MENJADI GEREJA KREATIF DAN INKLUSIF

519
Uskup Agung Semarang Mgr. Robertus Rubiyatmoko memberkati seorang anak berkebutuhan khusus. (Dok. KAS)

HIDUPKATOLIK.COM Provinsi Gerejawi Semarang terus berusaha melayani umat seturut teladan Yesus sebagai Kepala Gereja. Ada komitmen untuk mengembangkan Gereja yang kreatif dan inklusif.

SEJAK Gereja Katolik masuk ke Nu-san-tara, sudah ada tiga kardinal yang berasal dari Indonesia. Keti-ga-nya per-nah menjadi Uskup Agung Semarang. Me-reka adalah Kardinal Justinus Dar-mo-juwono, Kardinal Julius Riyadi Darmaat-madja, SJ, dan Kardinal Ignatius Suharyo.

Terpilihnya tiga kardinal dari Semarang ini mau menegaskan, bahwa Provinsi Ge-rejani Semarang memberi sumbangsih yang besar bagi pengembangan Gereja Indonesia. Ada banyak keistimewaan yang pantas dijabarkan provinsi di Pulau Jawa ini.

Pastoral Kepedulian

Di Keuskupan Agung Semarang (KAS), wila-yah pelayanan di bawah sebuah ke-uskupan biasa disebut kevikepan. Ber-di-rinya kevikepan sejalan dengan motu pro-prio Paus Paulus VI, Ecclesiae Sanctae. Motu proprio dikeluarkan sebagai Ka-bar Gembira bagi dunia untuk terus mengem-bang-kan diri dan menyesuaikan dengan per-kembangan zaman tanpa harus kehi-langan identitas diri sebagai pewarta.

Dalam Ecclesia Sanctae nomor 14, Paus menulis lima butir penting soal kevikepan. Pada butir pertama ia menulis, “…kevi-ke-p-an adalah lembaga yang didirikan uskup dalam melaksanakan reksa pastoral tertentu di sebuah keuskupan. Lembaga ini dipimpin oleh wakil uskup (Vicaris Episcopalis /Vikep) yang diangkat dan di-berhentikan oleh uskup.”

Merujuk pada motu proprio ini, pa-da 7 Oktober 1966 Kardinal Justinus Darmo-ju-wono mendirikan tiga kevikepan di KAS salah satunya Kevikepan Yogyakarta, melalui surat keputusan no. 788/A/1/66, de-ngan Pastor Alexander Djajasiswaja sebagai Vikep pertama.

Menurut Uskup Agung Semarang Mgr. Robertus Rubiyatmoko, ciri khas pe-la-yan-an di kevikepan ini menyasar pada pe-l-a-yanan pastoral sebagai persekutuan. Dalam arti ini, pelayanan pastoral bukan saja mencakup hidup manusia seluruhnya tetapi dilakukan oleh semua anggota Gereja untuk diri sendiri dan umat lainnya. Maka itu, Gereja tidak sekadar hadir memberi bantuan kepada umat, tetapi antar umat saling mendukung mencapai keselamatan.

Maka itu, tidak saja di Kevikepan Yogya-karta tetapi juga tiga kevikepan lainnya dibu-tuhkan kecakapan pastoral dan per–ca-kapan pastoral bagi para pelayan pas-toral. Bentuk kongkret adalah para pe-layan pastoral harus menyasar segi teo-lo-gis dan psikologis umat. Kecakapan dan percakapan pastoral dilakukan tidak se-perti mesin otomatis tetapi lewat proses pema-haman yang mendalam. Setiap pela-yan pastoral di Yogyakarta diminta untuk selalu terbuka dengan didasari rasa cinta kasih. “Tak lupa memberi pemahan yang jelas kepada umat untuk melihat kehadiran orang lain atau agama lain sebagai saudara dalam kasih. Dengan pesan-pesan kasih dan bentuk-bentuk pastoral demikian, Ge–reja akan semakin tumbuh,” ujar Mgr. Rubiyatmoko.

Kevikepan Yogyakarta baru membenah diri. Terakhir pada pertempuan Temu Pas-to-ral Dewan Imam KAS, Desember 2019, diputuskan Kevikepan Yogyakarta akan dimekarkan lagi menjadi dua kevi-kep-an. Penegasan ini ditandai dengan me–nen-tukan pusat kevikepan, masing-ma–sing Kevikepan Yogyakarta Barat yang berpusat di Paroki St. Perawan Maria Penasehat Wates yang meliputi 19 paroki dan Kevikepan Yogyakarta Timur di Paroki St. Yohanes Rasul Pringwulung dengan 18 paroki.

Vikaris Jenderal Semaran Pastor Yohanes Rasul Eddy Purwanto menuturkan, proses ini telah melewati studi bersama untuk memperdalam Kevikepan Yogyakarta da-ri berbagai aspek. Baik itu segi historis, eko-n-omi, sosial budaya, hukum Gereja dan legal formal. Rencananya promulgasi pemekaran Kevikepan Yogyakarta itu akan dilakukan pada puncak perayaan ulang tahun ke 80 KAS, 7 Oktober 2020 di Paroki Wates.

Komunitas Kecil

Sementara itu, di Keuskupan Malang, salah satu keistimewaannya adalah pela-yan-an bagi umat Katolik Madura. Pada akhir-nya, pada 15 Oktober 1937, Vikaris Apostolik Malang Mgr. Antonius Everardo Johannes Albers O.Carm memberkati ge-reja dan pastoran di Sumenep. Saat itu juga Mgr. Albers mengumumkan peresmian pa-roki baru dan menugaskan Pastor Richard Vissers O.Carm sebagai Kepala Paroki St. Maria dari Gunung Karmel Sumenep yang pertama. Paroki Sumenep melakukan pen-catatan buku baptis sejak 1 Oktober 1937.

Dinamika perkembangan Gereja di Su-me-nep berawal dari hanya 12 umat Katolik yang terlibat dalam Misa di tahun 1937-an, terus meningkat menjadi 200 umat di awal tahun 1938. Dengan dibantu lima suster dari Tarekat Darah Mulia (Liefdezusters Van Het Kostbaar Bloed/ADM), Pastor Vissers melayani umat.

Paroki kedua di Madura adalah Paroki St. Maria Ratu Para Rasul Pamekasan yang berdiri sejak 8 Mei 1948. Paroki St. Maria Fatima Bangkalan menjadi paroki terakhir di Madura yang berdiri sejak 1 Agustus 1956. Meski menjadi minoritas di Madura, umat Katolik tidak pernah lupa berkarya. Hampir di tiga paroki ini, ada lembaga pendidikan Katolik dari SD-SMP.

Uskup Malang, Mgr. Henricus Pidyarto Gunawan O.Carm menjelaskan di Madura kegiatan menggereja sangat nampak. Rata-rata umat saling mengenal karena cakupan wilayah masih terjangkau. Di sana, ada berbagai kelompok kategorial seperti Legio Mariae, WKRI, Doa Kerahiman Ilahi, dan Komunitas Tritunggal Mahakudus yang membantu karya pelayanan para imam.

OMK Paroki Pamekasan mengadakan kunjungan ke Pondok Pesantren Al Anwar, Payudan, Pamekasan. (Dok. Paroki Pamekasan)

Pada kenyataannya, meski umatnya se–dikit tetapi dinamikan pelayanan ber-ja-lan baik. Pelayanan sakramental, kero-ha–nian, pendidikan dan beberapa karya sosial dilaksanakan dalam semangat me-nye-lamatkan jiwa umat. “Dalam bidang rohani, umat sangat antusias. Ibadah-iba-dah lingkungan menjadi kesempatan me-reka saling mengenal,” tambah Mgr. Pidyarto.

Tubuh Kristus

Di Keuskupan Surabaya, ada tujuh kevi-kepan. Setiap kevikepan memiliki ragam pastoral dengan sasaran pastoral yang ber-be-da-beda. Salah satu keunikan di Ke-vikepan Surabaya Utara adalah adanya Paroki Kelahiran Santa Perawan Maria Kepanjen.

Paroki ini menjadi istimewa karena ge-dung gerejanya diyakini sebagai gereja tertua di Kota Pahlawan. Sebelum adanya ge-dung gereja, terlebih dahulu dibangun ru-mah pastoran yang dibangun Pastor Phi-lipus Wedding bersama rekannya Pastor Hendricus Waanders. Keduanya tiba di Surabaya tanggal 12 Juli 1810. Setelah me-netap selama enam bulan, mereka ber-ini-siatif mendirikan rumah pastoran tersebut.

Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono membasuh kaki para murid di Paroki Hati Kudus Katedral Surabaya. (Dok. Katedral Surabaya)

Bangunan inilah yang kelak menjadi cikal bakal Gereja Kepanjen. Dari segi arsitektur, Gereja Kepanjen ini mendapatkan peng-har-gaan dari komunitas Pelestarian Arsi-tek-tur Surabaya tahun 1996, dan tahun 1998 ditetapkan sebagai bangunan cagar bu-daya sesuai surat keputusan Walikota Surabaya.

Menurut Uskup Surabaya Mgr. Vincen-tius Sutikno Wisaksono salah satu corak pas-toral di sini adalah kehadiran kelompok-kelompok kategorial. Kerelaan umat untuk melayani tanpa dibayar menjadikan Gereja Keuskupan Surabaya terus membenah diri menjadi Gereja yang lestari. 

Baginya gerakan-gerakan awam harus bisa hidup dalam pelayanan dengan men–jadi umat Katolik yang plus. Ia me-nam-bah-kan, Gereja terbentuk karena adanya persekutuan orang-orang yang percaya kepada Kristus. Jemaat Perdana selalu berkumpul dalam persekutuan yang erat (bdk. Kis 5:12). Persekutuan yang utuh antara Yesus Kristus dan jemaat-Nya dinya-takan dengan ungkapan jemaat atau Gereja sebagai “Tubuh Kristus”. “Gereja sebagai ‘tubuh Kristus’dalam pengertian jika satu menderita, lainnya turut menderita. Jika satu bersuka cita, lainnya ikut bersuka cita,” ujar Mgr. Sutikno.

Gereja sebagai persekutuan umat ber-iman juga dijabarkan oleh Uskup Pur-wo-kerto Mgr. Christophorus Tri Harsono. Me-nurutnya reksa pastoral kelompok-ke-lom-pok kategorial dimengerti dalam isti-lah minoritas yang kreatif. Lanjutnya, Gereja terus berkembang di Purwokerto dan akan lestari karena dinamika pela-yan-an kelompok-kelompok kategorial. Mgr. Tri mengakui kelompok-kelompok ini membuat Gereja berkembang menuju Ge-reja yang kreatif dan inklusif.

“Di mana saja, Gereja membutuhkan ke–lompok-kelompok kategorial. Pe-layan pas-to-ral harus memberdayakan kelompok-ke-lom-pok ini agar terus ber-tum–buh menjadi Gereja yang kreatif dan inklusif,” tuturnya.

Yusti H. Wuarmanuk

HIDUP NO.16, 19 April 2020

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini