Pentas Daring

117

HIDUPKATOLIK.COM – Oleh Aloisius Eko 

Pakde Nug menyepakati kerja sama dengan pihak Tutur Entertainment untuk mementaskan Wayang Orang Daring via youtube. Pakde Nug ingin mengikuti kesuksesan komunitas wayang orang asal Jakarta saat melakukan pentas daring. Desakan dari para pemain dan anggota karawitan yang hidupnya semakin merana meyakinkan Pakde Nug untuk melakukan terobosan. Jarwo pemain peking kini jualan sambal welut[1]. Gito, pemeran Gatutkaca dan tokoh-tokoh kuat kini jadi penjual bunthil2 keliling. Yu Ning
pesinden mencoba jual alat rias wanita via online.
“Romo, kulo nyuwun[3] berkat!” pintanya kepada Romo Hadi via telepon.
“Nggih Pak Nug, … dan saya bantu cawe-cawe[4] ke umat ya. Nanti kalau flyer pementasan sudah jadi, w.a ke saya ya!” Romo Hadi tahu kalau beberapa pemain sanggar Jati Kusumo milik Pak Nug sudah dalam pendampingan PSE parokinya.
Semua anggota sanggar tampak lega dan bahagia ketika diajak berkumpul Pakde Nug.
“Wah, iso kanggo nyaur utangku ki[5]…” bisik Kusumo, penabuh gong, kepada Yu Ratih, pemeran Srikandi. “Iyo, mas. Moga bisa buat nyambung listrik di rumah lagi. Dah diputus 2 bulan je,” balas Yu Ratih.
Semua pemain antusias saat mulai berlatih. Judul pementasan sudah dipilih. Sri Korona vs Srikandi. Latihan dibagi di 4 lokasi, untuk mengikuti protokol kesehatan. “Jangan sampai, belum dapat honor malah positif Covid!” seru Pakde.
“Tolong bergantian, di tempat latihan ada yang menyiarkan via hape, yang hapenya rodo apik[6]. Sing[7] ngerti zoom[8]. Paket internet sudah ditanggung panitia. Semua latihan harus disiarkan langsung via zoom,” pinta Pakde Nug.
“Panjenengan yakin, ini bisa membantu anggota sanggar, Mas? Gak nombok kan?” bisik istri Pakde Nug suatu malam.
“Aku yakin. Ini rahmat dari Gusti Yesus kok. Moga yang nonton banyak…biar kita dapat tambahan honor,” jawab Pakde. Kalau pun harus nombok, gumamnya dalam hati, cincin kawin bisa “menginap” di pegadaian.
Latihan tak selalu berjalan lancar. Masalah mulai bermunculan. Gito sering terlambat datang karena saat latihan dimulai, ia masih keliling dengan bunthilnya. “Wiis, kalau gitu ceritanya kuubah sedikit, biar kemunculan Werkudhara gak banyak,” ujar Pakde Nug. Peran Gito kali ini adalah Werkudhara, satria perkasa Pandawa.
“Pakde, Andin gak bisa latihan. Gak ada uang untuk transport,” pesan w.a dari suaminya.
“Minta nomor rekeningmu, Mas! Kutransfer alakadarnya buat transport…”
“Pakde, peranku diganti mbakyuku ya,” seru Wening, penari utama.
“Ning, kamu itu penari terbaik Jati Kusumo. Kenapa kamu minta Ratna yang orang luar sanggar menggantikan kamu?” seru Pakde Nug sengit. “Mengorbankan penonton!”
“Nuwun sewu[9] Pakde, pementasan kan masih lama! Kan Ratna bisa dipas-paskan…
wong dia juga penari hebat di sanggarnya!” sergah Wening. “Jangan ge-er kalau kubilang polatan[10] -mu yang paling dinanti penonton!”
“Hehehe… Ratna juga punya pacak gulu goyang[11] yang mantap, Pakde!”
“Jujur sama Pakde, Ning!” tukas Pakde Nug sambil mengucal-ngucalkan rambut Wening.
“Anu, Pakde. Mbakyuku itu untuk beli beras saja ngutang!” Wening terisak. “Aku ingat homili Romo Hadi kemarin…kita ibarat si janda miskin yang memberikan apa yang dia punya. Cuma itu yang bisa kubantu. Aku masih bisa hidup layak dari warung online-ku, Pakde.”
“Yo wis[12]!” jawab Pakde Nug.
“Matur sembah nuwun[13], boss!” seru Wening sambil melakukan gerakan sungkem, plus senyum-senyum nakal.
Malamnya, Pakde Nug memainkan ukulelenya sambil bernyanyi di sebelah istrinya. Lagu Cinta yang Tergadai mengalun lincah.
“Wis ngerti…besok aku yang ke pegadaian, Mas. Cincin kawin sama apa?”
“Kamu memang istri paling ayuuu sejagad! Terserah kamulah…”
“Guombal!”
Saat gladi bersih di sebuah gelanggang olahraga, untuk pertama kalinya semua pemain dan pemusik berkumpul.
“Wis wijik kabeh toooo[14]?” teriak Pakde Nug.
“Sampuooon[15], Pakde!” semua serentak
menjawab.“Buntilililil! “ teriak Gito sambil menampilkan gerak tangan dan kaki ala Werkudhoro,” Bunthil bothok garang asem libur sehari, Pakde. Demi Werkudhoro!” Semua tertawa lebar.
Seusai latihan, seperti biasa Pakde Nug memberi ulasan. “Secara umum semua sudah tampil baik. Untuk mbak Ratna, mohon polatan-mu lebih tajam ya. Ini kan disiarkan secara daring, maka ada kemungkinan polatan-mu di-close up. Buat mas Gito, suaramu masih kurang gagah. Latihan suara di rumah, nggih!”
“Mas Gito kalau keliling pakai suara tinggi melengking, Pakde! Buntilililil! Jadi kebiasaan,” goda Yu Mirah.
“Wooo, dasar garang aseeeeem!” balas canda Pakde Nug.
Wajah Gito merah padam. Malu. “Siap, Pakde!” suaranya diperberat.
“Di luar itu semua…saya bangga dengan kita semua. Kita semua percaya, pentas daring ini membawa harapan baru. Dan panjenengan semua tampak teguh untuk
saling bantu, saling peduli. Saya terharu. Nuwun sewu ya, kangmas dan mbakyu yang beragama lain, saya mau menyebut satu ayat Kitab Suci yang kami yakini, ‘Barangsiapa mempunyai dua helai baju, hendaklah ia membaginya dengan yang tidak punya, dan barangsiapa mempunyai makanan, hendaklah ia berbuat juga demikian!’ Kita biasa saling berbagi di sini. Itu membuat kita kaya.”
“Nggih, leres[16]!” jawab beberapa orang. Gladi bersih berakhir. Ustad Darno, pemeran Dursasana, melantunkan doa. Semua ikut khusyuk berdoa dengan cara doa agama masing-masing.
Pentas wayang orang daring dengan lakon Sri Korona vs Srikandi pun berlangsung. Ternyata Romo Hadi tak hanya cawe-cawe ke umatnya. Ia juga meminta umat yang berprofesi sebagai blogger dan wartawan media daring untuk ikut mengabarkan pentas tersebut. Saat pentas berlangsung, Pakde Nug dengan tegang menonton juga via Youtube.
Ia memperhatikan dengan seksama penambahan jumlah viewer-nya. Juga pemberi komentar, yang rata-rata memuji karena pentas daring wayang orang tersebut sangat membanggakan. “Salut atas upaya menjaga budaya!” “Ini langka.
Selamat!” “Lanjutkaaan…” “Luar biasa sutradara, adegan perkelahian tetap ada, tapi tetap menjaga protokol kesehatan. “Pentas wayang orang sekaligus promosi masker. Hahaha salut!”
Dalam banyak adegan, memang para pemain masuk ke pentas mengenakan masker, baru saat berdialog, mereka menarik masker ke dagu, sambil melakukan langkah mundur dengan tata gerak yang harmoni.
Selesai pentas, semua pemain dan pemain musik bersyukur dalam tangis dan tawa bangga.
“Saya bangga dengan sanggar ini. Semua bermain baik. Karawitan nya pun mantab,” ujar Pakde Nug seusai saling meninju kepalan tangan. “Kita ikut menjaga seni tradisional, kekayaan Nusantara. Dan lebih bangga lagi, karena perjalanan menuju pentas ini dihiasi
dengan rasa solidaritas tinggi antarkita. Saya terharu dengan Wening, yang rela tidak ikut main demi mbakyunya… pokoknya saya bangga dengan kita semua.”
“Dan semoga ada tambahan honor dari jumlah penonton ya Pakde,” cetus Gito yang diamini oleh pemain lain. Tawa campur haru dan bangga.
Namun keterharuan itu segera lenyap, karena tak lama kemudian ada pengantar tumpeng datang. “Setahun sekali makan tumpeng. Lengkap. Tak pakai jatahjatahan!” ujar Pakde Nug. “Mantaaaab!”
Sehari setelah pementasan, Larno, pemeran Arjuna, berkunjung ke rumah Pakde Nug. Wajahnya tegang saat Pakde Nug menyampaikan hasil pentas.
“Jumlah viewer[17]-nya gak mencapai target sponsor, Mas. Jadi gak ada bonus honor, Lar!” keluh Pakde dengan suara perlahan. “Pagi tadi semua sudah kukabari.
Maaf yo.”
“Nganu, Pakde!”
“Apaaa? …Hutangmu belum lunas?”
“Saya sudah menjanjikan pakde saya untuk memberi dia modal setelah pentas.”
“Halah, kamu ini. Menjanjikan yang belum jelas! Jangan ulangi ya. Sebentar…” tutur Pakde Nug sambil masuk ke kamarnya.
“Ini berikan ke pakdemu ya,” seru Pakde Nug sambil menyerahkan amplop.
“Oh ya, kamu Katolik kan? Coba kamu ke Seksi PSE parokimu…biar pakdemu bisa dibantu..”
“Nggih Pakde! Matur sembah nuwun[18]!”
“Gimana, mas, hasilnya?” tanya Bude Nug, 2 malam setelah pentas daring selesai. Mereka berdua duduk di teras, di bawah pohon mangga. Pakde Nug membawa ukulele.
“Sukses secara seni. Aku bangga dengan anak-anak, Dik. Namun penonton tak melebihi target, jadi ya gak dapat tambahan honor dari panitia.”
“Jadi kita gak kebagian yo. Hehehe,” ujar Bude Nug sambil menggelitiki suaminya.
“Belum bisa nebus ke pegadaian yooo…”
Pakde Nug tak menjawab. Ia kembali memainkan ukulelenya sambil melantunkan Cinta yang Tergadai. Pakde Nug sengaja tak menyelesaikan lagunya. “Ini yang kamu dapat!” ia balas menggelitiki istrinya, yang segera berlari.
“Ampun maaaas, mbok isin karo putuuu[19] …”
Seminggu kemudian, Pakde menerima pesan w.a. “Kami dari Nusantarajaya Production, mengajak Sanggar Jati Kusumo untuk menyelenggarakan pentas wayang orang daring….”
Senyum Pakde Nug mengembang,
“Matur sembah nuwun, Gusti Yesus!”

Keterangan :

1. belut

2. Lauk tradisional Jawa dari daun singkong
atau daun talas yang diisi parutan kelapa
dan teri.

3. minta

4. Ikut membantu

5. Bisa untuk mencicil hutangku

6. Agak bagus

7. yang

8. Aplikasi video call

9. Maaf

10. Gerak mata

11. Sebuah gerakan leher dalam tarian, yakni
dagu digerakan ke kiri,ke kanan.ketika
kembali ke kiri lagi,tiba ditengah kemudian
tatap,disentak tarik tegak.

12. Ya sudah

13. Terima kasih banyak

14. Sudah cuci tangan semua kan

15. sudah

16. Ya, benar.

17. penonton

18. Terima kasih banyak

19. Malu sama cucu

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini