TUNTUTAN

123

HIDUPKATOLIK.COM GUA Maria Jatiningsih di Paroki Klepu, Yogyakarta malam itu hening. Bunyi air Kali Progo seperti bergegas menuju Pantai Selatan di antara sela-sela batu gunung. Samar-samar di kejauhan suara anjing menggonggong memecah kesunyian malam.

Lilin yang seharian dipasang para peziarah sudah padam. Batangnya sudah leleh atau mati tertiup angin. Sesekali, terdengar pembicaraan di antara para peronda Dusun Jitar, yang sedang memutari kampung.

Namun, kegelapan malam tidak menghalangi adanya siluet seorang pria yang sedang duduk di lantai, di depan Gua Maria. Sendirian. Kakinya bersila. Punggungnya membungkuk ke depan. Tangannya bersedekap di dada. Kepalanya kadang-kadang bergeleng-geleng ke kiri ke kanan.

“Duh, Gusti,” lirih suaranya  ditelan malam.

Orang itu adalah Pak Murti. Apa yang terjadi dengan dirinya sehingga pada malam itu ia sendirian di depan Gua Maria Jatiningsih?

***

Pak Murti tinggal di daerah Kaliurang, Sleman,  kurang lebih dua puluh lima kilometer dari Gua Maria Jatiningsih. Sudah dua minggu ini jarak itu ditempuhnya setiap pukul delapan malam hingga pukul dua belas malam pergi-pulang. Vespa PX setia menemaninya sendirian menembus kegelapan malam.

“Apa salahku?” gumamnya sambil memukul lantai di depan tempat lilin.

Terngiang jelas ucapan Bu Sarmi di hadapan pengurus Lingkungan Santa Odilia, di mana Pak Murti menjadi ketua.

“Mana laporan kas lingkungan? Saya minta setiap bulan setiap kepala keluarga mendapat salinan laporan lengkap. Umat ingin tahu ke mana saja kas lingkungan itu,” ucap Bu Sarmi tanpa henti.

Sejak terpilih sebagai Ketua Lingkungan Santa Odilia, Pak Murti sadar betul bahwa masalah keuangan akan banyak menimbulkan masalah. Untuk itu, ia memilih Mbak Dewi sebagai bendahara lingkungan. Mbak Dewi kuliah di jurusan akuntansi dan sudah bekerja di sebuah perusahaan ekspor-impor. Syukurlah, anak muda ini mau melayani lingkungan.

Setiap akhir bulan Pak Murti dan Mbak Dewi membuat catatan kas lingkungan. Memang, dengan sengaja tidak diinformasikan terbuka kepada umat, tetapi umat yang ingin mengetahui kas lingkungan, akan ditunjukkan. Mbak Dewi pun menyimpan uang tunai milik lingkungan dengan teliti dan tertib.

“Saya menduga ada yang tidak beres dengan kas lingkungan kita,” tambah Pak Aloy.

***

Dua minggu setelah rapat pengurus lingkungan itu ada seorang umat yang meninggal dunia mendadak. Kata keluarganya, ibu itu terjatuh di kamar mandi. Ketika sampai di rumah sakit terdekat dokter menyatakan bahwa ibu itu sudah meninggal.  Peristiwa itu terjadi pukul tiga pagi. Pada saat itu  Pak Murti dan keluarganya sedang berada di jalan tol Cikampek.

Ketika sampai di rumah beberapa umat sudah menunggunya. Di rumah duka sudah banyak warga kampung berkerumun. Pak Samsul, seorang pensiunan pejabat, mendekati Pak Murti.

“Ke mana saja? Kok terlambat datang? Mau lari dari tugas, ya?” kata Pak Samsul.

Pak Murti seperti ditikam sembilu di hatinya mendengar tuduhan Pak Samsul. Memang, Pak Murti tidak bercerita, bahwa ia pulang ke Jawa karena adik kandungnya yang terkena penyakit Lupus, dan sudah lima tahun lumpuh, meninggal dunia.

Tuduhan-tuduhan kepada Pak Murti selaku ketua lingkungan tidak pernah terhenti. Kehadiran umat dalam kegiatan liturgi lingkungan juga menjadi sorotan. Kenyataan menunjukkan setiap pertemuan Bulan Kitab Suci Nasional atau pertemuan Aksi Puasa Pembangunan umat yang hadir bisa dihitung dengan jari.

“Bapak tidak kreatif, sih. Kami yang muda jadi enggak tertarik datang,” kata Amel dan Bobby serentak. Kedua anggota OMK itu memang anak milenial. Mereka lebih asyik memainkan aplikasi online daripada membuka buku panduan Adven Keluarga.

Entah karena Pak Murti sedang banyak pekerjaan di kantor, atau ia memang membuat banyak kesalahan di Lingkungan Santa Odilia, yang jelas suasana hati Pak Murti menjadi tidak tenang. Dengan sadar Pak Murti tidak menceritakan hal ini kepada Bu Murti karena perasaan istrinya  sangat peka. Namun, Bu Murti sudah melihat gelagat bahwa suaminya itu sedang mengalami masalah. Pak Murti sebenarnya adalah seorang periang. Ia banyak bercerita. Namun, sudah dua minggu ini Pak Murti lebih banyak berdiam diri. Ketika makan malam bersama pun tidak ada lagi cerita lucu dari Pak Murti.

Akhirnya, pada suatu malam Bu Murti memberanikan diri menyapa suaminya itu.

“Ada  apa sih, Pak? Tidak baik dipendam sendiri. Bisa merusak diri sendiri. Coba kamu ceritakan padaku apa masalahmu. Walaupun tidak bisa memberi penyelesaian, paling tidak aku memiliki telinga untuk mendengarkanmu,” ujar Bu Murti sabar.

“Atau, jika kamu tidak cocok berbicara denganku, sampaikanlah keluh-kesahmu kepada Bunda Maria. Ia pasti akan mendengarkanmu. Pergilah ke Gua Maria Jatiningsih. Itulah tempat ziarah terdekat dari rumah kita,” tambah Bu Murti teduh.

***

Tiga hari setelah pembicaraan dengan Bu Murti tersebut Pak Murti berniat akan memohon terang dari Tuhan sendiri di Gua Maria Jatiningsih. Ia memilih pergi malam hari karena sepi. Karena pada masa mudanya seorang pecinta alam, jarak yang jauh yang ditempuhnya pada malam hari itu tidak berpengaruh pada dirinya.

Pak Murti ingin sendirian di depan Gua Maria. Tidak satu batang lilin pun ia nyalakan. Biarlah kegelapan malam menjadi penerang batinnya. Seminggu pertama tidak ada satu doa pun yang bisa dipanjatkannya. Doa rosario yang sebelumnya menjadi santapan rohani harian, kali ini terasa berat untuk dimulai. Doa Novena Tiga Salam Maria yang didoakannya setiap ada permohonan juga terasa kering di lidahnya.

Pada minggu kedua tanpa sengaja matanya melihat ada sebuah Kitab Suci di bawah kaki patung Bunda Maria. Pak Murti tidak bisa membaca Kitab Suci itu karena tidak ada cahaya yang menerangi. Pada malam ketiga minggu kedua barulah ada cahaya bulan purnama yang tergantung di atas Kali Progo.

Pak Murti tidak tergerak membaca Kitab Suci itu. Ia hanya membolak-balik saja sembarangan. Menjelang pukul dua belas malam cahaya bulan begitu terang. Halaman yang kebetulan dibukanya terlihat jelas tulisannya.

Ternyata halaman itu bagian dari Kisah Para Rasul. Pada halaman itu diceritakan tentang pelayanan Rasul Paulus di antara berbagai umat. Ia mengalami fitnah, bahkan pernah dipenjara. Namun, Rasul Paulus tidak menghentikan pelayanannya. Ia tetap berkeliling dari satu kelompok jemaat ke kelompok lain. Tanpa lelah.

Seperti ditohok ulu hati Pak Murti membaca kisah Santo Paulus tersebut.

“Betapa lemahnya diriku,” ujarnya lirih kepada dirinya sendiri.

Masih perlu tiga malam lagi bagi Pak Murti untuk memahami pesan Santo Paulus tersebut. Tidak semudah membalikkan telapak tangan memang. Namun, pada malam-malam berikutnya Pak Murti sudah mulai menyalakan tiga batang lilin.

“Agar pikiranku semakin terbuka oleh nyala lilin itu,” katanya kepada Bu Murti.

Istrinya tampak tersenyum tipis melihat perkembangan suaminya. Cahaya tiga batang lilin dipakai Pak Murti untuk menerangi halaman Kisah Para Rasul yang dibacanya.

Pada malam terakhir, Pak Murti sudah selesai membaca Kitab Suci tersebut. Ia memutuskan untuk berdoa Rosario. Bimbingan Bunda Maria sangat dibutuhkannya.

“Bunda Maria, tuntunlah dalam menemani umat di Lingkungan Santa Odilia. Dengan segala keterbatasanku, semoga aku dapat memberikan yang terbaik,” ucap Pak Murti.  Pada pukul sembilan malam itu siluet Pak Murti sudah terlihat di depan Gua Maria Jatiningsih.

Oleh P. Citra Triwamwoto

HIDUP NO.20, 17 Mei 2020

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini