Melangkah Bersama Mengarungi Zaman

142
Peresmian Gua Maria di kompleks Pertapaan Karmel Ngadireso, Tumpang, Malang Jawa Timur, 7/12.
[HIDUP/Felicia Permata Hanggu]

HIDUPKATOLIK.com – Hampir setahun Keuskupan Bogor mengadakan Sinode II di tingkat paroki, dekanat, dan puncaknya tingkat keuskupan. Penutupan itu menghasilkan satu suara untuk bersama melangkah menghadapi tantangan zaman.

Seluruh ruangan senyap seketika saat mendengar suara lirih dari sosok berambut putih yang mengenakan topi solideo ungu. Wajah pria itu nampak letih, namun demikian tidak bisa menyembunyikan sukacita yang terpancar dari hatinya. Ketika ia mencoba mengangkat suara, pita suaranya kembali bergetar. Lidahnya terasa kelu. Sepintas ia hanya bisa memberikan tatapan penuh arti kepada semua orang yang berada di dalam ruangan itu.

Melihat hal itu, sontak para peserta menghalau kesunyian dengan memberikan tepuk tangan paling meriah. Suara gemetarnya itu pun menjadi penanda bahwa tokoh nomor satu di Keuskupan Bogor itu sedang menahan haru di dalam sanubari. “Saya merasa…,” lanjutnya lirih. Kembali ia berhenti sejenak. Terlihat Uskup Bogor, Mgr Paskalis Bruno Syukur,OFM menitikan air mata.

Gereja Muda
Selang beberapa waktu masih dengan suara gemetar, perlahan ia melanjutkan kembali pidatonya. Uskup kelahiran 17 Mei 1962 itu menyampaikan kesannya, “Saya merasa bahwa sinode ini adalah perjuangan kita bersama untuk menaati kehendak Tuhan dan sebagai bentuk kesetiaan kita kepada Gereja, khususnya yang saya hayati ialah kesetiaan kita pada konsili Vatikan II.” Mgr Paskalis melihat Konsili Vatikan II sebagai ajakan kepada semua orang untuk memandang dirinya sebagai umat Allah. Artinya, kita sebagai orang yang bersekutu dan bersaudara satu sama lain hanya terjadi karena Allah sendiri yang mempertemukan. Untuk itu, libatkanlah sebanyak mungkin orang untuk melangkah bersama dalam gerak pastoral menuju Gereja yang sinodal (memiliki semangat berjalan bersama). “Bukan zamannya lagi untuk bekerja sendiri-sendiri!,” ungkap uskup Fransiskan ini kembali tegas.

Ia meyakini semakin banyak orang yang terlibat, semakin nyata karya Allah di dalam Gereja. “Saya percaya bahwa Allah berkarya dalam diri setiap orang. Maka banyak sekali orang baik di Bogor ini, anda sekalian adalah orang baik,” lanjutnya sambil melemparkan senyum hangat kepada khalayak disambut tepuk tangan. Mengutip dari Surat Apostolik Paus Fransiskus untuk Orang Muda dan seluruh umat beriman “Christus Vivit”, Mgr. Paskalis menekankan bahwa Keuskupan Bogor harus menjadi Gereja yang muda. Kita memohon kepada Tuhan supaya menegaskan kepada kita untuk menjauhkan dari orang-orang yang ingin membuat Gereja menjadi tua, melekatkannya pada masa lampau, menghentikannya dan membuatnya tidak bergerak. Kritiknya pun dilemparkan, “Orang-orang yang mau bertahan di Gereja tanpa mau mengestafetkan tongkat kepemimpinan dan mencetak kader pemimpin baru, itu adalah orang yang membuat Gereja menjadi tua,” ujarnya.

Pemilik moto “Magnificat Anima Mea Dominum” ini pun mengajak seluruh umat yang menjadi perwakilan puncak Sinode II tingkat Keuskupan Bogor di Kinasih Resort and Conference 5-7/12, ini untuk kembali kepada semangat asali yang dimotori oleh Roh Kudus. Gereja harus kembali kepada jati dirinya. Identitas Keuskupan Bogor pun diterjemahkan dalam tema Sinode II Keuskupan Bogor yakni “Sukacita sebagai
Communio yang Injili, Peduli, Cinta Alam dan Misioner”.

Untuk kembali kepada jati diri sejati Gereja, Mgr. Paskalis mengajak umat seperti anjuran Paus Fransiskus untuk memperoleh kekuatan dan menjadi selalu baru dengan menimba kekuatan dari Sabda Tuhan dan Ekaristi. Keduanya menghadirkan Kristus dan kekuatan Roh Kudus setiap hari. Doa juga menjadi elemen penting dari kehidupan menggereja. Tanpa berdoa orang bisa “memanfaatkan” Gereja sebab ia telah kehilangan semangat asali murid Kristus yakni membangun persaudaran di mana saja dan kepada siapa saja. “Gereja menjadi muda ketika ia terus menerus dapat kembali kepada sumbernya. Maka kita harus memiliki semangat siap diutus kemana saja,” ungkapnya.

Membaca Tanda Zaman
Perjalanan sinode yang dimulai sejak 22 Februari 2019 di Paroki St. Johanes Baptista, Parung lalu berproses dalam tingkat paroki, dekanat dan akhirnya keuskupan telah membawa umat Keuskupan Bogor dalam semangat kebersamaan untuk menemukan kembali identitasnya sebagai umat Katolik Indonesia. Oleh sebab itu, pada acara puncak, panitia Sinode II Keuskupan Bogor mengundang Guru Besar Emeritus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Romo Franz Magnis-Suseno, SJ sebagai pemateri untuk memberikan gambaran tantangan zaman yang akan dihadapi umat Katolik, khususnya di Keuskupan Bogor.

Romo Magnis mencatat dengan tantangan sekularisme dari negara Barat dan berkembangnya industri teknologi 4.0 kebutuhan akan spiritualitas rohani akan semakin bertambah, bertumbuh, dan mendalam. Kelahiran Jerman ini menegaskan bahwa setiap umat beriman harus membuka diri pada panggilan Tuhan sebab setiap orang mempunyai peran penting.

Mengikuti arah pandang Paus Fransiskus, ia pun menyarankan agar Keuskupan Bogor, pertama, mewujudkan Kerahiman Allah dengan menyebarkan kebaikan melalui gelora kerendahan hati di mana ada niat kuat untuk memperkuat yang baik di dalam hati orang lain. Kedua, Gereja harus selalu bersama dengan orang miskin. Untuk itu, Gereja perlu menampilkan wajah sederhana yang tidak membuat orang lain merasa terkucilkan dan terpinggirkan di mana semua orang merasa punya tempat di dalamnya. Gereja tidak boleh terasing dari lingkunganya, tetapi dengan tulus membaur dengan masyarakat. Ketiga, Gereja bertanggung jawab atas rumah kita bersama-bumi. Bahkan, orang Katolik terutama umat Keuskupan Bogor yang memiliki kepedulian tinggi terhadap alam harus berada di baris depan sebagai pembela lingkungan hidup. Keempat, Gereja harus seperti rumah sakit di medan pertempuran. Gereja harus mau bergumul dengan orang miskin dan ikut menjadi bopeng. Hal ini bisa diungkapkan dengan gaya hidup yang mencerminkan kesederhanaan jiwa. Tidak takut “kotor” bersama mereka yang membutuhkan dan berani untuk dekat dengan manusia.

Romo yang sudah banyak melahirkan karya tulis itu pun meminta umat Keuskupan Bogor untuk berefleksi kembali mengapa Yesus bisa diterima di Indonesia. Jawabannya tidak lain karena Gereja mampu menampilkan wajah Kristus yang penuh kasih. Untuk itu dalam kaitannya dengan relasi umat mayoritas di mana area Jawa Barat masuk dalam kategori provinsi yang paling banyak menghadapi sikap intoleransi, penghayatan Pancasila sebagai konsensus bangsa menjadi penting. Pengamalan ini dapat disampaikan oleh umat Keuskupan Bogor dengan rajin membangun komunikasi bersama umat Islam, bersilahturahmi bersama, terjun dalam pelayanan negara, dan terutama peka terhadap perasaan mayoritas. “Gereja masa depan itu memancarkan Kerahiman Allah yang tidak bisa di padamkan oleh rasa kebencian. Saya optimis kita akan keluar dari krisis dan jangan takut untuk dekat dengan umat muslim,” tandasnya memberi semangat.

Felicia Permata Hanggu (Bogor)

HIDUP NO.50 2019, 15 Desember 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini