SYEKH AHMED AL-TAYEB: UMAT KRISTEN ADALAH SAHABAT KAMI

636
(www.albawaba.com)

HIDUPKATOLIK.COM Bersama Paus Fransiskus ia menandatangani dokumen Abu Dhabi. Dengan ini, ia meletakkan tonggak baru dialog antara Islam-Kristen.

Pada Senin sore, 4 Februari 2019, di Abu Dhabi Paus Fransiskus dan Imam Masjid Al-Azhar, Syekh Ahmad el-Tayeb menandatangani dokumen “Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama”. Peristiwa ini tidak hanya menandai tonggak sejarah dalam hubungan antara Kristen dan Islam, tetapi juga mewakili pesan dengan dampak kuat pada kancah internasional.

Dalam kata pengantar, setelah menegaskan bahwa “Iman menuntun orang percaya untuk melihat dalam diri saudara laki-laki atau saudara perempuan lainnya untuk didukung dan dicintai”. Teks ini mengundang semua orang yang memiliki iman kepada Tuhan, dan iman dalam persaudaraan manusia untuk bersatu dan bekerja sama.

Pertemuan  Al-Tayeb dengan Paus Fransiskus itu bukan yang pertama kali. Pertama kali, mereka bertemu di Vatikan. Setelahnya mereka juga bertemu di Mesir ketika Paus Fransiskus berkunjung ke Negeri Piramida itu.

Sebagai Imam Besar Masjid Al-Azhar, Al-Tayeb berdiri di barisan paling depan tokoh Muslim yang setia menyuarakan perdamaian. Pemikirannya jauh ke depan, di dalam dirinya, pemikiran Islam berkembang menuju pemikiran yang semakin terbuka pada perkembangan zaman.

Imam Al-Azhar

Al-Tayeb belajar Filsafat di Universitas Al-Azhar. Ia menyelesaikan tesisnya hingga meraih gelar Doktor Filsafat Islam pada tahun 1977 di Universitas Paris, Prancis. Setelah itu, ia memegang jabatan akademik di almamaternya. Tak hanya di Universitas Al-Azhar, ia sempat bekerja juga di International Islamic Universitas, Islamabad di Pakistan pada tahun 1999-2000.

Antara 2002 dan 2003, Al-Tayeb menjabat sebagai Mufti Besar Mesir. Ia adalah syekh sufi dari Mesir Hulu. Sebagai puncak karier akademisnya, ia juga pernah menjadi Rektor Universitas Al-Azhar dari tahun 2003 hingga 2010.

Sejak sembilan tahun lalu menjadi puncak pencapaian Al-Tayeb, yaitu saat ia mulai mengemban jabatan sebagai Imam Besar di Masjid Al Azhar sejak 2010. Ia menggantikan pendahulunya, Muhammad Sayyid Tantawi. Dengan memegang jabatan sebagai imam Masjid A-Azhar, menjadikan Al-Tayeb dianggap memiliki otoritas tertinggi dalam pemikiran Islam Sunni. Dengan posisi ini, ia juga memegang pengaruh besar pada pengikut tradisi Ash’ari dan Maturidi di seluruh dunia.

Dengan latar belakang akademik yang mentereng ini, tak ayal menjadikan Al-Tayeb sebagai pemikir Islam terkemuka Sunni di seluruh dunia. Pemikiran Al-Tayeb dikenal moderat moderat dan selalu menyerukan ukhuwah (persatuan), dan tegas mengkritik Zionis.

Hal ini dibuktikan Al-Tayeb selama masa transisi politik di Mesir. Ia berusaha menjadi penengah dalam konflik antara Morsi- Ikhwanul Muslimin dan kekuatan oposisi. Berkat wibawanya, ia membawa kedua kubu bertemu dalam sebuah mediasi. Sayang, usaha ini gagal. Kedua kubu ini tidak ada yang mau mengalah.

Niat baik untuk menjadi penengah tidak selalu menjadikan perjalanan Al-Tayeb aman. Buktinya, Al-Azhar pun terseret di dalam konflik ini yang tentu berimbas pada dirinya. Saat mahasiswa-mahasiswa Al Azhar dari kalangan Ikhwanul Muslimin  melakukan aksi-aksi demo untuk menggulingkan Al-Tayeb, namun upaya ini digagalkan oleh demo-demo rakyat Mesir yang membelanya.

Islam Moderat

Al-Tayeb dengan tegas memperingatkan dunia Islam, bahwa akan ada konsekuensi negatif dari sektarian di Dunia Islam. Selama bekerja di Universitas al-Azhar, ia terus menggaungkan ini dan berani menjadikan perhatian pada masalah ini sebagai bahan kajian di kampus yang ia pimpin itu. Ia berpendapat, para ulama selalu menekankan pentingnya menghormati agama dan prinsip lain. Berangkat dari sini, ia meyakini bahwa perbedaan di antara denominasi Islam masih sangat kecil, sehingga tidak perlu diperdebatkan lagi. “Umat Islam harus bersatu,” ujarnya

Dalam beberapa tahun terakhir, muncul gerakan untuk mempromosikan pemulihan persatuan di antara negara-negara Muslim. Dalam hal ini, Al-Tayeb mendesak umat Islam untuk melakukan yang terbaik. Bersama dengan Al-Azhar, ia selalu aktif dalam mempromosikan persatuan dan pemulihan hubungan di antara negara-negara Muslim. Ia meyakini, apabila umat Islam terus berada dalam selisih perbedaan, hal ini hanya akan memudahkan jalan bagi musuh untuk mencapai tujuannyaa.

Saat ini, negara-negara Muslim akhirnya sadar, bahwa tidak ada gunanya menyoroti perbedaan kecil, umat Islam harus bersatu. Lewat buku-buku yang ia tulis, Al-Tayeb menjabarkan pemikirannya dan menyediakan jalan bagi negara-negara Muslim untuk menemukan arah kemana harus berjalan.

Al-Tayeb juga mengutuk keras kelompok-kelompok ekstremis yang mengatasnamakan Islam. Ia sangat mengutuk tindakan yang dilakukan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Menurutnya, kelompok ekstremis itu bertindak dengan kedok agama suci Islam, dalam upaya mengekspor Islam palsu mereka. “Apa yang dilakukan gerakan bersenjata Islam itu salah,” ujarnya.

Al-Tayeb melihat, munculnya ISIS dilatari oleh banyaknya kemunduran yang dialami oleh kaum muda, keterbelakangan ekonomi, dan pengangguran. Itu berarti, dunia Islam memerlukan vitalisasi ekonomi. Namun ia berpendapan, Barat juga harus mengambil tanggung jawab dan membantu negara-negara Arab, untuk membebaskan diri dari teror. “Ini bisa, misalnya, mengambil bentuk kerja sama ekonomi dan dukungan politik. Negara-negara Barat harus menjamin negara-negara Arab, karena jika teror tetap di sini, akan salah untuk berpikir bahwa Barat tidak akan terpengaruh,” tegasnya.

Islam-Kristen

Kembali pada pertemua antara Paus Fransiskus dan Al-Tayeb. Peristiwa ini menjadi sangat bersejarah, gema dari pertemuan ini bahkan terus meluas menumbuhkan pesan-pesan damai di seluruh dunia. Perkataan yang diucapkan Al-Tayeb dalam perjumpaan ini tidak akan dilupakan selamanya. “Umat Kristen adalah sahabat kami,” ujarnya di hadapan Bapa Suci.

Al-Tayeb mengajak umat Islam di Timur Tengah untuk “merangkul” orang-orang Kristen setempat. Gema ini juga sampai di Indonesia. Baik kalangan Kristen juga Islam, kemudian mengobarkan semangat persaudaraan. Dokumen Abu Dhabi dibaca tidak saja kalangan Katolik-Kristen, tapi juga dalam komunitas-komunitas Islam di Nusantara.

Saat menandatangani Dokumen Abu Dhabi, Al-Tayeb dan Paus membukanya dengan serangkaian doa. Keduanya berbicara atas nama Tuhan yang telah menciptakan semua manusia setara dalam hak, kewajiban, dan martabat. Lewat peristiwa ini, Islam-Katolik menawarkan dialog sebagai jalan, kerja sama, dan saling pengertian timbal balik.

Yulius Yulianto

HIDUP NO.07 2020, 16 Februari 2020

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini