HIDUPKATOLIK.com – Menjadi Aktivis 98, ia mendirikan Museum Pustaka Peranakan Tionghoa sebagai penghargaan bagi peranakan Tionghoa yang berjasa bagi bangsa, namun terlupakan.
Papan merah dengan ukiran kayu bergaya oriental itu bertuliskan Museum Pustaka Peranakan Tionghoa. Tulisan dengan warna emas itu tampak mencolok di antara rumah-rumah toko di daerah Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan, Banten. Memasuki ruangan museum dua lantai ini, deretan
dokumen, buku, surat kabar, komik beraksara latin, dan kanji menyambut dari berbagai penjuru.
Semua koleksi museum ini merupakan literatur Tionghoa dengan beragam tema, mulai dari sastra, cerita silat, politik, seni, hingga resep masakan. Semuanya pernah diproduksi atau dimiliki peranakan Tionghoa Indonesia. Warna kertas cokelat usang dan cacat termakan rayap menjadi
pemandangan lazim. Ada pula poster dan foto serta beberapa papan nama, lukisan, juga patung.
Salah satu yang menarik perhatian adalah papan kayu bertuliskan huruf kanji yang ternyata papan nama “Tiong Hoa Hwee Kwan” (THHK). Ini adalah nama sebuah sekolah yang berdiri di Indonesia pada 1901. Saat mendapatkan papan nama ini, Azmi Abubakar belum tahu ini plakat THHK. “Baru sadar ketika lihat foto sekolah THHK, tulisan namanya sama,” ujar pendiri dan pemilik museum ini.
Luka ‘98
Dari namanya, bisa ditebak Azmi bukan peranakan Tionghoa, bukan pula Cina Benteng. Ia Berdarah Gayo dan lahir dari keluarga Muslim. Ayahnya dosen di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga membuka pesantren. Lantas apa yang membuatnya rela bersusah payah mengumpulkan serpihan sejarah Tionghoa dari seluruh pelosok Nusantara dan mancanegara – mulai dari Malaysia, Singapura, Belanda, Swiss, hingga negara-negara Eropa lainnya?
Jebolan Instititut Teknologi Indonesia ini menjadi aktivis yang turun ke jalan pada Mei 1998. Peristiwa itu ditandai dengan jatuhnya Presiden Soeharto. Di tengah gegap gempita reformasi, etnis Tionghoa dikambinghitamkan. Mereka dituduh sebagai biang kerok kesenjangan ekonomi saat krisis finansial.
Azmi melihat sendiri, bagaimana sentimen anti-Tionghoa marak di mana-mana, masyarakat mudah terprovokasi untuk bertindak terhadap peranakan Tionghoa. Kala kerusuhan meluas di
Jakarta, bersama kawan-kawannya, ia berjaga di pemukiman Tionghoa di Pondok Cabe, Ciputat, Pamulang, dan Serpong.
Masyarakat yang ingin menumbangkan rezim Orde Baru justru seolah digerakkan untuk berhadapan dengan etnis Tionghoa. Kerusuhan anti-Tionghoa yang mematikan berkecamuk di seluruh negeri kala itu. Bertahun-tahun sebelumnya, Azmi melakukan aksi unjuk rasa, tidak ada satu pun orasi, yel, atau spanduk yang mengisyaratkan kebencian terhadap Tionghoa. “Bayaran kita untuk reformasi terlalu besar. Ada rasa bersalah; apalah
arti menumbangkan Orde Baru bila harus mengorbankan saudara sendiri?” ungkap Azmi mengenang kejadian pahit itu.
Begitu membekas, Azmi pun mencari tahu dengan menelusuri berbagai literatur. Wawasannya terbuka, sebab jauh sebelum NKRI terbentuk, koran dan karya kaum peranakan Tionghoa sudah berbicara soal cikal-bakal Indonesia. Banyak penulis dan penerbit media Tionghoa bersimpati pada gagasan kemerdekaan Indonesia. Tanpa ada media cetak Peranakan Tionghoa, kata Azmi, maka jejak perintis kemerdekaan Indonesia menjadi kabur. Media Belanda tidak adil sementara media lokal masih minim.
Menurutnya, peristiwa Mei 98 terjadi, di antaranya lantaran informasi tentang orang-orang Tionghoa yang baik dan berjasa pada Indonesia tidak terakses oleh masyarakat umum. Itulah yang
melatarbelakanginya mendirikan Museum Pustaka Peranakan Tionghoa. “Generasi muda Tionghoa dan lokal tidak ada yang tahu. Apalagi semua itu tidak tertulis di buku sejarah nasional,” ujarnya.
Dari penelusurannya, Azmi menemukan, banyak fakta tentang kontribusi peranakan Tionghoa. Sin Po – surat kabar yang dikelola peranakan Tionghoa dengan tiras sangat besar pada masanya – menjadi media pertama yang memuat syair Indonesia Raya lengkap dengan partiturnya. Rekaman pertama lagu ciptaan Wage Rudolf Supratman ini pun diproduksi saudagar Tionghoa di Batavia, Yo Kim Tjan. Azmi juga menyebut peran peranakan Tionghoa yang amat besar dalam mendirikan Institut Teknologi Bandung (ITB) di Bandung Jawa Barat dan Universitas Diponegoro di Semarang Jawa Tengah (Undip). Ada juga tokoh-tokoh peranakan Tionghoa seperti pahlawan nasional Indonesia, Laksamana John Lie.
Semakin banyak Azmi membaca, ia kian kagum. Menurutnya hal-hal ini seharusnya disampaikan dalam pelajaran sekolah. Sebab, informasi ini akan mengubah paradigma berbeda dan mencoret stigma, bahwa orang Tionghoa hanya tahu berdagang dan mencari untung.
Jauh sebelum Indonesia merdeka pun Tionghoa turut melawan Belanda. Dalam peristiwa Geger Pecinan yang terjadi pada 1740, ribuan orang Tionghoa di Batavia tewas dibunuh tentara Belanda. Souw Phan Ciang alias Kapitan Sepanjang, salah satu pemimpin Tionghoa yang bersatu dengan pasukan Jawa untuk melawan pasukan VOC pada 1740-1743. Itu berarti, etnis Tionghoa turut berkontribusi untuk Indonesia, yang ada sekarang. “Sayangnya peristiwa seperti ini tidak banyak diketahui orang,” ujarnya.
Azmi merasa, hal ini penting bagi masyarakat, untuk memiliki keberanian menceritakan fakta ini. Data ini jelas menunjukkan, ada yang luput dari
sejarah Indonesia, bahwa Tionghoa juga berada di barisan depan kemerdekaan bangsa. “Jangankan masyarakat lain, orang Tionghoa saja gagap menceritakan sejarahnya,” tambahnya.
Cara berpikir bahwa untuk menjadi Indonesia adalah dengan menanggalkan identitas budaya asal adalah keliru. Suatu etnis, ketika ingin menjadi Indonesia yang seutuhnya, Azmi berpendapat, setiap warga negara harus memahami etnis dan budayanya sendiri terlebih dahulu. “Dengan memahami dirinya, di situlah ia menjadi Indonesia. Bukan dengan menanggalkannya. Cara ber-Indonesia ini yang perlu kita tanamkan,” tuturnya.
Balas Jasa
Tak berhenti mengumpulkan literatur sejak 2005, total koleksi Azmi kini mencapai lebih dari 30 ribu buku dan dokumen. Banyak periset yang terbantu
bahkan sebelum koleksinya dimuseumkan pada 2011. Cita-citanya bukan hanya agar sejarah Tionghoa menjadi bagian besar dari sejarah bangsa Indonesia tetapi juga menjadikan museum ini sebagai bentuk balas jasa terhadap etnis Tionghoa.
Azmi yang bekerja di bidang properti ini, selalu menolak bantuan pendanaan dari peranakan Tionghoa meski tidak sedikit yang ingin menyumbang. Hingga kini, ia keukeh menolak. “Saya tahu betul jiwa sosial mereka tinggi, tapi saya selalu menolak segala bentuk dukungan
materiil mereka. Biar ini menjadi bentuk penghargaan, balas jasa, bagi etnis Tionghoa yang banyak berjasa dari sebelum hingga setelah Indonesia merdeka,” kilahnya.
Semangat balas budi dalam dada, membuatnya ingin menyebarluaskan pengetahuan tentang Tionghoa terutama pada pemuda lokal. Azmi juga berharap apa yang ia lakukan ini dapat menjadi
contoh bagi etnis dan suku lain di Indonesia. “Sudah saatnya Indonesia dibangun dengan saling memperhatikan. Nanti museum orang Aceh biar Minahasa yang kerjakan. Segala hal tentang Dayak,
biarkan orang Jawa yang cerita. Sebab bila kita hanya memperhatikan diri sendiri, untuk apa kita menjadi satu bangsa?” tuturnya.
Azmi Abubakar
Tanggal Lahir : Jakarta, 3 Maret 1972
Pendidikan :
Teknik Sipil, Institut Teknologi Indonesia
Karya :
Pendiri Museum Pustaka Peranakan Tionghoa
Penghargaan dan Organisasi :
– Dewan Pakar Perhimpunan Indonesia Tionghoa
– Ketua DPW Partai Solidaritas Indonesia, Provinsi Banten
– Pemandu acara AZMI SHOW di Heartline FM
– Sekjend Komite Mahasiswa & Pemuda Aceh Nusantara (1998 – 1999)
– Pendiri Forum Silaturahmi Pemuda Betawi UNC (1988 – sekarang)
– Inisiator dan Juru Runding Perdamaian Aceh
– Pendiri Bursa Buku Blok M, Jakarta
– Pembicara seminar dan diskusi di dalam dan luar negeri
Hermina Wulohering
HIDUP NO.04 2020, 26 Januari 2020