St. Protasius Chong Kuk-bo (1799 – 1839) : Kemartiran Sang Penjaga Gereja

272
Lukisan yang menggambarkan Santo Protasius Chong Kuk-bo di hadapan hakim di pengadilan.
[terangiman.com]

HIDUPKATOLIK.com – Ia setia menjadi penjaga di sebuah rumah yang menjadi persinggahan umat Katolik. Berkat kesetiaan ini, ia pun harus menyerahkan nyawanya.

“Harta terbesar tidak diukur dari apa yang ada di luar diri tetapi apa yang tampak dari dalam diri”. Pernyataan ini pantas menggambarkan sosok St. Protasius Chong Kuk-bo. Pria bersahaja ini lahir dari keluarga bangsawan kaya raya di Songdo, Kyonggi, Korea. Ayahnya Chang-Ming adalah seorang yang terpandang dan masih keturunan langsung dari Raja Chong penguasa di Kyonggi.

Saat Protasius menanjak remaja, kakeknya membuat suatu kesalahan besar. Kekuasaan keluarganya dialihkan kepada orang lain. Keluarga ini pun jatuh miskin. Mereka pun harus membiasakan diri hidup sebagai orang biasa. Ayah Protasius menyembunyikan kebangsawanannya dan pindah ke Seoul. Di tempat baru ini, ia bekerja sebagai buruh tali jerami, di pabrik milik pemerintah. Ia bekerja bersama Protosius yang kala itu sudah berusia 18 tahun.

Protasius adalah pribadi yang lembut dan rendah hati. Di tengah kemiskinan, Protasius tak pernah mengeluh. Kelahiran Songdo sekitar tahun 1799 ini melihat hidupnya sebagai berkat dari Tuhan. Kebangsawanan yang telah menjadi masa lalu, rela ia tingggalkan. Sebaliknya, ia hidup di dalam masyarakat dan membaur bersama buruh yang lain. Ia yakin satu hal, “Kekayaan sejatinya ada diri sendiri”.

Penjaga Gereja
Kekristenan sudah masuk ke Korea saat Protasius lahir. Namun, ajaran ini tak pernah menarik hatinya. Saat itu, pengaruh aliran kepercayaan tradisional Korea, masih mengikat kuat di dalam masyarakat dan keluarga Protasius. Aliran kepercayaan rakyat Korea ini menggabungkan berbagai kepercayaan dan praktik yang dipengaruhi ajaran Budha dan Taoisme.

Terlahir sebagai bangsawan, Protasius sering terlibat dalam gut atau upacara persembahan kepada dewa-dewi. Kakek dan nenek Protasius dari pihak ayah dikenal sebagai perantara antara dewa dan manusia. Keduanya berperan sebagai pemimpin ritual dalam agama lokal dengan membiarkan diri kerasukan roh-roh orang meninggal. Beberapa kali, Protasius pun terlibat dalam acara membimbing arwah yang sudah meninggal ke surga.

Praktik ini terus dijalankan Protasius hingga berusia 30 tahun. Di usia ini, sebuah peristiwa luar biasa terjadi dalam hidupnya. Dalam sebuah kesempatan, ia bertemu Pastor Yu Bang-je, misionaris dari Tiongkok. Ketika tiba di Songdo, Pastor Yu memperhatikan betapa banyak orang masih terkungkung dengan aliran tradisional itu. Mereka bersandar pada ajaran lisan nenek moyang.

Begitu tiba, Pastor Yu mulai memperkenalkan ajaran Kristen. Ia menjelaskan bahwa segala pergumulan tidak bisa sekadar disampaikan dalam bentuk doa kepada nenek moyang. Manusia adalah sosok yang lemah. Manusia butuh seseorang yang bisa menyelamatkan dari setiap persoalan. Pastor Yu menunjukkan, bahwa apa yang dibutuhkan masyarakat, dapat ditemukan dalam kekristenan.

Pastor Yu pun berjumpa dengan Protasius. Imam itu melihat kerendahan hati dan kesetiaan Protasius. Ia pun mempercayakan kepadanya sebuah rumah yang baru ia beli. Rumah itu adalah tempat peristirahatan bagi umat Katolik yang datang ke Seoul. Mereka datang dari berbagai daerah untuk menerima sakramen.

Beberapa tahun menjadi pengurus rumah itu, Protasius dibaptis. Ia bersama istrinya mengurus rumah itu dan melayani para tamu yang datang dari pedesaan. Dengan peran ini, seakan ia menjadi penjaga “Gereja”, kumpulan orang percaya yang saat itu sudah mulai banyak hidup di Seoul. Dari rumah sederhana ini, iman orang Kristen di Seoul makin berkembang.

Di rumah singgah sederhana itu, Protasius dan istrinya memberi contoh bagaimana menjalani kehidupan sebagai orang Kristen yang setia. Mereka adalah pasutri yang tak pernah meninggalkan iman dan melalaikan tugas harian sebagai pelayan, dan pendoa. Kehidupan ini kemudian dilirik keluarga-keluarga lain dan keduanya dianggap sebagai wujud keluarga Kudus Nazareth.

Sayang, kesetiaan ini tak sejalan dengan keberutungan yang mereka rasakan. Sepanjang kehidupan rumah tangga, mereka dikarunia 14 orang anak. Naas, semua anak ini meninggal satu per satu sejak masih bayi. Rasa kecewa sempat menyelimuti hati Protasius dan isteri tetapi mereka tak bisa berbuat banyak. Protasius menerima semua cobaan ini sebagai bentuk kehendak Allah dalam diri keluarga kecilnya. Protasius selalu membaca Kitab Suci dan sebisa mungkin menghadiri Misa yang dipimpin Pastor Yu. Protasius menyadari, hanya dengan cara ini, iman akan Kristus terus bertahan meski dalam kesulitan sekalipun.

Setia dalam Iman
Pada April 1839, pecah penganiayaan Kihae di Korea. Penganiayaan yang terjadi di masa Dinasti Joseon ini menyasar orang-orang Katolik di Negeri Gingseng itu. Mereka menangkap dan menyiksa setiap orang yang telah dibaptis, simpatisan Kristus, atau mereka yang dianggap “penyambung lidah” para misionaris.

Sedikitnya delapan ribu orang Katolik yang meninggal dalam penganiayaan Kihae itu. Dua di antara mereka adalah Protasius dan istrinya. Keduanya dijebloskan dalam penjara saat kedapatan melindungi orang-orang Katolik yang tigggal di rumah singgah. Di penjara, mereka disiksa. Protasius dan isteri tidak diberi makan dan dicambuk hingga mengalami berbagai luka. Kondisi fisik keduanya begitu lemah, diperparah oleh hukuman berat yang melemahkan hati mereka.

Tak kuat menahan siksaan ini, Protasius menyatakan, bahwa dia akan menyangkal imannya. Tak lama kemudian, ia dilepaskan dari penjara dan dipulangkan. Namun, ia merasa bersalah dan sangat menyesal. Dia marah pada dirinya sendiri atas kemurtadannya. Ia berpikir, tindakannya ini adalah sebuah pengkhianatan kepada Gereja yang selama ini merawatnya. Ia tidak dapat makan maupun tidur. Dia menghabiskan seluruh waktunya dalam penyesalan, tangisan, dan tobat.

Pada suatu hati, Protasius kembali ke pengadilan untuk mencabut pernyataan pernyataan kemurtadannya. Tindakan ini didorong juga oleh rekan-rekan Katoliknya. Di pengadilan ini, ia memutuskan untuk mengakui imannya. Ia memberitahu hakim, bahwa dia akan menarik kembali kemurtadannya. “Saya telah mengkhianati Gereja, tetapi sekarang saya bertobat. Saya harus menarik kembali penolakan saya terhadap Gereja sebagai kebenaran. Sebagai orang percaya yang setia di dalam Kristus dan Gereja, saya akan melakukan penebusan dosa saya,” ujar Protasius di pengadilan.

Tiga kali, Protasius berusaha menemui hakim, tetapi ia malah dikira sebagai orang gila. Meskupun penjaga tidak mengizinkannya bertemu hakim, Protasius tidak putus asa. Ia menunggu di luar pengadilan sampai hakim keluar menemuinya. Tanggal 12 Mei 1839, Protasius dengan tegas menarik kembali pernyataan kemurtadannya.

Protasius pun dijebloskan ke penjara lagi. Ia sempat dibawa kembali ke pengadilan. Di tempat itu, ia dipukuli berkali-kali sebagai hukuman karena kembali ke imannya. Para pengawal dengan kejam menyiksanya. Setelah itu, mereka meninggalkan dia dalam keadaan lemas dan hampir mati.

Karena melihat Protasius menderita, maka para penjaga mengembalikannya ke penjara. Ia pun meninggal beberapa jam kemudian pada 20 Mei 1839. Saat itu, ia berumur 41 tahun.

Protasius menjadi martir pertama sejak dikeluarkannya perintah penganiayaan umat Katolik di Korea. Pada saat kematiannya, dia mengilhami banyak orang untuk bertobat. Protatius dikanonisasi pada tanggal 6 Mei 1984 di Yoido Plaza, Seoul, oleh St. Yohanes Paulus II. “Meski awalnya lemah sebagai manusia, tetapi dirinya berhasil memenangkan pertandingan,” ujar Paus Yohanes Paulus II saat Misa beatifikasi Protasius bersama 103 martir Korea lainnya.

Yusti H. Wuarmanuk/Antonius E. Sugiyanto

HIDUP NO.51 2019, 22 Desember 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini