MYASTHENIA GRAVIS

122

HIDUPKATOLIK.COM TRAKEOSTOMI. Kata asing itu sontak melabrak benakku. Dokter Andreas menyodorkan alternatif tersebut guna melapangkan jalan napas suamiku, Dodo. Aku hanya bisa menerimanya karena tak punya dalih untuk menampik. Nyaris sebulan, Dodo terpasak tiada daya di ranjang Intensive Care Unit (ICU). Untuk menghirup oksigen, ia harus menggunakan ventitalor.

“Kami akan melubangi saluran trakea-nya agar bisa dipasangi tabung pernapasan. Cara ini akan memudahkan oksigen masuk ke paru-paru suami Ibu,” papar dokter Andreas panjang lebar. Trakeostomi bakal membuat Dodo tidak bisa berbicara untuk sementara. Salah satu risiko adalah terjadi kerusakan pada pita suaranya.

Tak lama berselang, dokter Andreas melakukan trakeostomi pada leher Dodo. Aku mematung di ujung ruang tunggu tatkala operasi kecil itu berlangsung. Tiada lagi kerabat yang menemani karena Dodo sudah terlalu sering “mondok” di rumah sakit. Sementara putri tunggal kami, Risa, tengah tertimbun tugas-tugas kuliah.

Seusai trakeostomi, Dodo didorong dengan brankar dari ruang operasi kembali menuju ICU. Dengan sisa-sisa tenaga sekaligus harapan, aku menguntit pasrah di belakang para perawat yang bergegas melangkah. Paras Dodo nyaris seputih kertas. Tempias cahaya lampu di lorong-lorong rumah sakit memantul di kemuraman wajahnya.

Di ICU, kulihat Dodo hendak mengutarakan sesuatu. Tangannya bergerak-gerak melempar isyarat yang kurang kumengerti. Kuberikan pena dan secarik kertas dari dalam tasku. Dengan susah-payah, ia mencoba menulis. Huruf-hurufnya tampak bergelombang.

Aku terkesiap mengeja tulisannya.

“Maafkan aku…”

Semburat pilu seketika menelusuk hatiku.

***

Perjumpaan dan pertautan kasih antara aku dan Dodo semasa kuliah seindah pelangi. Aku jatuh hati pada pandangan pertama. Aku bagai terbius oleh wajahnya nan rupawan dan sikapnya yang ramah.

“Waaah keren sekali cowok itu,” bisikku di telinga Bunga, sahabatku, tatkala Dodo baru saja melintas.

“Iyalah… blaster Jerman. Kamu naksir ya?” balas Bunga sembari mengait sesabit senyum.

“Iyalah,”  kataku tersipu malu.

Lantas, jalan hidup mendekatkan kami. Asmara berpagut. Dialah penghuni khayalku tentang esok. Betapa bangga aku bisa merebut hatinya di antara sekian pemujanya. Tatkala ia meminangku, aku merasa menjadi dara yang paling beruntung sejagat.

Aku menggamit lengannya dengan perasaan tak terlukiskan, pada saat kami melangkah dengan pasti menuju altar.  “Di hadapan Tuhan, pastor, dan para saksi, saya, Wenda Kurnia, berjanji akan setia kepadamu, Aliando de Graaf, dalam untung dan malang, dalam sehat dan sakit…,” ucapku lancar. Tiada selumbar pun keraguan di hati tatkala kuudar ikrar suci.

Ternyata, kisah kasih kami lekas berganti musim. Kemarau tiada berujung segera tiba, kering-kerontang dan gersang. Myasthenia gravis mencabik-cabik kebahagiaan kami hanya setahun setelah perhelatan cinta nan meriah itu berlangsung.

Pada suatu hari, dengan suara tercekat di leher karena menahan panik, Dodo memanggilku, “Wenda, kenapa ini… kelopak mataku tidak bisa terbuka!”

“Ayo kita periksa ke dokter mata,” ajakku spontan.

Hingga pada akhirnya terangkai diagnosis, bahwa kelopak mata yang kerap terkatup itu pertanda myasthenia gravis, salah satu jenis penyakit autoimun, yakni ketika sistem kekebalan tubuh (antibodi) seseorang malah menyerang tubuhnya sendiri. Alhasil, terjadi gangguan saraf yang membuat otot-otot tubuh penderitanya melemah.

Itulah awal penderitaan Dodo yang berliku, berkelok, dan teramat panjang.  Kemudian pematang realitas yang terbentang membuat Dodo dan aku terengah-engah, bahkan terseok-seok.

“Aku sulit menelan hari ini. Aku hanya bisa meneguk air perlahan,” lapornya kepadaku tatkala ia mulai kesulitan menelan.

Bolak-balik Dodo harus berobat ke dokter. Tiada hari terlewati tanpa setumpuk obat yang harus ditelannya. Dodo menyangga beban berat penyakitnya. Lelaki yang dulu memesona, seiring waktu menjadi ringkih kehilangan daya. Emosinya pun naik turun tiada tentu, bahkan kadang tak terkendali. Lelaki yang pernah kucintai dengan segenap jiwa ini berubah laksana monster yang membuatku cenderung enggan berada di sisinya.

Dalam hal dana, Dodo menjadi sosok yang sangat perhitungan. Pada awalnya, aku bisa memahami karena biaya pengobatannya kian membuncit.

“Wen, mulai sekarang kamu harus lebih hemat,” tandasnya.

“Aku sudah super hemat,” balasku tak sanggup menyembunyikan kesal.

“Aku tidak bisa lagi memberi kamu uang sejumlah yang lalu,” ucapnya dengan suara parau.

“Ke mana uangmu?”

“Aku punya keperluan!” jawabnya separuh membentak.

“Kau berikan kepada siapa?” tanyaku menelisik.

Dodo senantiasa mengelak berpanjang kata.

Cukup banyak penghasilan Dodo terpangkas, membuat cakram otakku menata siasat. Akhirnya, aku membuka warung kopi dan mi instan di selasar rumah kami yang tak seberapa lebar. Aku bisa mengais rezeki tanpa perlu beranjak dari rumah.

Makin lama, penyakit langka ini mengganggu otot-otot wajah Dodo. Bukan hanya matanya yang tampak janggal, kemudian parasnya pun berubah. Belakangan, mulutnya sulit mengatup karena otot-ototnya melemah.

Karena sulit menelan, air liurnya tiada terbendung. “Dia ngiler terus. Sekarang, ke mana-mana dia membawa handuk kecil untuk mengatasi ilernya. Bau…,” kataku kepada Bunga yang selalu setia mendengarkan keluh-kesahku.

“Sabar ya Wen,” ujar Bunga menatapku penuh arti seraya menepuk-nepuk pundakku.

Sesungguhnya, ada berderet-deret alasan yang membuatku ingin beringsut dari sisi Dodo. Namun, ada satu alasan yang membuatku tetap bertahan, yakni janji setiaku kepadanya di hadapan Tuhan.

Jangkar kehidupan terlanjur kulepas di dermaga hatinya. Biarlah kulebur prahara myasthenia gravis ini ke dalam debur takdirku.

***

Lewat dua dasawarsa perkawinanku berlangsung. Sebagian besar telah kami lintasi bersama myasthenia gravis. Jika mau dikambinghitamkan, myasthenia gravis telah mengusung tak terbilang mudarat dalam perkawinan ini. Ibarat berjudi, aku sudah gulung tikar!

Kadang iba membaluri hatiku, menatap Dodo berkelejat, megap-megap sulit bernapas karena otot-otot pernapasannya kian lemah. Sementara banyak orang di bumi ini seakan lupa bahwa sesungguhnya bisa bernapas adalah kurnia istimewa.

Untuk mengatasi gagal napas, Dodo menjalani cuci plasma darah. Kalau dulu, cara ini telah membuat kami tersungkur tak berpunya, belakangan asuransi kesehatan pemerintah terasa meringankan. Masuk rumah sakit tak lagi seperti dunia bakal runtuh.

Penderitaan Dodo menjulang pada saat ia harus menjalani trakeostomi. Kukira bakal ada perbaikan, terlebih karena harapan hidupnya mulai berpijar. Ia sempat menulis kata-kata sugesti. “Aku akan sembuh.”

Kesembuhan yang didamba dan diperjuangkannya, benar-benar terjadi! Dodo terbebas, sebebas-bebasnya, dari cengkeraman myasthenia gravis.  Trakeostomi pun tak kuasa mengatasi gagal napas yang menderanya.

Justru pada saat harapannya tersulut, Sang Pencipta memanggilnya pulang. Selama ini Dodo telah bertarung habis-habisan menaklukkan myasthenia gravis. Kuterima misteri kehidupan ini dengan ikhlas. Inilah wujud pemenuhan janji yang kuperjuangkan sedari semula hingga pengujung hayatnya.

Ketika duka melanda, kusaksikan simpati mengalir. Tak terbilang sayap-sayap doa berkepak menuju pelataran Nirwana. Aku terpana tatkala puluhan anak Panti Asuhan “Suaka Kasih” menghadiri perkabungan. Di sekeliling jasad Dodo yang membisu, bocah-bocah yang kurang beruntung itu melantunkan lagu rohani “Allah Peduli”. 

“Pak Dodo telah ikut menyantuni anak-anak ini,” ungkap Bu Diana, yang membawa rombongan anak-anak itu tatkala menyampaikan belasungkawa kepadaku. Aku terperangah…  Kekagumanku terhadap Dodo yang jauh-jauh hari telah luruh berkeping akibat myasthenia gravis, kembali menyembul…

Oleh Maria Etty

HIDUP NO.22, 31 Mei 2020

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini