Pulang

181
[Gustin]

HIDUPKATOLIK.com – Barulah ketika bola berpijar itu kian merosot ke ujung cakrawala, Pak Tua bangkit dari tempat duduk yang satu mencari tempat duduk yang lain. Sekadar menjauh dari kerumunan manusia yang saling sikut, berebut masuk gerbong. Ini hari keenamnya menanti kemesraan baru di stasiun.

Sebelum duduk kembali di pangkuan besi berkarat ala peron stasiun, diambilnya botol air dari saku celananya yang gombor nan garing. Kemudian terjun ke rel, menghantam batu koral, menyelinap masuk ke gorong-gorong di bawah peron untuk menciduk langsung air comberan yang akan mengisi botol airnya hingga penuh. Dalam lompatan ketiga, kaki kanannya akan langsung menyantel di tepi peron, menopang badan mungilnya untuk kembali naik ke atas peron.

“Anda harus pergi! Ini tempat duduk saya!” Bentak Pak Tua itu pada seorang ibu hamil. Memang ibu itu pergi begitu saja tanpa berbalas cibiran atau secuil senyuman sinis, tapi Pak Tua justru mendapati kenyataan kalau kameranya sudah hancur berkeping-keping di dalam tas selempangnya yang tak kuasa menahan beban seorang ibu yang hamil tua. Ia sendiri bingung mengapa tas selempangnya ditinggal begitu saja ketika ia mengambil sebotol air comberan. Keningnya mengkerut, bola matanya layu, badannya mengucurkan bau amis dan kakinya langsung gigil tertampar angin sore. Untunglah beberapa potret telah ia cetak dan simpan dalam saku bajunya.

Angin malam pun datang sambut menyambut setelah keberangkatan kereta arah timur. Peron di seberang Pak Tua itu mendadak sepi menyisakan kentalnya debu bagai badai pasir di Jazirah Arab. Nyatanya semua manusia habis dilahap oleh si kereta. Dan roda-roda baja itu kemudian menggelinding makin jauh ke arah timur, menyisakan ekornya saja yang masih terlihat, hingga benar-benar sudah hilang dari pandangan Pak Tua.

Ditemani redupnya lampu peron ia bergumam “Semoga ini malam terakhirku, atau barangkali mungkin masih ada kereta terakhir untukku. Sekarang, aku masih menanti keajaiban belaka”.

***

Dewi masih terkatung-katung dalam penantiannya. Apalagi setelah kekuasaan yang pernah dibangun bersama suaminya di pusat Kota Al-Qoda rata bersama pasir dan debu, ia dan tiga anak kandungnya terpaksa meminta belas kasih pada pihak musuh. “Saya janda. Anak tiga. Suami pun entah ke mana.” Butuh keberanian berbicara seperti itu untuk bisa selamat. Dengan banyak pertimbangan kemanusiaan akhirnya Komandan Militer memerintahkan prajuritnya memboyong mereka sekeluarga beserta dengan para janda lain yang bernasib serupa. “Bawa mereka semua. Urusan jadi budak atau gelandangan kota, kita siasati nanti”.

“Sur, anakmu kelaparan! Kita sudah tidak punya stok makanan”. Kata Nur Artika seraya mengguncang tubuh Janda tiga anak itu agar bangun dari lamunannya yang kosong. Mendengar apa yang dikatakan temannya, ia kemudian mengambil sebilah belati dari dalam ranselnya, lalu merobek gamis hitamnya tepat di bagian pinggang. “Apa yang kau lakukan! Kita tidak sedang bermain-main,” kata Artika yang resah melihat tingkah temanya itu. Tanpa peduli, Dewi lanjut menyayat perutnya sendiri. Kelak mengucurlah darah kental yang langsung ia tampung dengan sebuah baskom kecil. Sampai darahnya tak mengucur lagi, barulah ia membalut luka di perutnya itu dengan kain kucel seadanya. Kengerian itu menyambut hadirnya malam yang pasti gelap dan tak menentu baginya.

Syukurlah, anak-anak yang tadinya meringis kelaparan seketika diam setelah Dewi selesai memberikan darah segar sebagai pengganti makan malam anaknya terkasih. Bahkan mereka sekarang bisa tidur dengan pulas seperti sesuatu pun tak terjadi apa-apa. Dewi pun merasa tak ada sesuatu yang terjadi. Ia hanya sedang mencoba tidur dalam kepedihan yang amat menyiksa. Walau itu semua sia-sia belaka, tapi setidaknya anaknya tidak mati kedinginan.

Perjalanan yang menyiksa dalam truk tronton itu akhirnya kandas, seusai tiba di Al-Wahl, 350 kilometer barat daya Kota Al-Qoda. Semua janda, entah yang punya anak atau tidak saling menatap ketakutan di dalam tronton beratapkan terpal tipis yang sudah roboh sejak subuh karena badai pasir tadi malam. Mereka sama-sama memasang telinganya baik-baik, mencoba mendengarkan semua perbincangan para Komandan Intelejen. Dewi justru memilih bungkam dan acuh tak acuh dengan segala ketidakmengertian ini. Matanya teramat lembut menatap sendu ketiga anaknya yang masih pulas. “Yang lebih kutakutkan adalah mereka bertiga. Urusan jadi apa aku nanti, entah itu budak atau pelacur atau hanya jadi seonggok daging tak bernyawa, pasti lebih baik ketimbang membiarkan darah dagingku yang masih mungil-mungil ini mati.” Bisiknya pada Artika yang masih resah. “Tapi aku tak punya anak?” “Terpujilah engkau yang mau mengadopsi mereka yang tak punya orang tua”.

Kematian anak bungsunya memaksa Dewi harus lebih ekstra hati-hati. Sebab iklim di gurun itu sangat ganas dan tak menentu. Tak kuasa menahan kesedihan ketika jasad anaknya hanya ditimbun gundukan pasir panas betaburkan jerami kering, ia berusaha membayangkan bisa menguburkan jasad anaknya itu di kebun kopi belakang rumahnya dulu. “Aku punya rumah di pegunungan Serambi Mekah. Di sana tanahnya subur, hasil kopinya pun banyak diminati dan dicari banyak orang. Kami menyebutnya kopi Gayo”. “Tapi kau harus mengakui bahwa semua itu tinggal bayangan tak pasti, Sur!”. Kata Artika. “Mengapa begitu. Aku yakin itu kenyataan yang masih mengakar di kepalaku”. “Sur, barangkali kau harus perlahan melupakan segala gagasan tentang Tanah Airmu itu”. Kata Artika lagi. “Tapi bagiku tidak untuk sekarang dan selama-lamanya”. Kata Dewi sambil menengadah ke langit merah nan megah.

***
Hampir tiap malam Ale akan terjaga, berharap ada remang bulang yang menembus ventilasi penjara, dan menyelimutinya dari segala kerisauan mimpi dalam tidurnya. Sungguh, gelora berperangnya, sebagaimana ia dulu paling sering ditempatkan di barisan depan dalam setiap pertempuran, berangsur-angsur ciut bak dedaunan lapuk. Untung beberapa cetakan foto pemberian istrinya masih menemani masa-masa ketidakpastian hidupnya di penjara. Satu foto bersama istrinya di pelaminan dan satu foto bersama istrinya yang sedang hamil dan dua anaknya yang masih mungil-mungil.

Sejak perantauanya di Al-Qoda, memenjarakan banyak orang tak bersalah dan mencecoki ajaran “Halal membunuh mereka yang tak selaras” sudah menjadi napas hidupnya kala itu. Di lengan kirinya juga membekas puluhan sayatan belati sebagai tanda berapa banyak ia telah memenggal kepala manusia yang mencoba menentang ajaran dan ajakannya. Seolah membunuh manusia tak lebih mengerikan dari membunuh tikus got atau membasmi hama padi. Semuanya pernah ia lakukan tanpa beban hati.

“Kalian ingin mati sekarang atau nanti saja?” kata Komandan Sekkhim, Presiden Penjara Derik, ketika menyambangin sel-sel para tawanan kombatan Al-Qoda. “Jika kau membunuh kami, tetaplah kami yang menang. Kami membunuh ribuan orang!” Saut seorang dari balik jeruji paling pojok. Tampaknya ia sudah gila dalam kekejian. “Dasar iblis pendosa!” Kata Komandan Sekhim sembari melanjutkan langkahnya. “Pak! Biarlah saya mati di negri sendiri.” Seru Ale kala Komandan itu tepat berada di hadapannya. “Rupanya kau masih punya perasaan. Lalu, kau ingin aku berbelas kasih padamu dengan membebaskanmu tanpa syarat? Ha-ha-ha, kuhargai mimpimu itu”.

Hidup di penjara memaksa Ale jadi sang pemimpi. Ia suka menceritakan mimpinya yang hanya itu-itu saja kepada teman-temannya di sepenjara. Seolah penyair, ia berkisah kalau dirinya nanti akan bertemu dengan keluarganya di sebuah stasiun, untuk berpelukan dan kemudian pulang ke kampung lamanya di pucuk bukit kopi Gayo. Mendengar kegilaan itu, semua justru asik menertawakan Ale. “Ceritamu aneh. Itu berarti kau gila. orang gila layak mati!” kata seorang yang mulai kesal dengan kelakuan Ale. “Kalau aku gila mana munkin aku bisa bermimpi”.

***
Laron, lalat, hingga tokek sekalipun bisa jadi makanannya tiap kali ia merasa lapar. Ia juga tak ragu untuk mandi dan minum dari air got di bawah peron, tidur dan berak di sudut peron paling timur, hingga menggaruki kaki dan tangannya yang mulai berkudis dan timbul nanah.

Keanehan baru muncul di hari ketujuhnya. Tiba-tiba ia terbangun pukul empat pagi kala embun siap beranjak. Ia melihat dirinya sudah seperti ulama bersahaja yang lengkap dengan kemeja dan sorbannya yang berkilau. Sembari duduk dilihatnya ada dua foto di tangannya. Masing-masing berada di tangan kiri dan kanannnya yang disandarkan pada kedua lututnya. Di situlah ia langsung menangis sejadi-jadinya, berharap bisa melihat kereta yang melintas dengan membawa pulang istri dan ketiga anaknya.

Sontak Ale terjaga dari tidurnya. Matanya merah dan keburu menggigil ketakutan melihat akhir mimpinya yang hanya menangis sejadi-jadinya.

Beda Holy Septianno

HIDUP NO.37 2019, 15 September 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini