HIDUKATOLIK.COM Kehadirannya di pojok kanan bawah dalam beberapa program televisi, membuatnya tidak banyak dihiraukan penonton. Namun, dengan isyarat anggota tubuh, dia menjadi telinga bagi mereka yang tak bisa mendengar.
SAAT belajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, Frans Susanto mendapat tugas melakukan karya sosial. Frans, sapaannya, memilih pelayanan mendampingi kaum difabel. Untuk menunjang pelayanannya, dia mengikuti kursus bahasa isyarat selama tiga bulan. Meski yang dia pelajari adalah isyarat Amerika, Frans langsung dipercaya mendampingi difabel dalam rekoleksi dan retret. Bahasa isyarat yang dia kuasai juga sangat minim daripada yang dia butuhkan di lapangan. Wajar saja, kala itu tahun 2002. Belum banyak akses informasi bagi tunarungu.
Baru pada 2011, ketika pemerintah meratifikasi Konvensi Hak Penyandang Disabilitas. Sejak itu, hak-hak para difabel seperti akses informasi, sarana umum, dan pekerjaan, mulai banyak dilirik.
Aksen Lokal
Bahasa di setiap daerah mempunyai budaya tutur yang khas. Frans menjelaskan penggunanaan bahasa isyarat pun mulai mengikuti budaya lokal ini. Dia mencontohkan, kebanyakan orang mengisyartkan kata “mengulek” dengan mengulir tangan, tetapi dalam budaya lain ada yang mengisyaratkan dengan menumbuk, ada pula menggiling dengan blender. Isyarat akan suatu kata bisa beragam tergantung penggunanya. “Teman-teman tuli di Jogja dan di Jakarta bisa jadi berbeda memilih gaya berisyarat,” ujarnya.
Secara nasional, kelompok masyarakat tuli menggunakan dua jenis bahasa untuk berkomunikasi, yaitu Sistem Bahasa Isyarat Indonesia (SIBI) dan Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo). Frans kemudian mempelajari lagi Bisindo. Bisindo telah lama digunakan oleh masyarakat tuli. Sementara, SIBI merupakan bahasa isyarat dengan penambahan ejaan yang disempurnakan, seperti sistem bahasa orang dengar. Selain itu, penciptaan SIBI tidak melibatkan kelompok masyarakat tuli. Banyak isyaratnya mengadopsi isyarat Amerika. Meski demikian, penggunanya juga cukup banyak, sebab SIBI merupakan bahasa pengantar resmi di Sekolah Luar Biasa.
Penggunaan Bisindo lebih mempresentasikan maksud masyarakat tuli. Karenanya, Frans selalu memperbaharui perbendaharaan isyaratnya, langsung dari komunitas tuli. Kerap tampil melayani sebagai juru bahasa isyarat untuk peribadatan, ia harus satu suara dengan komunitas tuli untuk mengisyartakan Yesus, Maria, dan lainnya. “Setiap ada perkembangan perubahan isyarat, teman- teman tuli mengoreksi saya, saya juga bertanya kepada mereka,” tuturnya.
Meski kini sudah 18 tahun menjadi juru bahasa isyarat, proses belajar tetap Frans lakukan. Apalagi bidang kehidupan ini bermacam-macam. Frans lebih mendalami isyarat dalam bidang kerohanian sebab sering menerjemahkan dalam bidang peribadatan. Bila menerjemahkan dalam bidang lain, seperti teknologi, kesehatan, politik, ia perlu mengonfirmasi dulu kata-kata tertentu dengan penyandang tunarungu.
Juru bahasa isyarat juga harus pandai mencari padanan kata. Frans mencontohkan, saat menerjemahkan “donor plasma darah”, dia harus betul- betul paham maksudnya sehingga bisa menyederhanakan bahasa, agar dapat dimengerti oleh para penyandang tuna rungu. “Memang harus belajar terus,” ujarnya.
Dalam menerjemahkan peribadatan, bagi Frans, yang terpenting adalah meneruskan pesan imam agar dipahami. Ia bersyukur memiliki latar belakang pendidikan dalam bidang filsafat dan teologi, yang memudahkannya menerjemahkan pesan-pesan dalam Misa. Apalagi tak jarang imam menggunakan bahasa yang cukup tinggi dalam khotbah.
Tak Punya Pengganti
Bahasa isyarat, tambahnya lagi, tidak bisa persis mengikuti kata-kata si penuturnya. Bahasa isyarat tidak mengenal kalimat pasif. Lagi, ada kalimat yang perlu disingkat atau diubah, agar lebih sederhana dan mudah dipahami. Dalam peraturan internasional, setiap 30 menit juru bahasa isyarat perlu diganti atau boleh keluar ruangan untuk menyegarkan otaknya. Sebab ada kecenderungan penurunan kualitas terjemahan bila melebihi waktu tersebut, dari 80 persen akan menurun menjadi 50 persen. Sayangnya, Frans tidak memiliki pengganti. Sudah lama dia melakukan ini sendiri.
Selain masalah kualitas, kebutuhan akan juru bahasa isyarat juga semakin tinggi. Itu sebabnya, awal tahun ini, Frans mulai memberi pelatihan juru bahasa isyarat. Ada sekitar 60 yang terdaftar, meski yang efektif mengikuti sekitar setengah dari jumlah tersebut. Meski demikian, ia tetap bersyukur karena nyatanya baru tiga minggu pelatihan, sudah ada muridnya yang bisa mendampingi penyandang tuna rungu dalam persiapan sakramen. Dalam beberapa Misa, sudah ada muridnya juga turut bergantian mengambil peran juru bahasa isyarat.
Frans merasa bahagia, tatkala umat yang ia layani bisa menceritakan kembali apa yang mereka dapati dari khotbah hari itu. “Kadang mereka membagikan itu di media sosial. Bagi saya itu kebahagiaan tersendiri; bisa berarti bagi umat lain,” ungkapnya.
Sebelum masa pembatasan sosial, Frans rutin melayani umat dalam Misa pukul 11.00 WIB di Katedral SP Maria Diangkat ke Surga Jakarta. Selama Pekan Suci tahun ini, wajahnya senantiasa tampak dalam siaran langsung. Namun, kepeduliaanya terhadap masyarakat tuli rupanya sudah menjadi seperti kebutuhan baginya. Di lain waktu, saat tak diminta menerjemahkan secara langsung, Frans berinisiatif menerjemahkan khotbah pastor dari rumah, merekamnya untuk digabungkan dengan video Misa.
Kebutuhan Difabel
Frans mengkritisi, belum semua hierarki sadar untuk membuka akses informasi di Gereja bagi umat bekebutuhan khusus (UBK). Bahkan, ada yang berprasangka, juru bahasa isyarat yang hadir di depan ingin mencari perhatian dan panggung. Ia bahkan pernah disuruh keluar oleh petugas tata tertib di suatu paroki. Padahal, saat itu ia sedang menerjemahkan di hadapan para umat penyandang tunarungu. Ia dinilai mengganggu perhatian umat lain. “Masih banyak orang yang tidak menyadari kebutuhan difabel. Undang-Undang sudah ada tetapi penegakannya masih lemah.”
Kebutuhan akan juru bahasa isyarat bagi penyandang tunarungu, menurut Frans, tak ubahnya kebutuhan akan pengeras suara bagi umat. “Kalau umat ikut Misa di gereja, tidak bisa mendengar apa yang romo sampaikan tentu tidak akan
khusyuk ibadatnya. Umat tuli di mana pun tentu akan sangat mengapresiasi bila ada juru bahasa isyarat,” kata ayah tiga anak ini. Dia juga menegaskan kebutuhan ini tidak serta-merta bisa diukur dengan jumlah umat tuli. “Meski hanya satu umat, kita tidak bisa menutup aksesnya,” tambahnya.
Umat Paroki St. Leo Agung Jatiwaringin, Jakarta Timur ini tak menampik ada paroki yang memiliki umat tuli dalam jumlah cukup banyak, bahkan ada komunitasnya, tetapi kurang mendapat perhatian. Namun, Frans juga mengapresiasi beberapa paroki yang walaupun belum ada umat tuli, tetapi kepala paroki dan umatnya antusias untuk belajar.
Frans menilai di level akar rumput, pergerakan umat sangat positif tetapi ada yang tidak diimbangi dengan kebijakan hierarkinya. Dia berharap, dalam komunitas Gereja pemahaman dan kesadaran akan kebutuhan umat penyandang tunarungu terus berkembang. Dia mengimbau paroki untuk mencermati kebutuhan UBK melalui buku induk, sehingga sarana-prasarana yang disediakan bisa disesuaikan agar Gereja bisa semakin terbuka dan inklusif. Dia juga berharap pelayanan bagi UBK juga dapat menjadi alternatif pelayanan lain yang bisa diminati anak muda.
Frans Susanto Lahir: Jakarta, 10 September 1979
Istri: Katharina Devi Setyaningrum
ANAK: Filumena Auxilia Xaverina Susanto Filipo Samuel Susanto Benediktus Ravelian Susanto
Pendidikan:
• SD Strada Nawar Bekasi
• SMP Strada Nawar Bekasi
• SMA Seminari Wacana Bhakti/Kolese Gonzaga
• STF Driyarkara, Jakarta
Hermina Wulohering
HIDUP NO.20, 17 Mei 2020