Nasionalisme Indonesia

301

HIDUPKATOLIK.com – Pasca pemilu 2019 yang menyita perhatian  bangsa Indonesia, inilah waktunya bagi kita untuk merangkul kembali anak bangsa, saudara-saudari di sekeliling kita. Dalam hal ini, tidak ada pribadi di bawah naungan negeri ini yang terbebas dari tanggung jawab merawat bangsa. Saya mendasarkan pemikiran saya ini dari konsep nasionalisme yang menyatukan kita. Ensiklopedi Britannica mengartikan nasionalisme sebagai ideologi yang menekankan pengabdian, atau kesetiaan kepada suatu bangsa atau negara-bangsa dan berpendapat bahwa kewajiban itu lebih penting daripada kepentingan individu atau kelompok . (“Nationalism | Britannica.Com”)

Dari sudut pandang ini kita lalu memahami bahwa negeri kita bisa bersatu karena kesadaran primordial (budaya, adat, agama) melebur di dalam
kesatuan Indonesia sebagai sebuah nation (bangsa). Dalam konteks Indonesia, melebur di sini bukan berarti dihancurkan, melainkan diterima sejauh tidak menafikan hidup bersama sebagai
bangsa (Bhinneka Tunggal Ika). Nasionalisme Indonesia memang sudah teruji oleh zaman karena bertahan hampir 74 tahun. Meski demikian, selalu ada tantangan yang harus dijalani dari zaman ke zaman. Maka, perlu dipertanyakan bagaimana penduduk negeri ini sekarang ingin
menjaga kesatuan bangsanya.

Salah satu tokoh penting, untuk tidak mengatakan
terpenting, dari pembentukan nasionalisme bangsa ini adalah Soekarno. Dalam sebuah perkataannya, Beliau mengungkapkan, “Perjuanganku Lebih Mudah karena Melawan Panjajah. Tapi Perjuangan Kalian akan Lebih Berat, karena Melawan Saudara Sendiri.” Beliau sadar bahwa nasionalisme Indonesia dulunya dibangun oleh dasar musuh bersama yaitu penjajah, sementara pasca kemerdekaan bangsa ini harus menemukan pemersatu yang kuat. Sayangnya,
dasar yang paling besar dari persatuan itu ‘hanyalah’ perasaan senasib sepenanggungan sebagai bangsa jajahan Belanda dan Jepang (Alfaqi 2016). Oleh karenanya bangsa kita terus menerus mencoba menemukan dasar pemersatu dalam Pancasila yang terus menyatukan bangsa ini di dalam semangat perjuangan yang sama meski juga terus digoncang oleh kelompok yang ingin mengubah nasionalisme negeri ini.

Kritik kepada Agama-agama
Di bawah naungan Indonesia, agama menjadi bentuk identitas yang paling banyak menyedot
perhatian. Salah satu yang paling menonjol adalah
sikap saling curiga yang muncul dari satu agama ke agama yang lain, terutama Agama Islam dan Kristiani (mencakup Katolik dan Protestan) sebagai agama dengan pengikut terbesar. A. R. Arifianto menjelaskan bahwa relasi antara Islam dan Kristen di Indonesia dibayangi oleh kecurigaan atas nama Kristenisasi dan Islamisasi. Ada kecenderungan dari masing-masing agama
untuk berpikir bahwa pihak agama lain ingin menepikan agama lain dari kehidupan bersama atau bahkan mengusir agama tersebut dari Indonesia (Arifianto 2018, 86). Dalam hal ini, salah satu titik yang memisahkan kita adalah kecurigaan sebagai anak bangsa. Dari situlah muncul perdebatan atas dasar agama yang terasa aneh kalau dipandang dari sudut pandang nasionalisme. Musuh bersama kita bukanlah orang dari agama lain, tetapi seperti termaktub di dalam pembukaan UUD 1945, musuh bersama ini adalah kemiskinan, kebodohan, dan perpecahan dunia sehingga rumusannya adalah “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Pertanyaannya, sebagai bagian dari bangsa ini, apakah agama-agama lebih
sibuk melawan musuh bersama ini ataukah sibuk
menjadikan yang lain sebagai musuh.

Sikap curiga itu bisa saja melahirkan kelompok
hardliner (kelompok garis keras). Secara makna, kelompok ini berarti kelompok yang melibatkan tindakan yang kaku tanpa kompromi (Merriam-Webster). Mengingat hidup bersama mengakomodasi banyak kelompok, maka sikap tanpa kompromi perlu dipertanyakan, apalagi kalau sudah menyangkut dengan perbedaan identitas. Menjadi sangat bermasalah kalau sikap tanpa kompromi yang mengagungkan lagi ide primordial di atas nasionalisme tentu tidak tepat disandingkan dengan ide nasionalisme. Sikap ini tidak secara ekslusif hanya ditemukan dalam kelompok agama tertentu atau kelompok suku tertentu. Semua orang bisa saja terdorong untuk menjadi kelompok garis keras. Hal ini didukung oleh apa yang disebut sebagai klaim mayoritas dan minoritas yang sebenarnya tidak boleh menjadi dasar untuk hidup bersama. Hal ini mengingat bahwa setiap pribadi adalah bagian
tak terpisahkan dari negeri ini. Sayangnya konsep
ini terlanjur diterima di dalam diskusi bersama di masyarakat. Oleh karenanya kalau kelompok
dengan jumlah yang lebih banyak mau memaksakan kehendaknya di tengah hidup bersama lalu dianggap sebagai kewajaran. Padahal, bukan ini cara hidup bersama kita.

Secara lebih detil saya hendak berbicara tentang
Islam garis keras yang memang menjadi bahan
perdebatan di negeri ini akhir-akhir ini. Memang
sejak zaman kemerdekaan ide tentang pendirian
Negara Indonesia sebagai Negara Islam tidak pernah selesai. Kalau pada awal kemerdekaan, idenya adalah tentang Negara Islam Indonesia (NII) dengan tentaranya yang dikenal sebagai Darul Islam (DI) atau Tentara Islam Indonesia (TII), belakangan kita lebih mengenal istilah Kekilafahan. Di balik layar memang ada kelompok-kelompok yang terus mencoba untuk mengembangkan ide ini.

Salah satu yang sudah diprediksi dan akhirnya
dilarang di Indonesia adalah kelompok Hisbul Tahrir Indonesia (HTI). Namun, demikian Indonesia terus bangga bahwa masih banyak kelompok Islam yang masih yakin bahwa nasionalisme Indonesia tidak bisa didasarkan oleh nasionalisme keagamaan melainkan nasionalisme Pancasila. Hal ini juga mengingat bahwa Indonesia ini berbeda-beda dalam hal agama dan tidak mungkin memaksakan hukum agama Islam dalam konteks hidup berbangsa di negeri ini.

Di sinilah saya mengapresiasi dukungan dari Romo Franz Magnis Suseno, SJ kepada NU dan
Muhammadiyah untuk mendapat hadiah Nobel.
Romo Magnis mengungkapkan andil besar dari NU
dan Muhammadiyah dalam merekatkan bangsa
Indonesia yang sangat majemuk, bahkan jauh
sebelum kemerdekaan. NU dan Muhammadiyah
tidak hanya berjuang untuk kelompok Muslim yang
secara jumlah mayoritas di Indonesia, tetapi juga
kelompok non Muslim yang minoritas dalam jumlah.

Menurutnya, beberapa poin penting yang
dikembangkan NU dan Muhammadiyah guna
menjaga perdamaian dan toleransi di Indonesia yaitu menjunjung keberagaman dan kebebasan beragama, keterbukaan demokrasi dan menolak diskriminasi dan intoleransi. Untuk itu, kedua organisasi mengembangkan warisan budaya dan menghargai kehadiran orang lain, meksipun mereka berjumlah kecil. Dalam satu bagian Beliau mengatakan bahwa NU dan Muhammadiyah meskipun mayoritas tidak pernah menjadi ancaman bagi kelompok minoritas, melainkan memberi rasa nyaman dan jaminan terhadap tumbuhnya nilai pluralisme dan toleransi (Merdeka.com). Dalam hal ini, Romo Magnis
menegaskan ruang-ruang kebersamaan yang terus
dibangun.

Semoga kita tidak sibuk menjadikan agama
lain sebagai musuh atau saingan, tetapi sibuk
berlomba-lomba untuk menunjukkan bahwa kita
bersama-sama berjuang dalam nilai yang sama.
Tentu pewartaan iman terus harus berjalan, tetapi
biarlah semua berjalan natural. Yesus bersabda,
“Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di
depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu
yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga”
(Mat 5: 16)

Nasionalisme di Kalangan Kita
Salah satu semboyan nasionalisme orang Katolik
Indonesia adalah ungkapan Bapa Uskup Albertus
Soegijapranata, SJ yang mengatakan “100 % Katolik, 100 % Indonesia.” Beliau tidak hanya berhenti dalam kata tetapi dalam perbuatan. Kalau tidak manalah mungkin Beliau diangkat sebagai pahlawan nasional. Sebagai pewaris spiritualitas Gereja Katolik Indonesia, rasanya kita pun dipanggil untuk menyadari peran yang sama yaitu bagaimana menjadi bagian dari perjuangan bangsa ini dengan nilai-nilai kekatolikan di Indonesia. Sekali lagi kesadaran nasionalisme harus dipegang yaitu bahwa identitas pribadi dan kelompok tidak menghalangi kita untuk membangun bangsa. Hidup beragama kita tidak bisa membuat kita tidak bisa bersaudara dengan yang lain.

Rasanya, nasionalisme Indonesia harus kembali
digaungkan. Dalam hal ini, agama-agama, termasuk Katolik, tidak boleh menjadi wadah lahirnya sikap-sikap yang keras (hardline) melainkan lahirnya pribadi-pribadi yang menjaga kehidupan bersama tetap damai. Presiden Jokowi mengatakan, “Indonesia adalah rumah bersama.” Inilah saatnya bagi kita untuk melebur sebagai bangsa Indonesia. Pasca Pemilu, identitas sebagai bangsa yang satu harus digaungkan di mana-mana, termasuk di dalam hati anda dan saya.

M. Joko Lelono

HIDUP NO.03 2020, 19 Januari 2020

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini