ROSARIO NOVITA

237

HIDUPKATOLIK.COM SELEPAS fajar, hari menampakkan rupanya yang gemilang bagi setiap penghuni semesta. Biasnya merona. Hangat mentari cukup mematangkan daun-daun flamboyan yang terus menari kian ke mari di samping rumah kontrakan tempat tinggalku dan juga menghangatkan tubuhku yang menggigil bergetar dari kecemasanku yang akut. Seperti sedang dalam gua sunyi yang gelap dan gagap aku mendekap penuh takut. Tapi tanganku masih memegang erat seutas Rosario. Setiap rapal kata terus kulancarkan atas nama doa. Iya, doa! Doa mohon keselamatan dalam perjalanannya ke rumah abadi. Dia telah melawati hari-hari  bersamaku di sini, di kota pendidikan ini, seraya  menabur sepucuk harapan atas nama cinta.

***

Awal keberadaanku di kota ini ketika aku berkenalan dengan Novita, gadis ayu asal nuca lale1, si gadis bemata sayu. Kami berkenalan ketika masih usia putih abu-abu. Perjumpaan itu pun bisa dibilang kebetulan. Saat ada Karnaval Kemerdekaan 17 Agustus, aku melihatnya saat mengisi sebuah acara tarian rangkuk alu2. Aku menatapnya kaku, jantung berdetak tidak seperti biasanya. “Ah, adakah aku sedang jatuh cinta?” Gumamku. Perawakannya memang menawan dan kuakui. Penampilannya yang begitu sederhana membuatku semakin suka padanya.

Proviciat ee, tarian yang mengagumkan,” ucapku saat berpapasan seusai acara. “Tidak ada ee kaka biasa saja,” jawabnya spontan dengan logat khas Manggarai. Semburat senyumnya membuatku linglung. Serasa daftar pertanyaan di kepalaku seperti hilang seketika. “Ah, mungkin aku terlalu baper kali ya.” Aku menuduh diriku. Aku sendiri jadi krasan berada di hadapannya. “Afrin”? Suara dari arah belakang menyebut namaku. “Oh iya’ Bu Tantik  sebentar ya?” jawabku spontan. Sepertinya ia sudah memanggil namaku beberapa kali dan untuk yang terakhir nada suaranya terdengar tinggi dan itu cukup mengusikku. Sebetulnya saya sendiri tahu apa maksud panggilannya. Ya, paling-paling tidak lebih dari untuk membereskan semua perlengkapan pramuka dari sekolah yang kami pakai hari ini untuk upacara 17 Agustus. “Afrin, cepat ya, setelah selesai baru kamu boleh pulang ke rumah.” Ibu Tantik mengingatkan. “Sialan, padahal aku belum sampai 5 menit berbicara dengan Novita.  Pertemuan itu itu begitu singkat. Secepat kilat. Entahlah, sejak itu baru aku tahu ternyata Novita satu sekolahan denganku dan kami mulai saling mengenal dengan akrab. Hingga menjelang ujian akhir sekolah saya memintanya untuk bertemu di taman kota. Tempat ini sangat populer untuk anak muda di kota ini, entah itu untuk sekadar refresing, kumpul-kumpul sama teman-teman, atau bertemu dengan pacar.

Hari itu mentari sudah menampakkan diri dan bertengger di arah timur kota. Suasana taman kota masih sepi, tidak seperti biasanya. Sepoi masih stabil meluncur serasa mencubit kulit tipis ini. Sementara itu aku dan Novita masih diam dalam beku. Aku canggung untuk mulai berbicara. Perlahan menggigilku lelap dan menaikkan peluh yang perlahan bermunculan di kening.

“Afrin, apa sebenarnya alasan kamu memintaku untuk datang ke sini?” Suara Novita seakan meruntuhkan tembok kebisuanku.

“Oo iya Nov, kamu tahukan sebentar lagi masa putih abu-abu akan usai, dan rasanya aku tidak mau kebersamaan kita berhenti di sini. Apakah kamu mau kalau nanti kita kuliahnya di kampus yang sama? Maksudku di Malang, kota yang pernah engkau bicarakan waktu itu?” Novita tidak langsung menjawab. Aku pun mulai menebak, sepertinya ia tidak setuju. Tampaknya ia seperti orang yang lagi bingung. “Nov, gimana?” Kucoba mengusik lamunannya. “Ok, kaka, sebetulnya aku juga sangat sayang sama kaka ee,” jawab Novita memberi kepastian.

***

Panorama alam tampak berbeda. Suasana di Kota Ruteng yang pernah kutinggal dulu tidak sebanding dengan tempat yang kutempati saat ini. Suasana kota, keramaian yang menggembirakan sekaligus juga mengusik.

Saat-saat untuk belajar kadang dihantui suara-suara kendaraan yang hilir mudik tanpa mengenal waktu. Rutinitas belajarku semakin hari semakin berkurang lantaran mengikuti aneka kegiatan organisasi dan juga bahkan sekadar begadang yang tidak ada faedahnya untuk mahasiswa seperti kami.

Untung saja ada Novita yang selalu mengingatkanku untuk selalu belajar. Ia mengingatkanku kalau dulu ketika SMA aku pernah menjadi siswa berprestasi di sekolahku. Aku sangat bersyukur berkenalan dengan Novita, bahkan aku merasa sampai kapan pun aku tidak pernah menyesali keputusanku untuk mencintainya.

Di tengah kegetiran kota dan aneka tawaran yang menggiurkan, kadang aku berasumsi untuk memutuskan meninggalkan kampus lalu memilih untuk bekerja.

Dua hari yang lalu Doni, teman sekampungku membagikan pengalaman kesuksesannya tampa malalui kuliah. Katanya kuliah itu merepotkan, dan hanya menghabiskan uang saja.

Jujur aku terobsesi dengan perkataannya itu, kemarin aku sempat memberi tahu Novita tentang hal itu. Kebetulan ia tinggal persis di kos-kosan sebelah kontrakanku.

Tetapi, Novita sama sekali tidak menyetujui keputusanku itu. “Kaka kita datang ke sini untuk kuliah, bukan untuk kerja. Sekalipun tujuannya nanti untuk kerja, tapi itu tunggu selesai sekolah dulu. Bukan sekarang. Kamu jangan ikuti apa kata Doni. Karena Doni sama kaka itu beda. Nasib kalian itu tidak sama.”

Aku terperanjat dalam sesal setelah mendengar nasihat Novita. Aku sadar betapa Novita sungguh amat perhatian dan sayang sama aku.

Hari terus berganti, waktu terus berpacu membawa anak-anak zaman pada apa yang mereka impikan. Tiada hentinya aku bersyukur kepada Yang Kuasa untuk setiap anugerah yang aku terima dari-Nya. Aku juga bangga berkenalan dengan Novita. Gadis nuca lale, yang hingga kini kusanjung-sanjung dalam kisah asmara. Bahkan aku yakin dialah mawar titipan Yang Kuasa yang memberi warna dan wewangian dalam hidupku. Selama ini ia mencurahkan perhatiannya tiada tara untukku, memberiku semangat dan motivasi. Sehingga untuk semester ini semua nilai-nilai sangat memuaskan.

***

Kring … kring …. Ponselku bergetar. Tina memanggil. “Halo Tin, ada apa?” Aku memberi respons. “Kaka ee kami ada di rumah sakit e.” Suara Tina terdengar patah-patah, sepintas terdengar suara sendu isak tangis. “Maaf, Tina.” Aku penasaran. “Apa yang terjadi, dan siapa yang sakit?” Rasa penasaranku semakin menjadi-jadi. Novita e kaka, dia yang sakit. Aku gelagapan dan bingung antara percaya atau tidak. Bukankah baru tadi pagi ia chat di WA dan menanyakan keadaanku? Dan ia senang ketika aku memastikan kalau aku baik-baik saja. Tapi sekarang kabarnya malah dia yang sakit.

Di ruang tunggu Rumah Sakit kudapati Tina dan dua teman kos lainnya Lila dan Maya sedang duduk.

“Afrin?” suara Tina memanggil.

“Iya Tina, apa sebenarnya yang terjadi dan bagaimana keadaan Novita sekarang? Apakah dia baik-baik saja? Katakan Tina, dia baik-baik saja kan?”

Aku melemparkan serentetan pertanyaan kepada Tina.

“Maaf e kaka Afrin, sebetulnya kami juga tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi. Tadi pagi memang saya sempat mengintai dia di beranda. Ia lagi senyum-senyum sendiri sambil mengotak-atik hapenya. Tidak lama setelah itu ia jatuh pingsan. Dan sampai sekarang ia belum sadarkan diri. Kata dokter ia belum bisa dikunjungi karena keadaannya kritis.”

Kupingku serasa tersengat listrik mendengar penjelasan Tina. Sebab selama ini ia belum pernah membicarakan keadaan kesehatannya kepadaku. Entah bagaimana keadaannya aku tidak tahu.

Pria berbadan tegap itu datang ke arah kami. Wajahnya hambar, ia berjalan dengan langkah pasti.

“Permisi, apakah kalian sahabat dari pasien bernama Novita?”

“Ia, Dok!” jawab kami serempak.

“Ia didiagnosa kanker rahim,” tegas dokter yang menanganinya.

Bulir-bulir bening jatuh berguguran dari bola mataku. Tak kuasa aku menahan risauku. Ingin sekali aku berteriak, sekadar melepaskan penat di dadaku.

Tina, Lila, dan Maya berusha menenangkanku. Lalu kami bergegas menuju ruangan Melati, tempat Novita dirawat. Novita menyambut kami dengan secuil senyum khasnya.

“Terima kasih ya untuk kebaikan kalian selama ini, dan ini untukmu Afrin.” Novita menyodorkan sebuah kotak berukuran kecil kepadaku. Itulah kata-kata terakhir yang kudengar dari Novita di rumah sakit. 

Di rumah kontrakan mataku enggan mengantuk. Suara gagak melengking di sebelah kamarku. Aku merasa terusik. Sementara jarum jam menunjuk pada angka 12, cemasku menjulang. “Seharusnya malam ini aku tidur cepat supaya besok pagi bisa pergi menjenguk Novita.” Aku bergumam sendiri.

Suara gagak semakin menjerit. Sepertinya ia bertengger di flamboyan sebelah kamarku. Aku tak menggubris. Lalu aku ingat sesuatu. Kuraih sebuah kotak kecil pemberian Novita di atas meja belajarku. Perlahan kubuka, kudapati secarik kertas dan seutas Rosario. Kugenggam erat Rosario itu sambil membaca sepotong tulisan di kertas itu:

Afrin yang terkasih, bila saatnya nanti aku tak bersamamu tak usah kau ratapi perpisahan itu. Tapi tataplah selalu mentari, sebab ketika itu aku ada untukmu, menghangatkan tubuhmu yang menggigil. Pakailah selalu Rosario pemberianku ini.

Yang terkasih,

Novita

Selepas membaca surat itu tubuhku merunduk menahan tangis yang tak kunjung berlalu. Naluriku berserak memanggil-manggil nama Novita, si juita sederhana yang mampu meluluhkan cintaku. Cinta yang merajut sejak putih abu-abu. Ia telah mengubah hidupku. Ia mengajariku arti cinta yang sesungguhnya.                                    

1 Sebutan lain untuk Manggarai

2 Salah satu jenis tarian Manggarai

HIDUP NO.24, 14 Juni 2020

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini