Minggu, 14 Juni 2020 Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus Ul. 8:2-3, 14b-16a; Mzm. 147:12-13, 14-15,19-20; 1Kor. 10:16-17; Yoh. 6:51-58
MEMPERSIAPKAN pesan yang akan disampaikan dalam Injil hari ini, Kitab Deutoronomium ingin mengajar bangsa Israel dan kita akan kebenaran sejati. Sabda Tuhan mampu memecahkan situasi manusia, yang hampir putus asa dengan tindakan luar biasa mengagumkan yang tak terduga. Di tengah berbagai kesulitan yang tiada hentinya, Tuhan menyelamatkan bangsa Israel, dengan menurunkan Manna tak terduga, suatu makanan yang sama sekali baru. Yesus pun memberikan Roti yang sungguh baru: Sabda serta Tubuh Darah-Nya.
Bacaan Kedua menyebutkan, komunitas Korintus mengalami ketegangan cukup tinggi. Kebanyakan, ketika mereka bertobat, keluarga besarnya masih menyembah berhala. Pertanyaan pun timbul mengenai sikap orang Kristiani. Di tengah situasi kebingungan itu, Paulus mencari jalan, agar umat bersatu dan saling menghormati pendapat orang lain. Akhirnya, Paulus dengan berbagai pertimbangan, berbicara tentang Ekaristi.
Melalui Satu Roti, yang dibagikan kepada semua umat beriman, memunculkan kesadaran pentingnya kesatuan di dalam komunitas. Jika membawa persembahan ke altar, dengan membawa sesuatu yang belum beres dengan sesama, tinggalkan persembahan itu dan berdamailah dulu dengan saudara tersebut. Maka, Ekaristi bukan hanya perayaan akan kesatuan kita dengan Allah dan identifikasi kita dengan Kristus, juga merupakan perayaan kesatuan kita dengan sesama.
Kisah Injil Yohanes hari ini ingin meluruskan pengertian dan mengundang kita mencari makanan yang tidak akan binasa. Yesus berkata, bahwa mereka yang makan roti dari-Nya, tidak pernah akan mati. Perkataan penuh misteri ini juga sama sulitnya dicerna, seperti yang ditujukkan kepada perempuan Samaria, tentang air hidup yang akan menghilangkan dahaga untuk selama-lamanya (cfr. Yoh. 4:14-15).
Apa yang dikatakan Yesus semakin jelas bagi kita. Roti dari surga itu pertama-tama adalah Sabda Allah, yaitu pesan Bapa yang harus disampaikan oleh Yesus ke dunia. Sabda itu adalah Roti hidup bagi manusia. Semua sabda lain, walaupun enak dan menyenangkan, tetap membawa manusia pada ketidakbahagiaan, bahkan kematian. Perwujudan sempurna dari Sabda itu adalah Yesus. Maka, semakin bisa dimengerti dengan jelas apa artinya, “makan daging dan minum darah Yesus”, bukan secara material seperti makan atau minum. Pribadi Yesuslah yang harus disantap dan diasimilasikan dalam diri kita. Keberadaan Yesus sendiri menjadi keberadaan kita yang menyambut-Nya.
Menyambut Ekaristi bukan sekadar dekat dengan-Nya, namun harus memetik makna sebenarnya dalam menyambut-Nya. Menyambut Tubuh Kristus artinya kita mempersembahkan diri kita kepada Kristus, agar Dia tetap tinggal, menderita, memberikan hidup-Nya, dan bangkit lagi dalam hidup kita. Maka, Paulus menuntut: “karena itu tiap tiap orang hendaknya menguji dirinya sendiri dan baru sesudah itu ia makan minum roti dan minum dari cawan itu” (1 Kor. 11:28), dan menyadari apakah ia sungguh siap menerima hidup Yesus agar dilanjutkan dalam dirinya. Jika Ekaristi diharapkan menghasilkan buah dalam hidup ini, Ekaristi harus diterima dengan iman dan perbuatan, yakni kita harus siap bersedia diubah, ke dalam pribadi Yesus dan melaksanakannya. Pribadi Kristus harus memancar dalam diri kita, agar Kristus semakin dikenal.
Sangat menggembirakan juga telah berkem-bang Adorasi Sakarmen Mahakudus, bahkan dilak-sanakan adorasi abadi. Beradorasi bukan agar kita menemani Yesus yang kesepian di Tabernakel, dan coba menghibur-Nya yang terluka karena dosa manusia. Yesus tidak membutuhkan itu. Beradorasi berarti menempatkan diri kita di hadapan Roti yang telah dipecahkan, sebagai tanda kehidupan Yesus, yang dikorbankan bagi manusia. Dengan membangun sikap untuk mengubah diri serupa dengan pribadi Yesus. Dengan itu, kita dapat mengatakan, bahwa hidup kita digairahkan oleh Ekaristi.
Selamat merayakan Tubuh dan Darah Kristus. Santo Ignatius dari Antiokhia berkata, “Ekaristi adalah obat keabadian, penangkal kematian dan makanan yang menjanjikan hidup kekal.”
“Ekaristi adalah obat keabadian, penangkal kematian dan makanan yang menjanjikan hidup kekal.”
Mgr. Aloysius Sudarso, SCJ Uskup Agung Palembang
HIDUP NO.24, 14 Juni 2020