Pastor Reynaldo Fulgentio Tardelly, SX : Semangat dan Setia Menghadapi Tantangan

248
Pastor Reynaldo Fulgentio Tardelly, SX.
[HIDUP/Yanuari Marwanto]

HIDUPKATOLIK.com – Meski terbilang muda, tarekat mengutusnya untuk meretas karya di daerah baru. Ia membantu anak-anak pengungsi untuk mendapatkan pendidikan yang layak.

Pastor Rey, demikian panggilan akrab Pastor Reynaldo Fulgentio Tardelly, SX, buru-buru menahan tangan saya. Niat untuk membalikan tubuh ikan bakar yang salah satu sisinya tak lagi berdaging dengan yang masih utuh, saya urungkan seketika. Apakah ada kesalahan yang saya lakukan? Apakah dia tak berkenan saya menyentuh lagi salah satu menu khas di Thailand ini? Pertanyaan itu menggelayut dalam batin saya.

Tampaknya Pastor Rey langsung memahami yang saya rasakan dan pikirkan. Ia langsung menjelaskan kepada saya bahwa orang-orang Thai tak pernah membalik ikan saat menyantap hewan bersisik dan berinsang itu. “Bukan hanya untuk menu seperti ini saja (ikan bakar dalam balutan garam), tapi juga untuk semua ikan,” ungkap imam Serikat Misionaris Saverian asal Indonesia yang kini berkarya di Thailand.

Mengenal budaya –termasuk kebiasaan sehari-sehari masyarakat– serta mampu berkomunikasi dalam bahasa setempat, menurut Pastor Rey, merupakan syarat imperatif agar bisa diterima oleh penduduk lokal. Namun, syarat itu saja belum cukup. Kehadiran di tengah umat serta masyarakat juga amat penting. Dari situ, para pelayan pastoral dapat mengetahui kebutuhan serta memikirkan cara kreatif untuk membawa dampak positif bagi mereka.

Merintis Karya
Kehadiran Serikat Misionaris Saverian di Thailand, secara khusus di Keuskupan Nakhon Sawan terbilang baru. Para Saverian menjejakan kaki di keuskupan tersebut tahun 2014. Kehadiran mereka atas undangan Uskup Nakhon Sawan, Mgr Joseph Pibul Visitnondachai.

Mgr Visitnondachai meminta Saverian untuk melayani umat di Paroki St Yoseph Pekerja, di Provinsi Tak. Jarak antara gereja paroki itu dengan Gereja Katedral St Anna Nakhon Sawan sekitar 400 kilo meter.

Pada awal mula kedatangan Saverian di sana baru ada sekitar 80 kepala keluarga. Jumlah tersebut meningkat hampir dua kali lipat tahun ini. Mayoritas umat di paroki itu berasal dari etnik Akha. Masyarakat menyebut suku ini sebagai Hill Tribes atau suku yang tinggal di pegunungan Thailand. Konon, suku ini sebenarnya bukan etnik asli yang berasal dari Thailand. Mereka adalah etnik yang berpindah tempat lantaran keberadaan mereka terancam.

Dua tahun di sana, komunitas Saverian mulai mengembangkan sayap pelayanan. Mereka mengutus Pastor Rey, yang baru menyelesaikan studi bahasa Thai di Bangkok, untuk merintis karya di Umphang. Kehadiran dan karya misi sama sekali belum menyentuh daerah itu.

Dulu, para imam Société des Missions Étrangères de Paris (MEP) yang berperan penting dalam karya penginjilan di Provinsi Tak, pernah berikhtiar untuk menyentuh Umphang. Akan tetapi, karena kekurangan personalia, tidak ada satu pun misionaris dari institusi religius asal Paris itu dapat bermisi di sana.

Umphang, beber Pastor Rey, merupakan distrik atau setingkat kabupaten yang berada di sebelah selatan Provinsi Tak. Daerah ini terletak di perbatasan antara Thailand dengan Myanmar. Bagian barat Umphang berbatasan langsung dengan Karen State, daerah yang secara de jure diklaim sebagai bagian dari Myanmar. Meskipun secara de facto daerah tersebut masih berada di bawah kontrol Gerakan Separatis Karen.

Umphang dikelilingi oleh hutan lindung dan suaka marga satwa. Daerah itu juga masih diklaim sebagai salah satu wilayah dengan akses tersulit di Thailand. Selama sekitar tiga dekade, Umphang telah menjadi rumah bagi pengungsi etnik Karen. Suku itu menghindari daerah konflik bersenjata antara Tentara Nasional Pembebasan Karen (Karen National Liberation Army/KNLA) dengan Tentara Nasional Myanmar.

Dari sembilan kamp pengungsi yang membentang sepanjang utara barat daya Thailand. Ada tiga kamp di Provinsi Tak, salah satu dari dari tiga kamp tersebut ada di daerah Umphang.

Menjadi Guru
Menjadi guru bahasa Inggris di beberapa sekolah negeri Thai di Umpang merupakan salah satu cara bagi Pastor Rey untuk berbaur dan berelasi dengan masyarakat Thai, secara khusus dengan etnik Karen. Profesi guru, ungkap Pastor Rey, amat dihormati di sana. Bahkan disejajarkan dengan pemimpin agama.

Keberadaan dan perhatian Pastor Rey terhadap masyarakat di sana berbuah positif. Masyarakat senantiasa mengikutsertakan sang imam dalam berbagai acara keluarga dan kebudayaan setempat. “Saya percaya, Kabar Gembira pertama-tama disambut manusia dengan cara yang unik bahkan misterius termasuk lewat kesaksian dan cara hidup kita yang bersahaja dan apa adanya. Kita, para murid bertugas untuk menanam, tapi Allah sendirilah yang memberi pertumbuhan,” ungkapnya.

Selain mengajar bahasa Inggris di sekolah-sekolah negeri, Pastor Rey juga mengorganisir program bahasa Inggris di beberapa sekolah lain. Dalam kegiatan tahunan itu, imam yang ditahbiskan pada 2013 ini, menggandeng ekspatriat Indonesia di Bangkok, orang Thai dan ekspatriat lain di sejumlah kota.

Sebuah kelas ekstra khusus bahasa Inggris disediakan untuk menyiapkan beberapa murid pilihan untuk mendapatkan beasiswa pendidikan dari berbagai lembaga pendidikan Katolik di kota-kota lain di Keuskupan Nakhon Sawan. Tiap akhir pekan, imam yang juga terampil berbahasa Prancis itu juga mengajarkan anakanak ermain alat musik. “Melaui kegiatan-kegiatan seperti ini, jaringan persahabatan makin dipererat dan saya terbantu lebih peka mempelajari kebutuhan umat,” ujar kelahiran Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur ini.

Pada awal 2019 lalu, Pastor Rey bersukacita. Ia menyambut tiga anak Karen dari kamp pengungsi yang ingin menempuh pendidikan di luar kamp. Karena belum ada asrama untuk menampung mereka, untuk sementara ketiga anak itu ia titipkan kepada satu keluarga Katolik. Pada tahun itu juga, ia mengirim empat anak penerima beasiswa untuk bersekolah di lembaga pendidikan Katolik di kota lain. “Semoga ketika berhasil nanti mereka dapat kembali membantu komunitas mereka,” harapnya.

Saat ini bersama komunitas Xaverian, Pastor Rey berencana untuk membangun asarama. Di rumah bersama itu, mereka akan berusaha memberikan pendampingan secara optimal kepada anak-anak.

Hidup Berkomunitas
Kondisi geografis medan karya Pastor Rey tak terlalu nyaman. Dari kota terdekat menuju tempatnya berkarya, harus melintasi jalan pegunungan nan terjal. Belum lagi, pengunjung harus sanggup menaklukkan sekitar 1219 tikungan. Tentu ini menjadi “siksaan” bagi mereka yang “mabuk” kendaraan.

Tak hanya itu, selama musim hujan, ada beberapa titik jalan yang rentan rusak. Kondisi seperti itu terjadi tiap tahun. Sebab, jalur tersebut menjadi “santapan” harian bagi kendaraan berbeban berat dari dan menuju perkebunan jagung serta karet. Peperangan juga merenggut berbagai infrastruktur dan moda transportasi di sana. Jangan heran, kalau ke sana, akan melihat banyak orang menggunakan traktor tangan yang telah dimodifikasi sebagai sarana transportasi sekaligus pengangkut beban.

Hingga kini, Pastor Rey dan umat di sana belum memiliki bangunan gereja atau kapela. Meski demikian, Perayaan Ekaristi mingguan, kegiatan rohani, dan sosial terus berdetak di daerah itu. Misa berlangsung di rumah-rumah umat secara bergantian. “Komunitas ini sangat bersemangat menghadapi tantangan. Mereka tetap setia menghadiri kegiatan dan perayaan-perayaan bersama. Hidup berkomunitas adalah bagian terpenting hidup mereka. Hal ini juga membantu saya untuk berkarya secara lebih baik bersama komunitas dan masyarakat seluruhnya,” pungkas Pastor Rey.

Yanuari Marwanto

HIDUP NO.52 2019, 29 Desember 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini