HIDUPKATOLIK.com – Di saku bajunya selalu ada Rosario. Tiap kali jeda tugas, ia memilin bulir-bulir berkelir merah-putih itu. Ada inspirasiyang ia temukan tiap berdoa Rosario.
Hari itu, 31 Mei 2019, pukul 12.31 WIB. Matahari tengah garang menikam punggung Jakarta dengan sinar yang tajam. Tiba-tiba sebuah pesan WhatsApp (WA) menyelinap ke telepon genggam Kolonel dr. Albertus Budi Sulistyo. Melalui WA, Pastor Rofinus Neto Wuli menyapa sambil mendoakan. “Pak Budi, saya terus berdoa dengan Misa Kudus, semoga suatu saat Bapak menjadi Wakarumkit (Wakil Kepala Rumah Sakit) Gatot Soebroto. Dan semoga bintangnya (bintang jenderal) segera turun ya,” demikian doa Pastor Pembantu TNI dan POLRI (Pasbanmilpol) itu.
Saat itu, Budi bersama Ketua dan Wakil Ketua RS dan Tim Dokter Kepresidenan sedang bersiap-siap ke Istana Presiden untuk menyampaikan perkembangan kesehatan para mantan presiden beserta keluarga, termasuk Ani Yudhoyono. Budi merupakan salah satu dokter kepresidenan.
Mendapat doa dan harapan tersebut, Budi biasa-biasa saja. Sebab isi doa itu tidak ada dalam impian dan perencanaan pribadi. Informasi yang sempat terdengar, dirinya akan dipromosikan sebagai perwira tinggi di tempat lain. “Tetapi yang terjadi kemudian, Tuhan mendengarkan doa Pastor Roni (sapaan Pastor Rofinus Neto Wuli, Red). Saya mendapat jabatan Wakil Kepala RS Gatot Soebroto. Saya juga kaget, kok jadi seperti ini?” tanya pria asal Gunung Kidul, Jawa Tengah ini retoris.
Meretas Jalan
Sebelum diangkat sebagai Wakil Kepala RSPAD, dokter lulusan UGM ini adalah Koordinator Staf Ahli Bidang Kesehatan dengan pangkat Kolonel. Tugasnya, memberikan saran dan masukan kepada pimpinan tentang pengembangan rumah sakit.
Sebagai Wakil Kepala RS, Budi menyandang pangkat Jenderal Bintang Satu atau Brigadir Jenderal (Brigjen.). “Puji Tuhan, Jumat, 19 Juli, kami dilantik presiden di Istana untuk naik pangkat satu tingkat lebih tinggi jadi Brigadir Jenderal,” jelas ayah dua anak yang semuanya telah jadi dokter ini.
Dokter spesialis THT itu mengaku, peristiwa tersebut sama sekali di luar dugaannya. “Semua ini di luar dugaan saya dan berlangsung begitu cepat. Saya terima surat keputusan ini pada 4 Juli, lepas sambut 16 Juli, lalu dilantik 18 Juli 2019. Esoknya naik pangkat jadi Brigjen,” beber umat Paroki Santa Clara, Bekasi Utara ini penuh syukur.
Berasal dari kampung Palian, Gunung Kidul, Budi bersyukur, orangtuanya berpikiran maju dan menempatkan keberhasilan masa depan anak pada skala prioritas utama. Ia sekolah di Wonosari agar mendapatkan layanan pendidikan yang lebih bagus. Dan benar, di bangku SD sampai SMP, Budi selalu menempati ranking pertama.
Ia melanjutkan pendidikan ke SMAN 3 Yogya, sekolah favorit. Dari hasil tes masuk, Budi masuk dua besar dari seluruh peserta tes. Selanjutnya, ia melenggang ke UGM. “Puji Tuhan, diterima di (Fakultas) Kedokteran tanpa tes,” ujar pria yang pernah bercita-cita menjadi pastor ini.
Boleh dikatakan, keputusan orangtua untuk menyekolahkan dirinya di luar kampung adalah langkah awal meretas jalan keberhasilan.
Ketika di bangku Kedokteran UGM itulah ia masuk Perwira melalui beasiswa ABRI. Pada semester tujuh, ia cuti kuliah untuk mengikuti pendidikan militer. Setelah pendidikan, ia masuk kampus lagi untuk melanjutkan kuliah. Alasan utama ia mengambil pendidikan Perwira untuk mendapatkan rasa percaya diri sebagai “minoritas”. “Karena saya melihat, sebagai minoritas saya akan punya bargaining yang kuat ketika saya pada posisi itu,” jelas mantan Ketua Lingkungan ini.
Menurut Budi, kalau nilai atau kualitas dirinya sama saja dengan yang lain, ia pasti kalah dalam persaingan mendapatkan sesuatu yang lebih baik. “Maka saya harus lebih baik. Nilai saya pun harus lebih tinggi dari mereka. Itu prinsipnya. Maka selain belajar, saya berdoa sungguh-sungguh,” ungkap suami dari dr. Caecilia Krismini Dwi Irianti, MARS yang kini menjabat sebagai Direktur Medik RS Sint Carolus.
Uniknya, semula ia diajak oleh teman-teman untuk mendaftar, namun setelah itu mereka justru mengundurkan diri, dan itu sempat membuat galau. “Dengan doa akhirnya saya bisa memutuskan. Saya katakan, oke saya akan lakukan tes secara obyektif. Kalau memang masuk berarti ini panggilan saya. Kalau gak, ya gak apa-apa,” gumamnya.
Selain berjuang meningkatkan hasil studi, Budi juga berusaha untuk lebih rajin, lebih loyal, lebih care, lebih berempati dengan pasien. “Saya mempunyai kelebihan di situ, ada identitas Kristiani. Identitas Kristiani saya munculkan dalam sikap dan cara kerja. Bukan dengan atribut jasmaniah, tetapi dalam melayani secara sungguh-sungguh dengan iman kepada Yesus,” jelasnya. Tambahnya lagi, “Saya sadari betul pesan Sabda Yesus ‘Barang siapa mau jadi terbesar dia harus jadi pelayan’. Ternyata itu kuncinya, itu inspirasi yang luar biasa. Bahwa saya sekarang menjadi bintang satu, itu adalah bintang satu sebagai pelayan.”
Nostalgia Enam Sepeda
Di Desa Palian, Gunung Kidul, hanya keluarga Budi yang Katolik. Namun, kala itu, mereka merasakan kenyamanan, tanpa ada yang mengusik. Mereka bebas dan gembira menjalani ritual iman Katolik walau harus naik sepeda menempuh enam kilometer untuk mencapai gereja. “Kami berenam pakai empat sepeda, jadi ramai-ramai ke Gereja Santo Petrus Canisius,” kenang mantan Ketua Seksi Kesehatan Paroki Santa Clara ini.
Lucunya untuk menumbuhkan semangat ke gereja ketika masih kecil, orangtua mengatakan, akan menjajankan mereka soto selepas Misa.
Dalam kebersamaan di keluarga inilah, Budi dan saudara-saudaranya mengenal berbagai macam doa, termasuk doa Rosario. Bahkan kemudian ia tidak pernah lepas dari doa tersebut sampai hari ini. Dia saku bajunya selalu ada Rosario yang selalu digunakan untuk berdoa di sela-sela tugasnya.
Rosario merah-putih kemudian menjadi energi baru untuk pengabdiannya dalam kerangka sebagai orang Indonesia yang Katolik. Baginya, menjadi 100% Katolik dan 100% warga negara Indonesia adalah visi yang tidak boleh ditawar. Budi pun sangat mengapresiasi Mgr Ignatius Suharyo yang mencanangkan Rosario Merah Putih. “Saya pikir ini luar biasa. Sangat inspiring,” akunya.
Budi memang mengenal Rosario sejak kecil, namun ia memiliki penghayatan lebih ketika merayakan pesta perak penikahan pada 2018. Sejak itu, ia mulai bisa menangkap inti dari devosi doa Rosario itu. “Dengan doa Rosario itu kita sebenarnya mengikuti sejarah penebusan. Dari saat Maria menerima kabar dari Malaikat Gabriel lalu kemudian Yesus bangkit dari mati kemudian Yesus naik ke surga kemudian dalam peristiwa terang. Nah, kalau itu dijadikan acuan dan kita doakan terus, maka itu akan membentuk pribadi yang religius,” jelasnya.
Selain mendaraskan, Budi juga berusaha mengenal Rosario itu sendiri. Dengan berdoa Rosario jelasnya, dirinya semakin mengetahui bahwa Tuhan itu sudah lebih dulu mencontohkan semangat pelayanan yang sebenarnya. Bahwa pelayanan itu adalah pengorbanan. Pengalaman itulah yang sering kali mengingatkan Budi untuk meneladani keutamaan hidup Yesus di dalam proses pelayanannya. “Paling tidak itu menginsipirasi saya untuk melayani lebih baik dan menjadikan orang lain utama dalam pelayanan. Menyadarkan bahwa ketika menghadapi seorang pasien, itu seperti menghadapi Tuhan sendiri yang ada di dalam diri pasien itu,” jelasnya.
Inspirasi Rosario
Dari Rosario ia terinspirasi untuk mencintai Tuhan lebih dari segala sesuatu dan mencintai sesama seperti diri sendiri. “Kalau kita bisa memperlakukan pasien sebagaimana yang kita inginkan seandainya kita sebagai pasien, maka kita akan memberikan pelayanan yang paripurna, pelayanan yang excellent,” jelas anggota Komite Medik Katolik Indonesia ini.
Tentang hal yang paling membahagiakannya saat ini, di sampaing berbagai pencapaian yang ia dan istri dapatkan, keberhasilan kedua anaknya “melengkapi” kegembiraan. Sang anak, dr. Agnes Listyana Kristi Prabawati saat ini bertugas di Biak, Papua mengikuti suaminya. Sementara, Yohanes Krisnantyo Adi Pinandito menjalani koas di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur.
Emanuel Dapa Loka
HIDUP NO.33 2019, 18 Agustus 2019