MENGANGKAT MARTABAT LEWAT PENDIDIKAN

507
Sekolah St. Maria Juanda, Jakarta, tahun 1918 dan 2017.
(Pinterest.com/Bintoro Hoepoedio)
Gerbang masuk sekolah dan asrama putri Mendut, Magelang, 2008.

(Kodratbergerak.blogspot.com)

HIDUPKATOLIK.COM

Sekolah merupakan salah satu “pintu masuk” misi Katolik di Indonesia. Bukan untuk mengkristenkan tapi membangkitkan nasionalisme.

“Satu kekurangan besar di seluruh kepulauan ini adalah, bahwa mereka tidak mempunyai huruf dan tidak dapat menulis kecuali beberapa gelintir orang. Mereka menulis dalam bahasa Melayu dengan huruf Arab, yang hingga kini masih diajarkan oleh orang orang-orang Arab kepada mereka. Sebelum menjadi Muslim, mereka tidak dapat menulis.”

Kutipan itu merupakan penggalan warkat Pastor Fransiskus Xaverius SJ (dikanonisasi pada 1622) ke Roma. Dalam buku Ensiklopedi Gereja 7 (2005), karya Pastor A. Heuken SJ, disebutkan bahwa, surat tersebut ditulis Fransiskus ketika berada di Malaka, pada 10 Mei 1546.

Huruf Latin yang digunakan dalam bahasa Indonesia datang agak belakangan dibandingkan aksara Arab. Orang-orang Portugis-lah –kemudian Belanda– yang mempopulerkan abjad Latin kepada orang-orang Indonesia. Alif Danya Munsyi alias Remy Sylado dalam Bahasa Menunjukkan Bangsa (2005), menulis, “Pengenalan kita pada aksara latin dimulai secara resmi pada 1536, yakni melalui sekolah pertama di Indonesia yang didirikan di Ambon oleh penguasa Portugis, Antonio Galvao.”

Ambon yang dimaksud dalam kutipan itu, seperti yang ditulis Tirto.id, tampaknya tak hanya merujuk pada Kota Ambon sekarang, tapi juga daerah-daerah di sekitar Maluku.  Koentjaraningrat dalam bukunya Kebudayaan Jawa (1984) juga melontarkan hal serupa: “Menurut catatan orang Portugis, sistem pendidikan sekolah Eropa untuk orang Indonesia pribumi sudah ada sejak berdirinya sekolah Katolik Portugis untuk anak-anak kepala desa pribumi di Ternate dalam tahun 1536.”

Membuka Jaringan

Sekolah di Ternate itu, menurut Th. van den End dalam Ragi Carita 1 (1987), diperuntukkan “anak-anak Indo-Portugis dan anak-anak Kristen pribumi belajar membaca dan menulis, dan menghafal Katekismus Katolik Roma.” Namun, aktivitas tersebut tak berlangsung lama. Sebab, pengganti Galvao dan terutama para awam Katolik menelantarkan usaha itu dan sibuk berdagang.

Selain Maluku, gerakan misi juga serentak berlangsung di Solor, Timor, Flores, Nusa Tenggara Timur. Bahkan di Solor, menurut Romo Heuken SJ dalam Ensiklopedi Gereja 6 (2005), Dominikan (Ordo Praedicatorium/OP) juga sempat membuka sekolah sebelum 1590. “Usaha awal itu musnah tak terteruskan, karena VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie/Kongsi Dagang Belanda) melarang kegiatan misi mana pun di wilayah kekuasaannya.”   

Namun, kata Romo Heuken, sekolah-sekolah Katolik dalam arti kata sesungguhnya mulai dibuka setelah kedatangan para Suster Ursulin (Ordo Sanctae Ursulae/OSU) di Batavia (Jakarta) pada 1856. Menyusul Bruder-bruder St. Aloysius (Congretio Sanctii Aloysii/CSA) di Surabaya pada 1862 serta Suster-suster Fransiskanes (Ordo Santo Fransiskus/OSF) di Semarang pada 1870. Sekolah-sekolah Katolik juga dibuka di Padang setelah kedatangan para Suster Cinta Kasih (Congregatio Sororum Caritatis A Nostra Domina Matre Misericordiae/SCMM).

Kendati sempat ditentang kebe-radaannya oleh pemerintah kolonial, seperti di Malang, namun karena para suster begitu tekun memberi pendidikan bermutu, akhirnya mereka berhasil menerobos pagar administratif kolonial yang anti-Katolik pada masa itu. Para suster dari tarekat Jesus Maria Joseph (JMJ) berjuang sepuluh tahun hingga diperbolehkan membuka sekolah di Minahasa, Sulawesi Utara (Sulut).

Berdiri pula sejumlah sekolah guru, antara lain di Larantuka, Nusa Tenggara Timur (1862), Woloan, Sulut (1905), dan Muntilan, Jawa Tengah (1904). Lembaga-lembaga pendidikan itu menjadi “tempat persemaian” kelahiran para guru-guru Katolik, yang kemudian menjadi perintis pendidikan di berbagai wilayah, bahkan sebelum seorang imam dapat menetap. Dari antara mereka tumbuh juga panggilan sebagai biarawan-biarawati dan imam projo, yang turut menyumbang perkembangan Gereja.

Berdirinya kompleks persekolahan di Muntilan dan di Mendut membuka tahap baru yaitu pendidikan menengah untuk murid-murid pribumi yang bukan hanya berasal dari kaum ningrat. Sejumlah alumni sekolah-sekolah tersebut punya pengaruh penting di tingkat nasional. Jesuit kemudian juga membuka Kolese Kanisius di Menteng, Jakarta Pusat, pada 1927. Sehingga, jaringan sekolah itu mampu untuk mempersiapkan para siswa ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Sekolah Berasrama

Romo A. Eddy Kristiyanto OFM dalam Seandainya Indonesia Tanpa Katolik: Jalan Merawat Ingatan (2015) menulis, pada 1900, sudah terdapat 69 sekolah Katolik (12 di Jakarta, 10 di Semarang, 22 di Sulawesi Utara, dan 5 di Flores Timur). Jumlah murid saat itu 5.365.

Sekolah yang mempunyai siswa paling banyak terdapat di Tomohon, Minahasa, Sulut. “Sebab di sana kehadiran orang-orang Eropa sangat signifikan jumlahnya. Di samping itu, aura kekristenan sangat kuat, karena sikap akseptif warga Minahasa terhadap kekristenan,” paparnya.

Sementara di Papua, lanjut Romo Eddy dalam karyanya itu, agak sulit menemukan bukti yang jelas tentang misi Katolik di Tanah Papua sebelum abad ke-19. Akan tetapi, Indonesia Timur pada umumnya dipengaruhi secara tak langsung oleh kekristenan. Para misionaris dari Spanyol dan Portugis, terutama Fransiskan, seperti disampaikan oleh Achilles Meersman (1967) sejak tahun 1520 melakukan evangelisasi di wilayah Maluku dan mendirikan stasi-stasi di Tidore, Ternate, Seram, Ambon, dan Banda. Tempat-tempat ini sudah memiliki relasi perniagaan dengan penduduk pulau-pulai Raja Ampat dan “Kepala Burung” Papua.   

Namun misi pertama orang Katolik di Tanah Papua terjadi sesudah tahun 1890. Terutama, dengan kisah Pastor Cornelis Le Cocq d’Armandville, SJ. Imam asal Delf, Belanda ini dideskripsikan sebagai pioner yang berkarya di Negeri Cenderawasih sejak 1894 hingga 1895. Ia meninggal setelah sekoci yang ditumpanginya dihantam ombak. Saat itu ia usai mengobati penduduk Mimika.

Pada 16 Maret 1937, tulis Romo Eddy, dua orang Saudara Dina (Ordo Fratrum Minorum/OFM) berkebangsaan Belanda mendarat di Kaimana. Mereka melanjutkan perjalanan ke Fakfak dan Babo di Kepulauan Bomberai untuk mengambil alih dua stasi yang ada di situ dari para Misionaris Hati Kudus (Missionarii Sacratissimi Cordis Jesu/MSC).

Kurang tiga tahun, anggota OFM di Tanah Papua bertambah menjadi enam orang. Salah satu dari mereka, Pastor Jucundinus Frankenmolen, OFM, yang bertugas mengunjungi kelompok-kelompok kecil di sepanjang pesisir utara, membuka sebuah sekolah dengan seorang guru dari Kai di Arso. Daerah ini dekat dengan perbatasan Papua New Guinea.

Sementara di Kalimantan, menurut Karel Steenbrink dalam Orang-Orang Katolik di Indonesia 1808-1942 (2006), setelah kedatangan Kapusin (Ordo Fratrum Minorum Capucinorum/OFMCap) pertama pada 1905, tahun berikutnya para biarawati dari Kongregasi Suster Fransiskus dari Perkandungan Tak Bernoda Bunda Suci Allah (Sorroum Fransiscalium ab Immaculata Conceptione a Matre Dei/SFIC) mengikuti jejak mereka. Tarekat ini di Singkawang mereka membuka sekolah-sekolah berasarama, selain taman kanak-kanak dan sekolah kejuruan untuk keterampilan rumah tangga –dibuka pada 1924.

Mengangkat Martabat

Sekolah-sekolah Katolik merupakan salah satu “pintu masuk” misi Gereja di kepulauan ini. Tak melulu menjadi sarana penyebaran Kabar Gembira, lembaga pendidikan ini juga memiliki tujuan mulia, yakni membangun nasionalisme, mengangkat martabat, dan mengasah  keterampilan agar mampu bersaing dengan bangsa lain.

Dulu, sekolah-sekolah yang didirikan oleh beraneka kongregasi itu, baik perempuan maupun pria, terkenal karena kualitas pendidikannya. Semoga kualitas itu masih terus dipertahankan, kendati ada beragam persoalan. Sebab, jika mutu tak digenjot, jumlah siswa bakal melorot.

Yanuari Marwanto

HIDUP NO.07 2020, 16 Februari 2020

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini