Suster Catarina

162

HIDUPKATOLIK.com – “Suster Catarina, ada seseorang yang ingin bertemu denganmu,” informasi itu mengherankan Suster Catarina, sebab ini kali pertama ada seseorang ingin menemuinya di biara itu. Ada perasaan gembira, beraduk dengan peraasaan ingin tahu yang tak beralasan. Ia bergegas pergi untuk menemui orang itu. Barangkali ada hal penting yang harus ia ketahui. Suster Catarina benar-benar merasa, bahwa hari itu adalah hari yang tak biasa baginya. Sampai pada akhirnya…

***

Biarawati itu tersentak. John, masa lalunya. Seorang laki-laki yang pernah ia biarkan tinggal di dalam hatinya dan menjadi bagian dari hidupnya. Suster Catarina mematung dan tak dapat berkata apa-apa. Waktu seolah-olah berhenti.

“Hai…,” kata pemuda itu ramah. Sapaan itu terdengar kuno tapi mampu sedikit mengusik kesunyian. Suster Catarina terbangun dari lamunannya. Pikirannya tak terkendali. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, sebab tatapan pria itu masih sama seperti dulu. Begitu nyaman dan menyejukkan.

“Eh..Hai…,” balas Suster Catarina. Suasana di ruangan itu benar-benar kaku. Tak ada yang berani berbicara lebih. Detak-detik jarum jam jauh lebih cerewet dibanding dialog mereka berdua.

“Ini minumannya. Silakan, Mas!” Suster Clara datang begitu saja menghidangkan dua gelas teh dan sepiring biskuit tanpa tahu apa yang sedang terjadi. Ia menyulap suasana itu menjadi lebih hidup sementara Suster Catarina akhirnya memutuskan untuk duduk di hadapan laki-laki itu.

“Terima kasih, Suster! Maaf jadi merepotkan.”

“Oh, tidak apa-apa. Saya sudah biasa dibuat repot oleh pria-pria tampan,” canda Suster Clara membuat pria itu merasa geli dan terpaksa memamerkan kedua lesung pipinya. Wajahnya menjadi cukup elegan dengan kedua hiasan itu.

“Kalau begitu saya tinggal dulu. Permisi!” kata Suster Clara dan suasana kembali kaku seperti sedia kala.

“Bagaimana kamu tahu aku di sini?” tanya Suster Catarina memulai perbincangan tanpa berani melihat wajah pemuda itu.

“Aku tahu lebih dari itu, tapi satu hal yang tidak kutahu sampai sekarang adalah alasan kepergianmu begitu saja tanpa memberitahuku kebenaran yang terjadi. Hanya itu yang tidak kuketahui.”

Laksana anak panah yang dilepas, hati Suster Catarina tertusuk begitu dalam. Kata-kata itu begitu tajam sampai-sampai biarawati itu ingin menitikkan air mata. Tapi ia harus kuat. Dia tidak boleh menangis.

“Maafkan aku, John. Aku hanya tidak ingin menyakiti perasaanmu waktu itu,” jawab Suster Catarina tidak yakin, sebab ia takut harus mengungkit masa lalu yang tidak bisa dipertanggungjawabkannya.

“Tapi kau telah menyakiti aku jauh dari apa yang tidak kau ingini,” kata pria itu pelan, penuh makna. Suster Catarina terdiam seribu bahasa. Ia tidak tahu harus mengatakan apa. Sulit baginya untuk menjelaskan. Ini perihal cinta yang terbagi. Satu sisi, ia ingin menjadi seorang biarawati sebab itu mimpinya sejak kecil, namun di sisi lain, ada seorang pemuda yang dicintainya dan mencintainya yang telah hadir dalam kehidupannya.

Akhirnya tembok pertahanannya roboh. Air mata suster Catarina meleleh di lekuk pipinya. John tidak sanggup melihat orang yang dicintainya menangis, apalagi karena dirinya.

“Aku tidak ingin melihatmu menangis. Aku hanya butuh jawaban darimu,” katanya dengan menawarkan sapu tangan putih dari saku kemejanya.

“Aku tidak punya jawaban untuk itu, maafkan aku.” Suster Catarina menerima sapu tangan itu sebab ia sadar bahwa tak boleh ada biarawati lain melihatnya menangis. “Baiklah, aku tidak mau memaksamu. Tapi aku mau tanya satu hal,” John mencoba menarik nafas panjang.

“Masihkah kau mencintaiku, Caroline?” sambungnya.

Caroline. Sudah lama sekali tidak ada yang menyebut nama itu. Sejujurnya, Suster Catarina sangat merindukan nama itu. Nama yang tersemai bersama hidupnya selama 20 tahun sampai saat ia memutuskan untuk berjalan dalam kehidupan yang baru dan harus meninggalkan segalanya, termasuk nama itu dan John, pria yang ia cintai.

Suster Catarina mengangguk sebagai isyarat jawaban yang memberi harapan pada John.

“Tetapi cinta tidak harus memiliki,” sambungnya.

“Apa maksudmu dengaN cinta tidak harus memiliki?” tanya John heran, sebab pernyataan itu tidak masuk akal baginya. Tidak sesuai dengan apa yang ia pahami selama ini.

Suster Catarina menarik nafas panjang. Ia mengumpulkan kekuatan dalam dirinya. Ia ingin pria itu mengerti tanpa harus menyakiti perasaannya. Ia mulai bisa mengendalikan pikirannya.

“John, aku ingin kau tahu sesuatu. Sejak kecil aku sangat mendambakan hidup sebagai seorang biarawati. Aku selalu memikirkan cara hidup itu. Sampai aku bertemu denganmu, aku mulai dilema. Tuhan menghadapkan aku pada dua pilihan yang sulit, namun aku harus membuat keputusan dan inilah hasilnya. Maaf, aku tidak memberitahumu sebelumnya. Aku tidak ingin melukaimu. Aku berpikir, kepergianku akan memudahkanmu untuk mencari kehidupanmu yang baru seperti yang kulakukan,” jelas Suster Catarina. Ia menjadi lebih ringan setelah menjelaskan itu semua.

Mendengar semua itu, John terpaku. Ia tidak dapat menyalahkan biarawati itu lagi. Tapi dia juga tidak bisa terima kenyataan itu. Begitu pahit baginya.

“Kau tahu, sampai saat ini, tidak ada seorang pun yang menggantikan dirimu dalam hatiku,” kata pria itu. Ia tidak sadar bahwa seseorang di hadapannya bukanlah gadis yang dahulu ia kenal. Dia bukan lagi Caroline, tapi Suster Catarina.

“John, apakah kau juga masih mencintaiku?” tanya biarawati itu. Ia sudah mengendalikan segalanya sekarang.

“Tentu, aku masih sangat mencintaimu. Itu sebabnya aku mencarimu.”

“Kau tahu, cinta tidak pernah menghalangi seseorang untuk hidup bersama mimpinya. Kalau cinta berbuat demikian, itu bukan cinta sejati. Aku bahagia di sini. Aku bahagia bersama kehidupanku sekarang dan aku sudah terbiasa dengannya. Kalau kau mencintaiku, kumohon izinkan aku bahagia bersama hidupku,” tak sadar, kedua tangan Suster Catarina mengenggam tangan laki-laki itu. Ia ingin memberi kekuatan kepada John, sebab ia tahu bahwa kata-kata itu pasti menyakiti perasaannya. John melihat tangan lembut biarawati itu dan ia sadar bahwa apa yang dikatakan Suster Catarina itu benar. Seharusnya ia tidak datang ke tempat ini. Seharusnya ia tahu bahwa ia hanyalah masa lalu yang telah dikubur jauh ke dalam perut bumi dan tak akan pernah terungkit.

John menarik nafas panjang lagi. Ia mencoba untuk kuat walau hal itu sulit untuk dilakukan.

“Baiklah. Aku mengerti sekarang. Itu pilihanmu dan aku tidak bisa memaksamu. Terima kasih, Caroline, pernah menjadi pengisi hari-hari hidupku dulu. Aku senang bisa mengenal wanita sepertimu walau berakhir pada sesuatu hal yang tak pernah kuduga. Sekarang aku tidak akan pernah datang dan menganggu kebahagiaanmu lagi. Tapi kumohon jangan melupakan aku. Biarlah aku menjadi masa lalu yang memberi bekas yang indah dalam hatimu,” kata John. Ia mencoba untuk menerima semua yang terjadi.

“Terima kasih juga, John, kau mau mengerti aku. Aku janji tidak akan melupakanmu, sebab kau satu-satunya adam yang pernah memasuki hatiku. Kau yang pertama dan yang terakhir, ” balas Suster Catarina.

John mengukir senyum lagi. Ia bahagia mendengar kata-kata terakhir dari Suster Catarina. Ia merasa jauh lebih baik sekarang.

“Mungkin aku harus pergi. Selamat tinggal, Suster Caroline. Doakan aku agar mampu bahagia dengan kehidupanku nanti.”

“Pasti. Aku akan selalu membawamu dalam doaku,” balas Suster Catarina.

***

“Selamat untuk pernikahanmu, John,” Suster Catarina memberi sebuah bingkisan kecil dan menjabat tangan besar laki-laki itu. Ia bahagia melihat pria yang pernah dicintainya itu telah memiliki kehidupan lain yang mungkin jauh lebih baik. Kehidupan yang pasti didasarkan pada cinta sejati.

“Terima kasih Car…Eh..Suster Catarina. Terima kasih untuk doamu.”

Mereka berdua sama-sama tersenyum. John memperkenalkan wanita yang berhasil menggantikan posisi Suster Catarina di hatinya. Biarawati itu berpikir bahwa ia adalah wanita yang baik. John pasti bahagia bersamanya.

“Cinta benar-benar tak terduga. Kata orang cinta itu kadang menyakitkan, tapi aku rasa mereka salah. Cinta tidak pernah menyakiti. Cinta adalah sebuah rasa yang membahagiakan meski tak seorangpun tahu bagaimana caranya cinta bekerja. Seperti cintaku pada Pemilik Hidupku. Sangat menggairahkan. Itulah hakekat cinta sejati,” pikir biarawati itu dalam hati. Ia bersyukur sekali pada kekasihnya sekarang, Sang Tersalib, sebab ia telah menemukan sebuah pengertian tentang cinta sejati.

Frater Nicodemus Sihaloho

HIDUP NO.49 2019, 8 Desember 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini