HIDUPKATOLIK.com – Lahir sebagai gadis desa bersama budaya yang khas adalah sebuah kebanggaan bagiku. Di balik rasa bangga, ada hal yang kadang membuatku membutuhkan banyak waktu untuk beradaptasi ketika berada dalam budaya baru, sebagai cara bertahan dalam dunia. Kedua hal inilah yang telah membentuk aku, dimanapun dan kapanpun.
Masih tentang budaya. Andaikan itu adalah seorang yang bisa kuajak untuk bicara, akan aku katakan padanya bagaimana ia seharusnya bertindak. Bukannya aku membencinya, tapi seharusnya ia tahu bahwa mereka mempunyai masa yang berbeda. Apa yang terjadi masa lalu berbeda dengan sekarang. Segala pengetahuan yang kuterima akhirnya harus bertekuk lutut di bawah kakinya.
Kisahku berawal ketika aku berhasil menyelesaikan perkuliahan dan kembali ke kampung halaman, di salah satu kabupaten di Pulau Flores. Saat itu menjelang acara pernikahanku. Keluarga berembuk bersama mempersiapkan segala sesuatunya. Sebelum pernikahan secara gereja, biasanya dilakukan upacara adat tu ngawu (tu=antar, ngawu=harta kekayaan atau belis). Antar belis biasanya dilakukan dari pihak laki-laki kepada perempuan. Banyaknya belis biasanya ditentukan oleh pihak perampuan.
Semua hadir duduk di ruang tamu dan membentuk lingkaran. Lantainya tak berkeramik sehingga kami menggunakan tikar yang dianyam dari ze’a, atau bisa juga menggunakan daun lontar yang telah dikeringkan. Untuk kedua kalinya, rumahku menjadi saksi perbincangan persiapan acara ini. Jam dinding menunjukan pukul 21.00 WITA. Pembicaraan mengenai rencana pernikahanku telah dimulai.
“Kira-kira ada berapa orang yang kemarin belum mendapat bagian dari pernikahan Rita?” kata saudara ibuku.
Ibu menatapku seakan tahu apa yang kurasakan. Waktu itu di tempat yang sama, aku adalah satu-satunya orang yang tidak setuju dengan ketentuan yang disepakati. Saat itu, aku hanya mendengar apa yang telah mereka sepakati tanpa terlibat dalam pengambilan keputusan.
Aku memilih meninggalkan tempat itu. Aku tahu sebenarnya ada beberapa orang yang belum mendapatkan bagian dari pernikahan kakakku. Ibuku pernah menceritakan kisah itu. Ia terkadang menangis ketika mendengar cerita dari kakakku yang kini telah berada di tempat yang jauh bersama keluarga yang baru. Mengenang dirinya yang seakan “ditukar” dengan belasan ekor kerbau dan sapi serta binatang ternak lainnya.
Saat aku beranjak, aku tak sengaja menyentuh Rosario yang selalu kusimpan dalam sakuku. Pikiranku tertuju kepada Dia yang selalu menjadi teman curhatku ketika bersedih, mendapat masalah, bahagia, dan saat menyelesaikan tugas akhir perkuliahanku. Aku merasa masih punya kesempatan untuk berbicara pada-Nya saat ini. Aku ingat benar apa yang tercantum dalam novena yang tertuju kepada-Nya “…belum pernah ada orang yang datang padaMu dan mohon pertolongan-Mu Engkau biarkan begitu saja…” Dalam keheningan malam aku membisikan pergumulanku, meminta kekuatan agar dapat berbicara disaat seperti ini.
Ketika mereka hendak mengakhiri perbincangan mengenai apa yang harus diserahkan oleh pihak laki-laki, aku melangkah dan duduk di samping ibuku. Mata mereka tertuju kepadaku.
Aku berbisik kepada ibu, “Apakah mereka telah selesai membicarakan mengenai acara pernikahanku, Bu?”
Ibu menganggukan kepala.
“Apa aku bisa berbicara satu hal?” tanyaku lanjut.
Ibu tak menjawab. Memang sejak dulu, wanita selalu menjadi “nomor dua”. Keputusan hanya bisa dilakukan oleh laki-laki. Dalam pembicaraan itu, wanita yang hadir hanyalah ibu dan aku. Sama halnya dengan kakakku waktu itu. Hanya ibu dan dia. Para wanita dari keluargaku tak mengikuti perbincangan itu dengan alasan sibuk mempersiapkan makanan. Kalau pun kami ikut, apa yang disampaikan pasti dianggap tak bernilai.
Tanganku masih menggenggam Rosario yang sengaja kututup dengan kain adat. Aku memberanikan diri untuk bicara.
“Ine ame, ka’e azi, keluarga semuanya aku minta maaf, bukannya ingin berlaku tak sopan dihadapan semuanya, tapi aku hanya ingin bicara,” kataku menyela perbincangan.
“Ine mau omong apa?” tanya salah seorang keluargaku.
“Kalau boleh tahu, apa yang kita minta dari mereka?”
“Baik ine, kami telah sepakat bahwa untuk belisnya hampir sama dengan yang terjadi pada Rita, kakakmu itu,” kata saudara ibuku.
Ia lanjut berkata, “Kemarin, ada beberapa orang yang belum sempat mendapat bagian dari pernikahan kakakmu. Mereka itu yang nantinya akan mempersiapkan acara pernikahanmu dan juga yang akan menerima apa yang nanti diberikan kepada kita. Pesta pernikahanmu juga melibatkan semua masyarakat kampung.”
Ketika mendengar yang mereka katakan, aku merasa luka yang sama akan terulang lagi baik pada ibu, kakakku dan mungkin padaku. Aku tak ingin mengalami luka itu. Aku siap menerima apapun yang akan terjadi padaku jika kukatakan bahwa aku menolak semuanya itu. Hatiku terus berbisik pada Dia agar mereka mendengarkan aku.
“Ine ame, kae azi, aku minta maaf. Tapi jika semua sepakat belisnya sama seperti kakak, lebih baik aku memilih untuk menunda acara ini,” kataku.
Mereka memandang heran dengan apa yang kukatakan. Ibu mencoba memberikan tanda kepadaku dengan menepuk lututku, menyuruhku untuk tidak mengatakan hal itu.
“Ine, nanti kami yang urus semuanya,” ibu mencoba meyakinkanku.
“Ibu, sampai kapan ibu harus menutup semua luka yang ibu alami setelah pernikahan kakak kemarin?” aku menatap wajah ibu.
“Ibu telah mendengar apa yang diceritakan kakak , bagaimana ia berusaha hidup dalam keluarga yang baru. Ibu tahu kan, bagaimana usaha pihak laki-laki untuk mendapatkan belis sebanyak itu? Mereka berjuang bu, dengan harapan ketika kakak berada bersama mereka, mereka akan berusaha membalas apa yang telah orang berikan kepadanya,” kataku lanjut.
Pandanganku tertuju ke depan. Tak tahu kepada siapa aku harus berbicara. Yang terpenting bagiku sekarang mereka mendengar kata-kataku. Aku harus mengatakan satu lagi kepada semua tidak hanya kepada ibu.
Aku memandang sekeliling dan berkata, “Apakah semuanya tahu kenapa hal itu terjadi pada dia? Apakah ada yang sempat bertanya padanya? Tidak kan. Ia sendiri yang menanggungnya. Itu karena kita yang memintanya. Karena keluarga kita. Seandainya kita mengatakan sesuai dengan apa yang mereka miliki dan tidak menuntut, mungkin itu lebih baik. Aku tahu kita meminta semuanya itu karena apa yang telah diwariskan dari dulu hingga saat ini. Kerbau, sapi, kuda, serta semua belis tak seperti yang pernah ada waktu itu. Sekarang sudah berkurang. Untuk mendapatkan itu mereka harus berjuang dan siap untuk menggantinya jika sudah tiba saatnya.”
Semua hanya tertunduk. Ibu terus menyeka pipinya yang dibasahi air mata. Begitupun denganku. Aku menyesal karena terus berkata kepada ibu, sehingga membuatnya menangis. Tapi aku tahu, jika keputusan malam ini disepakati, ia yang mengalami semuanya itu di suatu saat nanti.
“Ine, kami yang seharusnya minta maaf,” kata saudara ibuku. “Memang benar apa yang ine katakan. Kami hanya mementingkan belis yang nantinya akan kami terima dan tak pernah melihat bagaimana kehidupan ine bersama keluarga yang baru. Sebenarnya kami harus tahu bahwa kami tak harus menuntut mereka karena kami hanya sebagai keluarga besar bukan orangtua yang telah membesarkan dan mendidik ine. Jadi sesuai dengan yang ine katakan, semuanya tergantung kesanggupan mereka. Yang terpenting ine bisa hidup bahagia. ”
Aku tak tahu bagaimana perasaanku. Bahagia karena bisa membuat ibu bahagia dengan keberanianku, tetapi saat itu aku sadar bahwa aku salah telah melanggar apa yang menjadi hak mereka. Aku tak dapat memberikan apa yang mereka harapkan. Keluargaku.
***
Rosario itu masih ku simpan hingga saat ini. Aku yakin bahwa ia telah menyampaikan doaku. Ketika aku menggengamnya, aku terus mengingat peristiwa itu. Aku dapat mengatakan bahwa ini adalah sebuah keajaiban, dimana aku mampu mengganti kebiasaan lama. Mengubah cara pandang yang lama yang telah membuat kakaku dan mungkin semua wanita dikampung halamanku merasa tak dihargai. Aku menamakan ini keajaiban semalam yang dialami oleh seorang gadis desa. Gadis desa itu adalah aku. Aku yang hidup dalam budaya menyimpan sejuta kenangan.
Sejak saat itu, keluargaku tetap mengingat kata-kata mereka kepadaku. Yang terpenting adalah semua anak wanita mereka bahagia berada dalam keluarga yang baru. Inilah kisah seorang gadis desa di malam itu.
***
Catatan :
Ine : sapaan kedekatan orangtua untuk anak perampuan, bisa juga panggilan untuk ibu.
Ame : panggilan untuk bapak, sapaan kedekatan orang tua untuk anak laki-laki.
Ka’e : kakak.
Azi : adik.
Ze’a : daun pandan berduri.
HIDUP NO.30 2019, 28 Juli 2019