HIDUPKATOLIK.com- Tahun Keadilan Sosial Keuskupan Agung Jakarta mulai dicanangkan pada Hari Raya Penampakan Tuhan, Epifani. Peristiwa ini dipilih untuk mengambil teladan kisah para orang majus dari Timur.
Konon mereka pulang ke negerinya “lewat jalan
lain”. Secara simbolis, itu berarti tidak menapaki
jalan hidup yang sama, yang lama. Tetapi mengubahnya sehingga membuahkan sukacita
(Mat 2:10). Ini berlaku untuk kita masing-masing, keluarga, paroki, keuskupan, bahkan Gereja semesta bahwa kita harus berubah. Tidak hanya berpikir dan berbuat seperti kebiasaan lama, seperti kemarin-kemarin dulu.
Kita diharapkan untuk mulai berbuat baik kepada semua orang, secara khusus kepada orang-orang kecil yang miskin, menderita, tersingkir, difabel, dan sebagainya. Sesanti ini sesuai perintah Yesus dalam Injil Matius 25.
Begitu kurang lebih pembukaan Surat Gembala
Tahun Keadilan Sosial. Sungguh menarik. Sungguh mulia. Saya sungguh gembira Gereja Indonesia mulai serius memperhatikan seruan pemimpinnya, Paus Fransiskus, setelah enam tahun.
Tetapi saya ragu. Amat ragu bahkan dalam hal
pelaksanaannya, serta cara pikir tim penyusun, dan itu segera terbukti. Muncul edaran dari paroki untuk meminta umat untuk kebutuhan orang-orang kecil yang miskin, menderita, tersingkir, dan difabel.
Segera berkelebat bayangan pesan di WhatsApp
ikhwal cibiran kepada seorang kepala daerah yang
meminta masyarakat untuk memberikan sumbangan kepada orang-orang yang berkesusahan karena banjir. Tapi, dia sendiri tidak memberikan apa-apa, bahkan memotong anggaran untuk menangani persoalan banjir.
Bukankah itu analogi yang sangat sejajar? Ada
baiknya kalau si pemimpin memulai langkah itu dari dirinya sendiri. Memberi contoh atau teladan, seperti menyumbang, menambah jatah dalam anggaran. Memberitahukan kepada masyarakat, anggaran ditambah sekian persen. Bukan langsung meminta orang untuk menyumbang.
Untuk Gereja, ini adalah paroki dan atau keuskupan. Seharusnya paroki maupun keuskupan memulai lebih dulu dengan mengeluarkan dana yang dipotong dari anggaran lain. Apakah tak ada? Atau mungkin tidak bisa? Bila demikian, slogan Tahun Keadilan perlu disingkirkan dulu untuk sepuluh tahun lagi.
Hitung-hitungnya, seandainya anggaran untuk orang miskin ditambah, dengan sendirinya harus ada pos anggaran lain yang dikorbankan. Paroki atau keuskupan bisa mencari dan menentukannya sendiri.
Peristiwa Bagus
Ada peristiwa bagus tentang ini. Wilayah saya akan mengadakan Pesta Natal. Bersuka ria. Mendadak banjir datang. Pesta tidak bisa dilangsungkan. Maka, panitia mengusulkan, dana diberikan saja kepada orang-orang yang menderita karena terdampak banjir. Semua setuju dengan usulan tersebut.
Bagi saya ini keputusan mulia, tapi lebih mulia lagi
kalau keputusan itu dilakukan sebelum banjir datang. Bukan putusan karena terpaksa, atau tidak ada jalan lain. Karena kalau mau mencari, pasti masih banyak orang-orang menderita di luar sana, terlebih yang bukan Katolik.
Lho, kalau terus menerus memberi, dana Gereja
akan habis dong? Betul, tapi itulah Gereja yang disebut Paus Fransiskus, sebagai Gereja miskin, Gereja untuk orang miskin. Mungkin itulah yang diminta dan diharapkan: Mengubah cara pikir kita untuk memakai logika yang lurus. Bukan logika yang kemarin.
Omong-omong, berapa persen yah dana keuskupan yang selama ini dianggarkan? Ada yang tahu? 20-30 persen? 40-50 persen? Atau cuman dua hingga lima persen? Mari kita bicara angka.
Eduardus Nugroho
HIDUP NO.04 2020, 16 Januari 2020