HIDUPKATOLIK.COM KEMATIAN tiga warga dusun berturut-turut membuat kami cemas. Mbah Tono meninggal sore hari. Bu Narsih meninggal tengah malam. Kang Ijan meninggal keesokan hari. Suasana itu mirip kisah yang sering digambarkan oleh dalang wayang kulit, saat menceritakan adanya pagebluk di sebuah negeri. Pagi sakit siang meninggal. Siang sakit sore meninggal. Sore sakit malam hari meninggal. Malam sakit esoknya meninggal.
Atas kesepakatan warga, tiga jenazah tadi dikuburkan pada waktu yang sama keesokan harinya. Tidak menunggu siang. Pukul sepuluh ketiga jenazah dibawa ke makam. Semua wajah pelayat tampak muram setengah ketakutan. Karena kami tidak tahu penyakit apa yang menjadi penyebab kematian tiga orang itu.
“Menurutmu mereka sakit apa, Mas Sam?” tanya Mas Ton, kepala dusun kami.
“Mungkin jantung,” jawabku.
“Mosok tiga orang sakit jantung semua?”
“Bisa itu. Sakit jantung bisa menyerang siapa saja,” jawabku yakin. Meski agak asal. Sebab aku tidak tahu riwayat sakit ketiganya.
Mas Ton tidak bereaksi. Wajahnya dingin. Ketika ia harus memberi sambutan mewakili pemerintah desa yang tidak bisa hadir, kata-katanya seperti orang ketakutan.
“Selama hidup baru kali ini saya mengalami ada tiga warga meninggal secara berurutan. Ini sepertinya tidak lazim. Hanya terjadi ketika dusun atau daerah kita dilanda pagebluk. Pagebluk itu jenis penyakit ganas mematikan yang menyerang siapa saja yang lengah. Lebih-lebih mereka yang tubuhnya lemah, atau sudah mengidap penyakit lain sebelumnya. Karena itu saya mohon saudara-saudara semua untuk waspada. Siapa tahu tanpa kita ketahui dusun kita memang sedang kena pagebluk!”
Orang-orang kaget. Tapi mereka diam. Kata pagebluk hampir tidak pernah mereka dengar. Kecuali yang senang nonton wayang kulit. Hanya mereka yang sudah berumur di atas 60 tahun akrab dengan kata pagebluk. Karena pernah mengalami.
“Bagaimana sambutan saya tadi?” tanya Mas Ton ketika kami menunggu para petugas menguruk tiga liang lahat.
“Membuat orang kaget,” jawabku.
“Karena saya sebut pagebluk?”
“Ya.”
“Menakutkan?”
“Sangat. Karena belum pernah mengalami.”
“Besok saya mau ke Puskesmas melaporkan peristiwa ini. Biar diselidiki oleh yang berwenang.”
“Kita tunggu dulu, apakah setelah ini ada yang meninggal dunia atau tidak. Kalau hanya mereka bertiga, pasti bukan pagebluk. Karena untuk menyebut pagebluk itu korbannya mesti banyak.”
“Jadi kita menunggu ada orang meninggal lagi?”
Aku tidak menjawab. Ada rasa bersalah jika aku mengiyakan. Seolah berharap ada tetangga yang meninggal dunia. Ngawur. Tidak etis.
Malam itu suasana dusun kami seperti kuburan raksasa. Sepi. Tidak ada orang berani keluar rumah. Tidak ada suara radio atau televisi agak keras seperti malam-malam yang lalu. Pos ronda pun kosong.
Aku baru saja menutup pintu kamar mau tidur ketika ada suara memanggil-manggilku. Apakah ada orang meninggal lagi?
“Maaf Mas Sam, mengganggu. Sudah mau tidur ya?” sapa Warso, laki-laki muda yang baru saja dilantik menjadi prodiakon atau asisten imam.
“Ada apa?” tayaku sambil mempersilakan duduk.
“Kata-kata Kepala Dusun mungkin benar. Dusun kita diserang pagebluk. Mungkin juga dusun dusun tetangga. Kenapa? Karena warga kita sudah berkali-kali berbuat dosa. Makin hari malah semakin mencolok mereka berbuat dosa. Hanya demi uang mereka mengabaikan firman Tuhan. Mas Sam tahu apa yang saya maksud?” kata Warso
Aku mengangguk-angguk. Tahu arah pembicaraan Warso. Sejak air terjun di kaki bukit dijadikan destinasi wisata, di dusun kami bermunculan home stay atau losmen. Setiap malam Minggu tempat itu selalu penuh. Pemiliknya panen uang. Mereka tidak pernah menanyakan para penyewanya. Yang penting sudah bayar. Peduli amat apakah mereka pasangan suami-isteri atau bukan.
“Dusun kita sudah dikutuk oleh Tuhan, Mas!” kata Warso mantap.
“Apakah Tuhan yang kita sembah kerjanya mengutuk umat-Nya?” tanyaku berseloroh.
“Lho ingat zaman Sodom dan Gomorah!” kilah Warso. “Kenapa Tuhan menurunkan hujan api di atas dua kota itu? Karena penduduknya sudah kebangeten berlumur dosa!”
“Jadi menurutmu pagebluk ini kutukan Tuhan?”
“Mungkin sekali!”
“Lalu?”
“Kita semua harus bertobat!” jawabnya tandas.
“Siang malam harus berdoa. Mohon ampun. Doa tobat,” tambahnya lagi.
“Tidak periksa ke dokter?” potongku.
Warso diam. Kedua matanya tajam menatapku.
“Kalau pagebluk itu berkaitan dengan penyakit, maka kita harus percaya kepada dokter, tenaga medis, dan mereka yang ahli.”
“Tapi doa juga sangat penting. Mohon pengampunan Tuhan. Siapa tahu setelah Tuhan mengampuni pagebluk hilang sendiri!”
Aku tersenyum. Pembicaraan tanpa ujung pangkal malam itu memang tidak melahirkan kesimpulan. Tiga hari kemudian ada dua warga dusun yang meninggal secara berurutan. Keduanya baru akan dibawa ke rumah sakit. Namun maut keburu datang menjemput.
Yulius Warso Utomo semakin yakin, bahwa dusun kami benar-benar sedang mendapat kutukan Tuhan. Karena semakin menjamurnya losmen dan home stay yang selalu ramai disewa pasangan muda-mudi. Dia mengabaikan imbauan dokter Puskesmas agar masyarakat hidup bersih, saling menjaga diri dan tidak bergerombol.
“Satu-satunya jalan untuk mengusir pagebluk hanya dengan doa! Mohon pengampunan. Agar Tuhan tidak menyamakan dusun kita dengan Sodom dan Gomora!” kata Warso begitu kami bertemu.
Aku malas untuk berdebat dengannya. Tidak akan mencapai titik temu. Beberapa hari kemudian dia mengajak umat Kristiani untuk merendam rosario. Air rendaman itu lalu diminum sebagai penangkal pagebluk. Sebelum mandi umat diminta mencelupkan salib terlebih dahulu. Baru airnya dipakai untuk mandi. Bahkan agar selamat dari pagebluk, umat pun diminta mendekap Kitab Suci saat tidur.
“Kekuatan setan akan takut jika kita tidur memeluk Kitab Suci!” kata Warso kepada umat. “Mas Sam sudah melakukan semuanya?”
“Apa itu?” tanyaku.
“Merendam rosario dan meminum airnya. Mencelupkan salib di dalam air yang akan kita pakai untuk mandi. Lalu memeluk Kitab Suci saat tidur?”
Aku menggeleng.
“Tidak melakukan semuanya?”
“Ya. Aku percaya keterangan dokter bahwa dusun kita dan dusun-dusun lain terserang wabah kolera. Mungkin kita kurang bisa menjaga kebersihan. Karena itu Kepala Dusun, Mas Ton, minta agar tiap Minggu kita gotong royong membersihkan rumah dan lingkungan kita masing-masing. Virus kolera dengan mudah menyebar di lingkungan yang kotor!” kataku.
Warso melongo.
Oleh Budi Sardjono
HIDUP NO.23, 7 Juni 2020