selfi lagi, itu pun hanya bisa asal jepret, ga ngerti nyetel settingannya.
Kita tersihir untuk membeli tanpa pernah merasa memiliki. Tetapi, hanya manusia yang memasrahkan dirinya kepada sihir, yang bisa tersihir. Manusia memiliki kehendak bebas, ia merdeka dalam memutuskan pilihannya, bahkan seringkali lupa pada pagarnya, yaitu kebebasan orang lain, sehingga merusak keseimbangan semesta.
“Tunggu-tunggu. Ngomenin kemandekan hidup gue, tapi abang ngocehnya kemana-mana”
Maaf-maaf. Ketika hidup terasa mangkrak, inilah kesempatan membuka mata, melihat kembali apa yang kita miliki, termasuk mimpi-mimpi yang tenggelam oleh rutinitas yang otomatis. Milikilah, sungguh memiliki, apresiasilah dan manfaatkanlah, apa yang kita punyai. “Di mana ada hartamu, di situ ada hatimu” (Mat 6:21). Begitu maksud abang.
Dalam kesempatan berdiam, kita bisa mengingat kembali, apa yang pernah Ia bisikan dalam mimpi kita. Apa yang telah Ia titipkan kepada kita. Apa yang telah Sang Hidup investasikan dalam hidup kita. Dan, apakah kita adalah produk investasi Semesta yang menguntungkan atau membuntungkan. Karena pada ujungnya, sebetulnya bukanlah tentang kita, tetapi tentang manfaat yang kita kontribusikan kepada Sang Hidup.
“Okeh. Terus?”
Kalau kamu sudah kenyang mengunyah, pejamkanlah mata, sambil membuat rumah di ‘alam sana’. Terus, kamu tuliskan kembali mimpi itu secara riil, seperti menggambar rumah di ‘alam sini’. Lalu inventarisir kembali apa saja yang kamu miliki, pengetahuanmu, ketrampilanmu, kesukaanmu, matching-kan dengan visimu. Kalau ada gap di antaranya, kamu pasti tahu apa yang musti kamu lakukan, visi yang asli akan menggedormu. Terus, melangkahlah. Me-lang-kah!
“Maap, abang motivator, ya? Nyerocosnya kayak, hidup gampang banget?”
Perasaan dari tadi, tidak ada yang bilang gampang. Ngoceh-ngoceh abang ini, kan, garis besarnya, konteksnya. Konteks itulah yang mengaitkan rentetan kegiatan saat kamu berproses. Kamu akan tahu kegiatan yang selaras dengan arah dan tujuanmu, dan apa yang tidak. Insya Allah, karena kamu lebih tahu apa yang kamu mau, orang-orang yang seide bisa pada nempel kayak magnet. Berkolaborasilah.
“Emang kalau udah ditulis, selesai bang?”
Tidak pernah selesai, selama hayat dikandung badan. Bakal dikoreksi di sana-sini, bahkan ditulis ulang kembali. Tapi begitulah. Seumpama mengarang karya tulis. Ide-ide musti dituangkan. Meski tidak sempurna, tidak masalah. Karena hanya yang sudah dituliskan yang bisa diperbaiki. Salah itu berkah, selama kita terus melangkah. Hal ini bahkan sudah diadopsi dalam dunia manajemen, istilahnya “kaizen”, perbaikan berkesinambungan. Ga gampang memang, itulah salibnya. Namun hanya ia yang pernah jatuh yang dapat bangkit kembali.
“Ah, tapi musim pandemi gini, mo ngapa-ngapain juga gajebo, ga jelas bo.”
Meskipun begitu, tetap lebih baik kamu sudah punya arah. Kata para cerdik cendekia, kita tidak dapat mengubah arah angin, tetapi kita bisa mengubah arah layar perahu kita. Jika kamu tidak punya arah, kala berlayar, artinya kamu hanyut, terombang-ambing, pantes kalau hidup jadi begini-begini aja. Bete.
“Baiklah bang, ogut mau berlayar ke pulau kapuk.”
Henry C. Widjaja (Kontributor-IG/FB: @henrycwidjaja)