I
DELAPAN menit lagi , Kereta Eurostar meninggalkan Stasiun Pancras International London menuju Paris. Aku berlari kecil menelusuri koridor stasiun. Masuk gerbong kutemukan tempat dudukku, kursi 7A. Kutatap penumpang berkursi 7B. Perempuan berwajah Asia, seusiaku. Tangan kanannya memegang buku tebal. Novel The Name of the Rose besutan Umberto Eco.
“Permisi,” kubuka percakapan. Dia sejenak menatapku. Tanpa berkata, sedikit menggeser duduknya untuk memberi ruang padaku menaruh koper kecil di bagasi atas. Kucopot jas dan aku benamkan tubuh pada kursi kereta. Ia tetap tenggelam dengan novelnya.
“Tinggal di Paris?” kutatap wajahnya. Mengajak dia bercakap. Ia hanya mengangguk. Tetap dengan The Name of the Rose-nya. Tak kulanjutkan percakapan. Kereta melaju. Hampir satu jam tiada kami bercakap-cakap.
Aku beringsut dari duduk, membuka koper. Kukeluarkan The Remains of The Day, karya Kazuo Ishiguro yang baru saja diganjar Nobel Sastra. Sengaja The Remains of The Day aku taruh di kursi. Kutuju toilet. Kurang dari sepuluh menit, aku sudah kembali ke tempat duduk. Ada perubahan signifikan. Dia menatap diriku, lalu melempar senyum.
“Suka baca novel?” dia membuka percakapan.
“The Name of the Rose” kutuntaskan enam tahun lalu.” Kuraih The Remains of The Day dan kutunjukkan padanya. “Sudah baca?”
“Belum. Dari Philipine, Indonesia atau Malaysia?” ia memandang wajahku.
“Indonesia.”
“Wow Indonesia…?!! Tiada aku sangka bila teman dudukku berasal dari Indonesia. Aku dari Bandung. Panggil aku Laila. Kau?”
“Agung. Lahir di Jayapura, besar di Yogyakarta.”
Ia yang bernama lengkap Laila Rengganis sejenak memandang jas Armani milikku yang tergantung di samping jendela kereta. Beralih memandang baju lengan panjang Saint Laurent-ku. “Perjalanan bisnis?”
“Ya, tiga hari aku di London.” Kukais kartu nama dan kuserahkan padanya. Laila mengamati kartu namaku. “Sekarang ditempatkan di Paris?”
“Baru setahun ini aku di Paris. Sebelumnya dua tahun di kantor pusat London, setelah aku lulus master bisnis dari University of London. Kau sendiri bekerja? Kuliah?”
“Lulus kuliah dari Padjajaran Bandung aku dapat beasiswa master political science di Universitas Sorbonne. Lulus master akhirnya sekalian saja melanjutkan program doktor sambil bekerja di lembaga riset politik ekonomi.”
Dua jam delapan belas menit perjalanan. Eurostar tiba Stasiun Gare du Nord Paris.
“Tinggal di mana?” kutanya dia ketika kami keluar dari kereta.
“Apartemen Quartier Latin, dekat Universitas Sorbonne.”
“Aku di sekitaran Saint Denis. Kita berbeda arah. Senang bertemu denganmu” Kujabat tangan Laila. Kami berpisah.
II.
Rijks Museum Amsterdam hanya berjarak lima ratus meter dari Marriott Hotel. Setelah satu hari penuh dihajar rapat membahas investasi perkebunan sawit di Indonesia, saat paling tepat untuk melihat dan menikmati museum. Baru keluar dari lobby hotel, aku dihadang puluhan pendemo yang mengangkat pamflet, meneriakkan tuntutan. Lindungi hutan tropis! Hentikan pembukaan perkebunan! Ternyata seharian aku melakukan rapat dengan berbagai investor global yang mau menanamkan duit di perkebunan sawit, di luar hotel berkerumun manusia aneka bangsa menentang keberadaan kami. Aku tidak menghindari kerumunan massa. Justru bergabung untuk mendengar tuntutan mereka.
Lelaki berkulit hitam dengan rambut model Bob Marley, menyeruak dari kerumunan. Mengenalkan diri dari Nigeria. Bernama Hasani Moses. Berorasi kencang. Menceritakan negerinya yang hutan-hutannya meranggas diganti perkebunan sawit. Bukan kemakmuran masyarakat lokal yang didapat. Justru kesenjangan semakin menganga. Hasani menutup orasinya dengan ucapan membahana, “Lawan! Ayo lawan!”
Bergemuruh orang-orang menepuki Hasani. Belum surut suara gemuruh pendemo, muncul gadis lain. Ia berlari, tampil ke depan kerumunan pendemo. Aku terpaku nyaris tak percaya. Gadis itu. Laila! Di negeri sangat jauh ia berdemo tentang hutan negerinya yang dibabat habis atas nama perkebunan sawit.
Hanya saja rezim waktu tiada bisa dilawan. Sore semakin jauh. Demo bubar. Ketika Laila berjalan menelusuri trotoar Stadhouderskade, kukejar dia.
“Laila…!” aku berseru. Ia menghentikan langkah. Membalikkan badan. Kaget melihatku.
“Orasi yang luar biasa,” aku memulai percakapan. “Yang kau demo hari ini, salah satunya aku.”
“Perkiraanku ternyata tidak salah. Ada dirimu pada rapat itu. Perusahaan investasi seperti tempatmu layak dilawan. Yang dicari untung. Tiada peduli dengan harmoni alam.”
“Kalau uang tidak diputar, ya ekonomi tidak berjalan. Artinya ada pelambatan dihampir semua kehidupan,” aku berkilah.
“Uang dan investasi memang harus diputar. Namun kalau dilakukan tanpa nurani. Itu harus dilawan.”
“Sayang Laila, kali ini yang kau lawan justru negerimu sendiri. Minyak sawit jauh lebih bersahabat dengan alam ketimbang minyak bunga atau minyak jagung yang diproduksi di Eropa. Ini hanya perang dagang saja. Harusnya kau membela negerimu.” Kuhentikan omonganku. Laila menatapku tajam. Muncul tanda emosi dari wajahnya. Malah kudekatkan bibirku ke telinganya. “Kalau kau mulai marah begitu, kau tambah cantik.”
Laila meninju pelan lenganku. “Lalu?” tanyanya.
“Ada kedai makan Italia didekat Rijks Museum. Spaghetti dengan daging cincangnya sangat enak. Kita selesaikan urusan kita di sana.” Kuajak makan malam Laila. Ia menyetujui.
III.
Gadis itu dikaruniai dua hal sekaligus, kecakapan berpikir dan keterampilan berorasi. Materi seminar yang dia susun isinya sangat bernas. Disampaikan dengan orasi nan memikat alhasil memukau ratusan akademisi yang memenuhi ruang seminar Universitas Hamburg Jerman. Gadis itu, Laila Rengganis.
Universitas Hamburg memfasilitasi seminar internasional bertajuk Perdagangan Berkeadilan (fair trade). Ada enam pembicara. Dua pembicara wakil Asia. Kebetulan wakil Asia dua-duanya dari Indonesia, aku dan Laila. Kami berseberangan pendapat
Pada akhir presentasi aku ingat kalimat penutup yang disampaikan Laila. “Sahabatku ini kaki tangan dari perusahaan global untuk berinvestasi di negara-negara berkembang. Investasi dengan logika tunggal; untung. Membuka lahan baru perkebunan dengan membabat hutan. Itu perdagangan tiada berkeadilan. Pemilik modal global menimbun pundi-pundi kekayaan dari negara-negara dunia ketiga. Hebatnya lagi pemilik modal global itu memanfaatkan talenta-talenta dari negara ketiga untuk menjadi perpanjangan tangannya. Salah satu talenta itu, dia!” Laila menatap diriku.
Ah, Laila semakin keras kau mengritik, justru aku temukan cahaya memancar dari wajahmu. Laila, kau semakin ayu. Aku terpesona padamu, Laila.
IV.
Penghujung Mei. Tiada kota yang lebih indah pada musim semi dibanding Paris. Tersua undangan lewat telepon dari Laila. “Agung, saat Lebaran aku rindu dengan tanah air. Rindu memeluk ayah-ibu. Rindu pada ketupat opor buatan nini dan aki. Rindu pada teman-teman kecilku yang berkumpul bersilaturahmi. Tolong hapus kerinduanku. Kutunggu kau di apartemenku jam delapan malam.”
Malam Lebaran. Teringat judul puisi Sitor Situmorang. Jam tujuh malam. Sengaja aku percepat sejam datang ke apartemen Laila. Pada toko bunga di Bundaran Place Edmond Rostand. Kubeli setangkai bunga. Sembilan bulan purnama setelah bersua pertama di Stasiun Pancras International London. Dilanjutkan bertemu dalam aneka perjumpaan. Dengan minat dan kepedulian yang berseberangan. Aku jatuh cinta pada Laila.
Aku telusuri sepenggal jalan Boulevard Saint-Michel. Bunga-bunga musim semi berwarna pink di sepanjang jalan menambah magis malam Lebaran. Tiga ratus meter aku berjalan. Tampak tempat tinggal Laila, Apartemen Quartier Latin. Kudaki tiga lantai. Pada ruang nomer 11. Di sini Laila bermukim.
Pintu apartemen nomer 11 sedikit terbuka. Tidak jadi aku ketuk. Mataku meneropong pada pintu yang sedikit terbuka. Pada sofa ada lelaki berkulit hitam dengan model rambut Bob Marley. Kuingat-ingat sosoknya. Ya, dia Hasani Moses, aktivis dari Nigeria yang berorasi galak mendemo investor-investor global di depan Hotel Marriot Amsterdam.
Sejenak berikut muncul Laila. Meluncur duduk di sofa merapat pada tubuh Hasani. Mereka berpelukan. Lalu sejurus berikut Hasani melumat habis bibir Laila. Membanting tubuh Laila di atas sofa. Kejadian berikutnya aku tidak tahu.
Aku membalikkan badan. Berjalan menuruni tiga lantai Apartemen Quartier Latin. Tepat di depan pintu keluar apartemen, ada tong sampah. Di situlah bunga untuk Laila berakhir.
Mad Maker Pub, lima belas menit jalan kaki. Aku akan memesan segelas Stolichnaya, vodka Rusia untuk menghangatkan badan. Mendengarkan biduan pub melantukan lagu Green Day, “Boulevard of Broken Dreams.” Bukan tembang-tembang Lebaran.
Oleh A.M. Lilik Agung
HIDUP No.21, 24 Mei 2020