HIDUPKATOLIK.COM RUMAH itu masih terlihat sama seperti terakhir kali aku meninggalkannya. Pagar hidup dari pohon teh-tehan tanpa pintu, jalan berhias batu-batu alam, kolam kecil di ujung taman tepat di bawah pohon kamboja semua masih sama. Rasanya begitu aneh kembali lagi ke rumah. Entahlah, aku benar-benar bingung bagaimana menjelaskan. Sebenarnya aku belum pergi terlalu lama. Baru dua setengah tahun. Tetapi rasanya aku telah pergi begitu lama.
Aku masih ingat waktu aku memutuskan untuk merantau, aku sempat bertengkar dengan Bapak. Kami sama-sama keras kepala, seumur hidup kami tak pernah akur. Yah, setidaknya itu membuktikan aku benar anaknya. Sebenarnya, aku punya kesempatan untuk pulang, tapi aku enggan. Sebenarnya, aku masih enggan untuk pulang, tetapi aku merasakan sebuah dorongan yang kuat dalam diriku, yang menuntunku pulang. Akhirnya di sinilah aku sekarang, aku pun pulang.
Perlahan aku masuki rumah itu. Ketika aku bilang rumah itu masih sama, artinya benar-benar sama. Bukan hanya soal bentuk melainkan juga soal kebiasaan penghuninya. Pintu rumah tak pernah terkunci, selama ada orang di dalamnya, bahkan saat malam saat semua orang telah tertidur. Uniknya, kami tak pernah kemasukan pencuri.
Langsung saja aku masuk ke rumah. Terlihat sepi tak ada orang. Kulirik arloji. Pukul 15.00 sekarang. Biasanya, Bapak ada di halaman belakang, tidur di lincak kesayangannya. Tetapi di mana adikku? Seharusnya, dia sudah libur sekolah. Ini adalah malam Natal.
Setelah bersih-bersih, aku menuju halaman belakang. Benar, ada Bapak di sana, duduk diam memandang jago-jagonya. Sepertinya Bapak baru bangun.
“Pak,” sapaku menghampirinya. Kujabat tangannya lalu kucium.
Bapak memandangku lalu balas menyapa, “Wes tekan tho?” begitu katanya. Tak ada pelukan, ciuman atau apalah. Seperti kataku semua masih sama.
Aku menganggukkan kepala sebagai jawaban. “Adik mana, Pak?” tanyaku.
“Tempat Ibumu,” katanya singkat.
“Piye Malang?” tanyanya padaku.
“Ya seperti itu,” jawabku.
Tak ada yang menarik dengan Malang. Aku sebenarnya tak suka tinggal di sana, jadi tak ada hal menarik untuk diceritakan. Kami kembali hening.
Setelah sekian lama benarkah tak ada yang berubah. “Aku tidur dulu, Pak,” kataku berpamitan.
***
Senja mulai mendekat. Aku duduk di halaman belakang, di lincak, di sebelah Bapak. Kupandangi langit yang mulai memerah.
“Misa jam berapa nanti,” Bapak membuka pembicaraan.
“Jam 08.00, Pak,” kataku.
Aku sangat ingin mengajak Bapak, tapi aku tahu usahaku akan sia-sia. Jadi aku memilih untuk diam. Bapak tidak pernah lagi ke gereja, sejak Bapak berpisah dengan Ibu. Setiap kali diajak pergi, Bapak hanya akan marah.
“Ibu datang jam berapa?” tanyanya lagi.
Kulirik alrojiku, lalu berkata, “Mungkin sebentar lagi.”
Kemudian kami kembali hening. Aku memandangi sekitar. Terlihat ada lukisan baru yang menarik perhatianku. Dalam lukisan itu, seorang laki-laki tua dengan wajah penuh kedamaian, ia mengenakan pakaian Jawa lengkap, sepertinya Bapak ingin menggambarkan bahwa Dia termasuk keluarga bangsawan. Dalam lukisan itu ia memeluk seorang laki-laki lain yang terlihat lebih muda. Penampilannya sangat berbeda dengan pria bangsawan. Si laki-laki muda itu terlihat compang-camping. Sangat jarang, Bapak melukis manusia. Biasanya bapak melukis binatang, yang dia gunakan untuk menyindir situasi sosial dan politik, yang sedang hangat. Misalnya saja, celeng untuk simbol ketamakan, kerbau untuk menyimbolkan kebodohan.
“Siapa itu yang buat, Pak?” tanyaku penasaran.
“Aku tho,” katanya penuh kebanggaan.
Aku ragu dengan apa yang aku dengar. Sungguh itu bukan gaya lukisan Bapak.
“Itu lukisan apa?” tanyaku lagi.
Bapak tak langsung menjawab. “Apa coba,” dia balik bertanya sambil tersenyum.
Kudekati lukisan itu lalu kupandangi dalam-dalam tapi tak kutemukan maknanya. Wajah bapak dalam lukisan itu seperti bercahaya. Bapak memainkan gradasi warna dengan sangat baik, dengan memadukan warna putih dan kuning. Dari samping lelaki muda yang dipeluknya terlihat seperti bayi. Wajahnya menampakkan kelegaan yang luar biasa. Jika dilihat baik-baik wajahnya mirip dengan Bapak tetapi jauh lebih muda. Latar belakang lukisan itu tampak seperti rumah kami. Di sudut bawah sebelah kiri tertera tanggal pembuatan lukisan itu, di sana tertulis tanggal ulang tahunku, yang jatuh bulan lalu. Bapak menghisap rokoknya dalam-dalam lalu tertawa mengejekku. Masih sama seperti dulu. Saat sedang asyik adikku berteriak memanggilku.
“Kak, Ibu datang,” katanya.
Segera aku beranjak menuju ruang tamu. Itu dia malaikatku. Ibu masih terlihat muda. Dia begitu anggun dengan gaun putih yang terbuat dari kain kebaya, dipadu dengan wedges hitam dan tas selempang kulit warna hitam. Aku yakin, gaun itu dia jahit sendiri. Melihat penampilannya, orang tidak akan menyangka Ibu sudah hampir berumur 60 tahun. Badannya masih sangat proporsional, rambutnya yang pendek cepak seperti laki-laki justru menambah kecantikannya. Make up yang dipakainya sangat minimalis, dengan warna lipstik merah maroon. Dalam wajahnya terpancar kekuatan yang besar dan juga kelembutan seorang ibu.
Saat aku berumur 12 tahun, Ibu dan Bapak berpisah. Aku dan adikku ikut Ibu. Waktu itu adik masih dua setengah tahun. Setelah adikku lima tahun, Ibu bekerja menjadi TKI di Hong Kong selama lima tahun. Kemudian, aku dan adikku tinggal bersama Bapak, sampai sekarang. Sepulang dari Hong Kong, Ibu membeli mesin jahit dan menerima jahitan. Sekarang Ibu sudah punya butik kecil. Aku tak tahu pasti penyebab perpisahan mereka.
Saat tinggal bersama Ibu, dia selalu menyalahkan Bapak. Katanya, Bapak itu egois dan keras. Saat aku tinggal bersama Bapak, dia pun selalu menyalahkan Ibu. Katanya Ibu egois, dan selalu menuntut yang tidak-tidak, serta selalu membandingkan dengan mantan-mantannya. Aku tak mau ambil pusing. Kenyataannya mereka tak lagi bersama. Aku rasa, memang lebih baik begitu, daripada mereka bersama tetapi selalu bertengkar. Apapun penyebabnya aku tak menyukainya
Ibu membeku memandangku sambil tersenyum. Aku bisa melihat matanya berkaca-kaca. Segera aku menghampirinya dan memeluknya erat. Kemudian dia memukul jidatku dengan telapaknya. Kebiasaanya tak pernah berubah. Untuk berkat katanya.
“Malang piye le?” katanya.
“Ya seperti itu,” jawabku.
Pertanyaan yang sama kujawab dengan jawaban yang sama pula. Bapak menyusul kami ke ruang tamu dan menyapa Ibu. Ini di luar kebiasaan. Biasanya jika Ibu datang, Bapak akan pergi atau pura-pura tidur. Terlihat Ibu sangat canggung dengan situasi ini. Aku dan adikku sama herannya dengan tingkah Bapak.
“Misa, jam 08.00, tho?” tanya Bapak padaku. “Iya Pak,” jawabku. Bapak melirik alrojinya.
“Aku melu,” katanya mantap. Segera Bapak mengganti pakaiannya. Bapak mengenakan celana kain warna hitam, dipadu dengan kemeja kasual warna putih dan fantovel hitam. Bapak sepertinya ingin mengimbangi penampilan Ibu. Tapi usahanya terlihat sia-sia. Sebagai pelukis, Bapak tidak terlalu memperhatikan penampilan, berbeda dengan Ibu yang memang memiliki passion di bidang fashion. Namun bagaimanapun juga, usaha Bapak patut diapresiasi. Setidaknya mereka bisa tampil senada. Aku melepas blazerku dan memberikan pada Bapak. Jauh lebih baik sekarang.
Bapak tersenyum lalu berkata, “Mirip Roy Marten.” Kami semua tertawa, bahkan Ibu ikut tertawa.
“Ayo foto dulu,” kata Bapak lagi. Aku semakin keheranan. Kami tak pernah berfoto bersama. Ini pertama kalinya. Aku merasa begitu bahagia tetapi entah mengapa perasaanku menjadi tak enak. Bagaimana pun ini tak wajar.
“Ayo mangkat, aku bonceng koe le,” kata Bapak padaku.
Aku mengangguk untuk mengiyakan. Ini pertama kali aku memboncengkan Bapak.
“Alon wae, wektune isih sue (Pelan saja waktunya masih lama),” kata Bapak.
Kami mulai berangkat. Kukendarai motorku dengan kecepatan 40 kilometer/jam. Hampir setengah perjalanan kami lalui dengan diam. Kemudian tiba-tiba Bapak mengatakan sesuatu.
“Aku loro le,” katanya, “Kanker pankreas.”
Kepala seperti dihantam sesuatu yang besar. Motorku oleng, tetapi segera aku bisa mengendalikannya kembali. Aku diam tak bereaksi.
“Waktu Bapak pisah sama Ibu, sebenarnya Bapak pengen kamu sama adikmu tinggal sama Bapak.”
“Bapak kepikiran kamu terus. Rumah simbahmu kecil, yang tinggal di sana udah banyak. Bapak mikir sekolahmu. Di sana ga ada sekolah bagus. Padahal bentar lagi kamu ujian. Walau akhirnya kamu tinggal lagi sama Bapak, Bapak seneng banget. Bapak selalu sayang sama kalian. Bahkan sama Ibumu. Sampai hari ini Bapak masih mencintai Ibumu. Cuma Bapak ga bisa mengungkapkannya. Bapak ini laki-laki,” kata bapak, kemudian kembali terdiam. Dari intonasinya, terdengar Bapak berusaha menahan emosinya. Meskipun Bapak bicara dengan tenang aku bisa mendengar suaranya bergetar pada beberapa kata. Aku tak tahu harus berkata apa. Ini pertama kalinya Bapak mengungkapkan perasaannya secara terbuka padaku.
“Saat kamu pindah ke Malang, Bapak sempat masuk RS. Sedih rasanya kehilangan kamu lagi,” lanjutnya.
“Bapak tahu, kamu benci Bapak. Bapak salah le. Pantas kalau kamu benci Bapak. Ga papa kalau kamu benci Bapak. Kalau kamu mau cari kerja di sini aja. Jaga adikmu. Mungkin waktu Bapak sudah tidak lama.”
Aku tetap diam. Mataku mulai basah. Aku tak mau bicara karena tak mau Bapak tahu aku sedang menangis. Bapak mengusap bahuku. Sepertinya dia tahu aku menangis.
“Bapak senang kamu bisa pulang,” katanya. “Lukisan itu kado ulang tahun untukmu.”
Aku menepi, lalu terisak. Aku tak tahan lagi. Aku tahu lukisan itu. Itu lukisan anak yang hilang. Bertahun-tahun tinggal bersama Bapak tetapi aku tak pernah benar-benar tinggal di sana. Aku seperti hilang di rumah sendiri. Saat akhirnya memutuskan pergi, aku benar-benar menjadi anak yang hilang. Aku bebas melakukan apapun tapi itu tak membuatku bahagia. Hidupku menjadi makin kosong. Aku seperti telah mati. Tak ada cinta di luar sana. Yang kutemui hanya dunia yang kejam. Di mana setiap orang saling “tikam” untuk bertahan hidup. Cinta mendorongku pulang. Cinta sejati yang ada dalam keluarga. Cinta yang tak terungkap namun memberi hidup. Cinta yang menuntuku kembali, telah menghidupkanku kembali. Sesuatu yang kucari di tempat yang jauh, ternyata berada di tempat yang selama ini begitu dekat. Penyelamat manusia lahir dan tumbuh di tengah keluarga karena di sanalah cinta sejati berada.
Oleh Hilarius
HIDUP NO.19, 10 Mei 2020