HIDUPKATOLIK.com – AKAR dari perilaku korupsi disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adanya warisan dari sistem pemerintahan sebelum kolonialisme; sistem patronase (yang menentukan norma dan nilai yang berorientasi masyarakat); dikendalikan oleh eksternalitas (perilaku dipengaruhi oleh apa yang ada di eksternalitas); dan kelakuan sang patron dan masyarakat yang tidak bisa membedakan kepentingan privat dan publik. Demikian penegasan Sarwono Kusumaatmadja saat menyampaikan materi dalam Pertemuan Nasional (Pernas) Forum Masyarakat Katolik Indonesia (FMKI) ke X yang digelar di Hotel Bintang Rayam Cipanas, Jawa Barat, Sabtu, 26/11.
“Akar dari korupsi adalah akar dari sistem patronase yang sudah ada sebelumnya. Patronase itu bisa melekat pada tokoh, pemimpin atau pemerintah yang kadang ikut menentukan nilai dan orientasi masyarakat dalam budaya korupsi. Orang Indonesia sendiri terbiasa dengan prinsip eksternalitas, yakni berperilaku, berpikir, dan berbuat sesuai khasanah nilai dalam masyarakat. Selain itu, korupsi di Indonesia menjadi subur, karena umumnya orang Indonesia tidak bisa membedakan mana ranah privat dan ranah publik, sehingga ketika hendak dikontrol sangat susah sekali,†ungkap Lulusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung (ITB), kelahiran Jakarta, 24 Juli 1943 ini.
Hari itu, Sarwono tidak sendirian menjadi pembicara dalam seminar yang mengangkat tema “Memperkuat Habitus Anti Korupsi Bagi Keberlanjutan dan Kemajuan Peradaban Bangsa Indonesia†ini. Ia bersama dengan sosiolog dan guru besar Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia, Paulus Wirutomo menjadi narasumber.
Ketika Sarwono ditanya tentang praktik korupsi yang dilakukan oleh para pejabat daerah yang berlindung dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 mengenai administrasi pemerintahan, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan 1999-2001 ini menyatakan bahwa dua hal yang menjadi masalah adalah masa kritis dan aturan tentang pemberantasan korupsi yang masih lemah dan ambivalen. Namun soal diskresi yang dimiliki oleh para pejabat di daerah, lanjut Sarwono, sejauh untuk kepentingan dan kemajuan daerah tidak menjadi persoalan. “Saya melihat diskresi tidak dalam arti sebagai penyalahgunaan wewenang, namun menjamin akuntabilitas badan atau pejabat pemerintahan, memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada warga masyarakat. Itu tidak menjadi masalah,†ujarnya.
Hal senada juga diungkapkan Paulus Wirutomo, menurutnya perilaku korupsi bisa membawa masyarakat pada sebuah respon yang memunculkan daya kritis dan juga melahirkan sikap pesimis dalam upaya pemberantasannya. “Di satu sisi, kita tergoda untuk membongkar seluruh elemen kekuasaan yang mendukung terjadinya korupsi, di sisi lain kita pesimis bahwa itu hanya tercapai bila memiliki power untuk itu. Namun, kita tidak boleh putus asa. Tidak ada jalan yang tak berujung,†katanya.
Lebih lanjut, pria kelahiran Solo, Jawa Tengah, 29 Mei 1949 ini mengatakan bahwa ada tiga elemen penting yang harus digunakan sebagai dasar pemberantasan korupsi. Tiga elemen itu adalah elemen struktural, kultural dan prosesual. Struktural berhubungan dengan sistem patronase sehingga ada unsur paksaan dari luar yang memiliki kekuatan untuk mendorong masyarakat berbuat sesuatu dalam konteks korupsi. Sedangkan elemen kultural merujuk pada sistem yang memaksa dari dalam yang dipengaruhi oleh budaya masyarakat. “Pola perilaku yang berulang-ulang terjadi, lama-lama menjadi budaya dan kemudian mengakar sehingga susah diberantas. Sedangkan elemen dasar ketiganya, adalah prosesual yakni proses sosial dalam bentuk dinamika interaksi, dialog dan negosiasi,†jelasnya.
Dalam wawancara lanjutan dengan Paulus Wirutomo terkait dengan Indonesia yang tingkat korupsinya dari tahun ke tahun semakin bertambah dan saran kepada FMKI untuk meminimalisir perilaku koruptif, ia menegaskan bahwa struktur, kultur, dan proses tidak bisa berjalan sendiri-sendiri melainkan harus berkesinambungan untuk pemberantasan korupsi. “Sedangkan kekuasaan yang dilembagakan secara resmi maupun tidak bersifat: mengatur, memaksa, memampukan, menghalangi, membatasi. Resmi: perintah Allah, hukum gereja, peraturan keuskupan, paroki, wilayah, anggaran gereja, liturgi. Tidak resmi: jumlah umat, elit/ tokoh gereja, infrastruktur gereja. Kita semua dicetak oleh struktur. Struktur yang baik, kita pun menjadi baik, oleh sebab itu kita harus menjadi orang Katolik yang baik yang berlandaskan kasih,†pesan lulusan S3 Sosiologi Pendidikan dari State University of New York at Albany, USA ini.
Darius Lekalawo