Yohanna Keraf : Menganyam Tradisi, Memberdayakan Lokal

504

HIDUPKATOLIK.com – Memberi uang kepada perempuan berarti menghidupi seluruh keluarga.

Dalam sebuah persekutuan doa, Yohanna Keraf merasa begitu tersentuh ketika dalam pendalaman
iman dikatakan, untuk sampai pada tujuan hidup, Tuhan akan menghancurkan, mencetak, membentuk, lalu menggunakan seseorang. Sebagai mahasiswa tahun ketiga di Negeri Sakura kala itu, ia merasa, layaknya bejana yang Tuhan kerjakan, ia sedang dalam cetakan. “Saat itu saya
merasa sedang di-mold oleh Tuhan, tetapi saya juga tidak tahu akan jadi apa saya nanti dan saya merasa perlu mencari tujuan hidup saya,” ujar perempuan yang akrab disapa Hanna ini. Meski mengaku tak religius, ia mengatakan sejak hari itu, dalam setiap doanya ia selalu berkata, “Tuhan, saya mau jadi alat-Mu.”

Tanah Leluhur
Orangtuanya berharap ketika lulus, Hanna akan meniti karier di Jepang atau Singapura. Tak salah, putri tunggal tiga bersaudara ini memang berprestasi. Selama kuliah ia mendapatkan beasiswa dari kampus, Kementerian Pendidikan serta Japan Student Service Organization. Namun, Hanna justru tidak memilih berkarier di perusahaan ternama. Setelah meraih gelar sarjananya, ia menikmati sebulan liburan di tanah kelahiran ayahnya di Nusa Tenggara Timur (NTT). Berada di sana tak hanya memberikannya rasa nyaman, Hanna juga merasa akan berguna di sana. Ia memutuskan bergabung dengan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) asal Swiss dengan syarat ia ditempatkan di Flores.

Selama bekerja di Maumere, Flores, Hanna sempat bertemu dengan teman-temannya dari Jakarta yang sedang menjalani program dokter muda. Dalam obrolan mereka, seorang teman menyampaikan program kesehatan pemerintah khususnya untuk persalinan, pengobatan, akses dokter, berjalan baik dan semuanya gratis. Namun, di beberapa wilayah, masyarakat lebih memilih untuk melahirkan dengan dibantu dukun daripada di fasilitas kesehatan. Biasanya, karena dukun bisa dibayar tanpa uang, tetapi dengan ayam atau hasil kebun seperti kacang tanah, mete dan kakao. Sementara di Puskesmas atau rumah sakit, mereka harus mengeluarkan uang tunai untuk
transportasi dan urusan administrasi seperti fotokopi dokumen. Setidaknya itu yang mereka temui di Desa Watudiran.

“Untuk mendapatkan fasilitas bantuan masyarakat yang gratis pun, mereka tetap memiliki kebutuhan akan uang tunai,” ujar Hanna. Dari sanalah anak-anak muda ini memikirkan cara untuk membantu
masyarakat, khususnya mama-mama. Hanna menuturkan, ia dan dua sahabatnya, Azalea Ayuningtyas dan Melia Winata, menginginkan program sosial ekonomi yang bisa mama-mama lakukan tanpa banyak intervensi. “Kami ingin sesuatu yang bukan baru bagi mereka, mereka
nyaman melakukan dan bahan bakunya mudah didapatkan,” tambahnya. Ketiganya pun memutuskan mengangkat tradisi menganyam menjadi kewirausahaan sosial. Pilihan ini mereka nilai lebih baikdibandingkan tenun yang sudah menjadi ikon NTT, sebab rotasi produksinya lebih cepat. “Lebih cepat juga mendapat pemasukan. Mama-mama ini butuh memiliki uang tunai yang walaupun tidak banyak tetapi sering,” ujarnya.

Satu Lustrum
Selama 1,5 tahun mereka melakukan penelitian produk anyaman juga minat pasar. Keduanya harus saling menyesuaikan. Anyaman memang
menyesuaikan minat pasar, tetapi juga mengikuti tradisi. Kalau pun dimodifikasi, Hanna memastikan mama-mama tetap harus nyaman mengerjakannya. Mengambil nama Du’Anyam (du’A, bahasa Sikka artinya perempuan), Hanna memulai proyeknya ini di satu desa dengan 16 mama penganyam. Kini, di tahun kelimanya, sudah hampir 50 desa dengan lebih dari 1000 penganyam yang bergabung.

Hanna mengakui bisa masuk dan membaur dengan masyarakat lokal salah satunya karena ia sudah sering berinteraksi dengan mereka saat di LSM, bahkan tinggal dan hidup di tengah mereka. Ini memudahkan dalam mendapatkan rasa percaya dari komunitas masyarakat.

Meski telah satu lustrum, riset tak usai dilakukan. Apalagi tak jarang pelanggan merasa bosan dengan produk yang ada. Hanna mengatakan ia memiliki tim riset khusus untuk produk anyaman
agar tak hanya fungsional tetapi juga estetis, dan ceritanya tetap kuat. Produk Du’Anyam paling banyak beredar dalam negeri, umumnya menjadi suvenir untuk perusahaan-perusahaan dan perlengkapan hotel-hotel di Bali. Selebihnya diekspor ke Jepang, Denmark, Norwegia, Korea
Selatan, dan Amerika.

Penjualan yang bagus dan cerita yang kuat, di mana timnya juga masuk di masyarakat menjadi kekuatan bagi Du’Anyam. “Tantangan kami, harus selalu berusaha mengikuti perkembangan, dan
menciptakan produk sambil tetap keep community dan keep market,” ungkapnya.

Konteks Lokal
Sebisa mungkin, Hanna ingin memberdayakan anak muda lokal, salah satunya dengan menggandeng mereka sebagai tim lapangan. Selain untukmemberdayakan, anak muda NTT juga lebih paham konteks lokal. Sebagai tim lapangan, kata Hanna, mereka harus duduk bersama mama-mama penganyam.Ia percaya selama bisa menjadi bagian dari masyarakat, akan lebih mudah mengajak para penganyam untuk berubah. Jiwa
humanisnya juga membuat Hanna selalu memilih karyawan yang tidak hanya pekerja keras, tetapi juga punya hati untuk masyarakat.

Suatu kali, kisah Hanna, tidak ada produksi sama sekali dari salah satu desa karena ada perayaan tahbisan imam baru yang melibatkan satu kampung, padahal produksi dibutuhkan. “Kami
belajar memahami bagaimana mekanisme sosial itu berjalan. Kami tidak bekerja dengan mesin melainkan manusia. Jadi harus lebih memahami,” katanya. Padahal, ia melanjutkan, penggunaan mesin tentu lebih cepat, lebih untung, dan pengirimannya lebih tepat waktu. Namun, bagi Hanna, justru mereka ingin memahami konteks lokal dan itu menjadi poin yang kuat bagi penjualan produk. Bila penjualan naik, mama-mama akan terus mendapat pesanan dan pemasukan. Ia tak menampik, karena ini adalah pekerjaan tangan, terkadang ada kesulitan, seperti
ukuran produk yang selisih dengan ukuran yang diminta. “Tapi kalau mau menyerah pun kita mikir mama-mama ini nanti bagaimana (nasibnya)?” tuturnya.

Kata menyerah sudah tak ada dalam kamus seorang Hanna. Ia pernah nyaris menyerah sekali, di awal perjalanan Du’Anyam. Selama dua tahun pertama, ia hidup dari tabungannya selama bekerja di LSM. Bisnis sosial yang ia bangun itu
tak menunjukkan rapor yang baik. Meski terlahir dari keluarga yang berkecukupan, Hanna tak ingin hidupnya ditanggung. “Kami (Du’Anyam) sempat membicarakan akan berhenti seperti apa dan tidak
menemukan solusi yang paling pas,” kenangnya. Di tengah kebimbangan itu, ia mengatakan Tuhan membukakan jalan. Du’Anyam mendapatkan dua pekerjaan konsultan dengan bayaran yang lumayan cukup. Di akhir tahun yang sama, mereka
juga mendapat investor besar hingga kini ia bisa hidup dengan gaji dan bisa menggaji 80 karyawan, di luar mama-mama penganyam.

Di SMA-SMA di Pulau Solor, Flores Timur, Du’Anyam memberikan ekstrakurikuler menganyam. Hanna ingin ketika nanti belum bisa melanjutkan kuliah, para lulusan SMA ini mempunyai bekal keterampilan menganyam. Saat ini timnya juga telah memberi 175 beasiswa.

Pembawa Perubahan
Para mama penganyam dan anak muda selalu menjadi perhatian Hanna. Di daerah-daerah di mana Du’Anyam berada, ia selalu mengupayakan kerja sama dengan anak muda lokal, terutama yang berwiraswasta. Baginya, anak muda adalah
pembawa perubahaan.

Ia juga menuturkan, memberi uang kepada perempuan berarti akan menghidupi seluruh keluarga. “Perempuan pasti memikirkan anak pada nomor pertama, lalu suami, baru dirinya sendiri.
Sementara laki-laki mempunyai obligasi-obligasi tertentu, terutama di Indonesia Timur, misal urusan adat dan rokok,” katanya.

Sering berada di tengah-tengah para mama penganyam, membuat Hanna merasakan cinta yang tulus dari mereka. Ia diterima sebagai keluarga mereka. Ia mengaku sangat tersentuh.Tak jarang mama-mama memberikan apa yang mereka miliki kepadanya, dari keterbatasan mereka.

Menjalankan bisnis atau apapun dalam hidup, kata Hanna, penting untuk ada bagi sesama. Tidak hanya menjadi sukses tetapi menjadi orang yang memberikan nilai untuk sesama. Kebahagiaannya
berlipat ganda daripada ketika mempunyai banyak uang. “Saya pernah menjadi anak seorang menteri di mana saya bisa mendapatkan apa saja yang saya mau. Namun, kebahagiaan itu tidak ada apa-
apanya dibandingkan dengan saat ini di mana saya menjadi berguna dan membawa kebahagiaan untuk orang lain. Jauh lebih menyenangkan,” ungkap umat Paroki St. Yoseph Matraman, Jakarta Timur ini.

Kebahagiaan yang ia rasakan, ia klaim bisa dilihat dari semua tim Du’Anyam. “Semua bangga ketika berhasil membantu mama-mama. Itu adalah gol kami semua di Du’Anyam,” katanya.

Hanna bermimpi dapat mengembangkan Du’Anyam dalam bisnis model yang lain, yang entah dengan apa caranya, bisa membantu mama-mama dan pemuda lokal, baik di NTT maupun Papua. “Selain menjadi mitra, saya ingin mengakseskan pasar kerajinan tangan yang besar, internasional maupun nasional, ke komunitas kerajinan di desa-desa,” imbuhnya optimis.

Yohanna Keraf
Co-founder Du’Anyam

Tempat/Tanggal Lahir: Jakarta, 14 Desember 1988
Pendidikan:
– SMA Santa Ursula Jakarta (2007)
– Administrasi Bisnis – Ritsumeikan Asia Pacific University Jepang (2011)

Hermina Wulohering

HIDUP NO.03 2020, 19 Januari 2020

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini