Jangan Mendiamkan Kejahatan

394
Uskup Keuskupan Kalookan Filipina, Mgr Pablo Virgilio S. David (kedua dari kanan) sedang mendengarkan pertanyaan dari salah seorang peserta ‘Asian Youth Academy’ (AYA) and Asian Theology Forum (ATF), 1-10 Agustus 2019 di The CLUMP Foundation, Chom Thong, Chiang Mai, Thailand.
[Dok.Pribadi]

HIDUPKATOLIK.com – Diam atas ketidakadilan, diam saat kebenaran tidak disuarakan dan membiarkan yang buruk tetap ada, bukanlah sesuatu yang benar untuk dilakukan.

Sebanyak 80 orang muda dari 12 negara di Asia bersama sejumlah aktivis, pastor, teolog dan organisasi ‘We Are the Church International’ berpartisipasi dalam ‘Asian Youth Academy’ (AYA) and Asian Theology Forum (ATF), 1-10 Agustus 2019 di The CLUMP Foundation, Chom Thong, Chiang Mai, Thailand.

Kegiatan tersebut diselenggarakan oleh ‘The Asian Lay Leaders (ALL) FORUM’, sebuah organisasi pan-Asia yang bertujuan untuk memberdayakan para pemimpin dan orang muda awam Katolik, bekerjasama dengan ‘Training Center for Religio-Cultural Community’ (RTRC).

Program bertema “Kebijakan Tradisi Budaya dan Agama di Asia Menanggapi Krisis Ekologi dan Keamanan Manusia” secara khusus mengundang Uskup Keuskupan Kalookan Filipina, Mgr Pablo Virgilio S. David. Ia menjadi pembicara dan memberikan perspektifnya terkait keadaan budaya diam atas pembunuhan di luar pengadilan dan kekerasan seksual yang belum banyak diketahui orang.

“Budaya diam tidak selalu baik. Saat Gereja memperlihatkan bahwa diam umumnya diartikan positif seperti kebanyakan tulisan di Alkitab, dalam beberapa contoh diam bisa diartikan negatif. Diam atas ketidakadilan, diam saat kebenaran tidak disuarakan dan membiarkan yang buruk tetap ada, bukanlah sesuatu yang benar untuk dilakukan,” ujar uskup berusia 60 tahun ini.

Uskup David mengatakan, ada banyak alasan orang tidak memperjuangkan keadilan dan menyuarakan kebenaran. Mulai dari anggapan tidak ada urusan dengan hal tersebut, tidak mau ikut campur karena tidak mau menambah masalah, sampai dengan alasan takut akan konsekuensi yang akan diterima. Dalam pemaparannya, ia mendorong kaum muda untuk menghentikan budaya diam dari ketidakadilan.

“Kepada mereka yang bertanya kepada saya apakah saya takut akan hal-hal buruk apa yang mungkin dilakukan Duterte, saya menjawab, ‘Duterte dapat membunuh seorang utusan, tetapi tidak untuk pesan yang dibawanya,” tuturMgr David. Ia menambahkan, jika kita dianiaya karena telah keluar dari budaya diam dan membuka mata orang lain terhadap ‘pembunuhan di luar pengadilan’, ingatlah bahwa setidaknya itu jauh lebih baik daripada dihina oleh Gereja karena mempromosikan budaya diam untuk pelecehan seksual.

Ia mengkritisi sikap Presiden Duterte yang rutin menggunakan isu kekerasan seksual yang dilakukan Gereja untuk mengalihkan isu tentang pembunuhan di luar pengadilan dalam usaha melawan narkoba. Hal tersebut berhasil untuk menghentikan usaha perlawanan banyak uskup dan imam, karena apa yang diberitakan tentang kasus kekerasan seksual tersebut sebagian benar.

Salah seorang uskup di Filipina Selatan, menurut cerita Mgr David, mengaku menyesal karena diam meski mengetahui aksi pembunuhan di luar pengadilan yang terjadi di daerahnya. Itu dilakukannya untuk menjaga agar wali kota tempat ia berkarya tidak menyerang para pastornya, atas tuduhan pelecehan seksual yang disiarkan lewat radio.

Mgr David menyampaikan pesan, bahwa topik yang membicarakan tentang mendiamkan pembunuhan di luar pengadilan dan kekerasan seksual adalah sesuatu yang negatif dan harus dipatahkan. Namun ini bukan berarti umat Katolik tidak boleh melakukan dan membudayakan diam dalam arti positif, di mana sebagai seorang Asia, diam dalam keheningan untuk berkontemplasi dan fokus tentang apa yang sedang terjadi lewat doa adalah penting untuk dilakukan.

Ignasius Lorenzo (Thailand)

HIDUP NO.35 2019, 1 September 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini