Chatarina Monica Hartini-Agustinus Gabriel Sutardjo : Nindakke Dhawuh Romo Dwijo

349
Pasutri Agustinus Gabriel Sutardjo-Chatarina Monica Hartini.
[NN/Dok.Keluarga]

HIDUPKATOLIK.com –  – Sejoli ini menjadi Katolik ketika sudah memiliki lima anak. Semua bermula dari kertas usang yang tak sengaja ditemukan di atap penjara.

Pasangan suami istri (pasutri) ini baru menjadi Katolik setelah dikaruniai lima anak. “Sebelum (menjadi) Katolik, saya ini abangan,” tutur Agustinus Gabriel Sutardjo didampingi sang istri, Chatarina Monica Hartini, di kediaman di Kampung Suryodiningratan, Yogyakarta, Senin, 1/7.

Sehari sebelumnya, pasangan sepuh ini merayakan 60 tahun pernikan di Gedung SMP Stella Duce 2 Yogyakarta. Misa syukur ulang tahun pernikahan mereka dihadiri semua anak, menantu, cucu dan cicit. Minus, Immanuel Tinon Bayu Dirgantara. Sebab, salah satu cucunya yang akan jadi pastor –juga tak bisa datang pada perayaan ulang tahun pernikahan buyut– sedang live in di komunitasnya, Paroki St Petrus dan Paulus Baturaja, Sumatra Selatan.

Hartini–Sutardjo dikaruniai delapan anak, 19 cucu, dan dua cicit. Mbah Tardjo, demikian ia disapa, bahagia sekaligus bangga karena keluarga besarnya, yang berjumlah 41 orang, termasuk menantu, semua Katolik. Pasangan yang sama-sama berprofesi sebagai guru itu juga bersyukur. Mereka bisa membimbing dan memberikan pendidikan yang layak kepada buah hati. “Hampir semua anak saya sarjana. Semua kerja, ada yang mengikuti jejak orangtuanya jadi guru, ada juga yang jadi tentara,” ucap Tardjo.

Mendoakan Anak
Hartini–Sutardjo menyematkan kata Tinon –dari bahasa Sansekerta– di nama semua anak. Mereka bertujuan, orang lain yang memanggil nama itu turut mendoakan buah hatinya agar “jadi orang” dan menjaga harga diri. Selama mendidik anak, pasangan ini kompak. Mereka selalu sekata. “Jangan sampai ibunya mengatakan ya, tapi ayahnya mengatakan tidak,” ujarnya.

Kepada anak-anak, Tardjo berpesan, agar selalu menjalankan perintah Tuhan. Ringan tangan menolong orang saat sedang kesusahan. “Kalau dekat Gusti (Tuhan), pasti Gusti juga akan menolongnya,” tuturnya.

Sebelum menetap di Kampung Suryodiningratan, pasangan sepuh ini tinggal di rumah kontrakan, berpindah-pindah. Terakhir, mereka ngontrak di Kampung Danunegaran. Tardjo merupakan pensiunan guru olahraga SMA 3, sedangkan Hartini adalah guru SD Pujokusuman.

Tardjo menjadi Katolik setelah menjalani hidup tak karuan. Ia sempat menjadi preman yang disegani kawan dan ditakuti lawan. “Saya itu dulu pendekar silat, nakal, dan jadi berandal. Tapi sampai sekarang tidak ada yang tahu kalau saya berandalan. Tahunya Pak Tardjo itu orang baik, nderek dhawuh Gusti (mengikuti kehendak Tuhan),” ungkapnya.

Ia mengenang, pada 1966 pernah dituduh mendalangi pembunuhan dalam tawuran di Pojok Beteng Wetan. Tapi tuduhan itu tak terbukti, meski Tardjo sempat ditahan polisi di Kantor Corps Polisi Militer (CPM) Gedung Jefferson. Ia mendekam di tahanan itu selama 43 hari, namun akhirnya mampu menghirup udara bebas lantaran tak terbukti bersalah.

Sewaktu di tahanan, Tarjo dikabari Hartini bahwa anak bungsu, Tinon Catur Yuarsih, yang masih berumur dua tahun sakit dan harus opname di RS. “Anak perempuan saya seperti klenger (pingsan) dan tidak mau diajak bicara. Saya tidak tega ketika diminta menjenguk, kalau hanya diberi waktu sebentar di rumah sakit, hati ini sakit,” tolaknya.

Kertas Kumal
Di penjara, ia bingung campur sedih memikirkan balita yang sakit itu. Sampai larut malam ia tak bisa tidur. Ia memikirkan cara agar anak bugar. Karena saat itu dirinya belum Katolik, maka yang dilakukannya hanya mohon petunjuk kepada leluhur. Pada tengah malam, hening, tiba-tiba Tardjo seperti mendengar kata blombongan, yang berarti lubang.

Ia mencoba untuk mengaitkan dengan situasi sekitar tahanan. Satu-satunya lubang yang didapati hanya bagian atap tahanan. Lubang kecil itu cukup dimasuki tangan. Maka, di kegelapan itu ia menumpuk meja dan memanjat untuk meraih lubang atap tahanan. Di balik atap, tangannya meraba-raba dan mendapati selembar kertas kumal. Karena malam pekat, secarik kertas kotor itu tak terbaca. Baru pagi setelah sinar mentari menerobos ruangan, kertas kotor yang sudah menguning itu terbaca. “Isinya, doa permohonan kesembuhan untuk anak,” sebut Tarjo penuh harap.

Ia menyimpan kertas doa itu. Anehnya, tak lama kemudian, Tardjo dipanggil petugas jaga tahanan dan diperbolehkan pulang karena dianggap tak bersalah. “Pak Tardjo tidak ikut terlibat. Semua yang ditahan dan saksi membenarkan kalau Pak Tardjo justru dua kali membubarkan rencana tawuran itu,” ucapnya, menirukan petugas.

Siang itu juga ia meninggalkan tahanan dan pulang ke rumah, dengan naik becak. Sesampai di rumah dilihat anak yang sakit sudah dalam gendongan sang istri. “Istri dan anak saya langsung saya peluk. Lalu anak saya sadar. Anehnya, panasnya langsung hilang dan sembuh”.

Kepulangan Tardjo disambut gembira para tetangga. Tardjo menceritakan kepada mereka hidup di penjara, termasuk kertas kumal berisi doa yang ditemukan di tahanan. Salah seorang tetangga, beragama Katolik, penasaran membaca kertas kotor yang ditunjukkan Tardjo. Ia buru-buru kembali ke rumah dan kembali lagi ke kediaman Tardjo sambil sambil membawa buku kecil Padupan Kencana.

Tetangga itu menunjukkan kepada Tardjo kalau kertas yang ditemukan di penjara itu kalimatnya sama persis dengan yang ada di buku kumpulan doa Padupan Kencana. Tetangga itu lalu memberikan buku doa Katolik kepada Tardjo. “Setelah bacabaca buku doa itu, koq hati saya merasa tenteram. Dulu kalau lihat orang Katolik tidak suka, jadi senang,” ungkapnya.

Pria kelahiran Bantul, 1 Nopember 1932 ini meminta pertimbangan Hartini. Bagaimana kalau mereka berdua masuk Katolik? Rupanya sang istri menanggapi ajakan tersebut seraya menjelaskan, dulu semasih sekolah guru putri, Hartini sempat mengikuti ulangan (katekese), tapi orangtua tak membolehkan dirinya menjadi Katolik.

Keinginan untuk menjadi Katolik mereka tindaklanjuti dengan memberanikan diri datang ke Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Pugeran. “Saya sowan (menghadap) romo di gereja untuk menyampaikan keinginan menjadi Katolik,” kenang Tardjo.

Di Gereja pugeran, ia diterima oleh Romo Kolonel Dwijo Sudarmo. Romo sepuh itu menjelaskan, kalau ingin jadi Katolik harus mengikuti ulangan dulu selama setahun. “Kapan ada ulangan Romo?,” tanya Tardjo cepat. “Nanti sore,” jawab Romo Dwijo.

Baru dua bulan pasutri itu menjalani ulangan, Tardjo tiba-tiba dipanggil Romo Dwijo untuk bersiap diri karena akan dipermandikan pada Hari Raya Paskah, yang tinggal beberapa hari lagi. “Kamu, istri dan lima anakmu semua akan saya Baptis pada Paskah nanti,” ucap Tardjo menirukan kabar sukacita itu.

Masih Aktif
Hari Raya Paskah 1968, Tardjo dan keluarga dipermandikan oleh Romo Dwijo. Sebagai hadiah, ia diberi setumpuk buku pelajaran agama. Beberapa bulan kemudian, ia dipercaya untuk membantu Lingkungan St Theresia, Kampung Suryodiningratan. “Buku-buku pelajaran agama hadiah Romo Dwijo saya sinau (pelajari) dan gampang masuk. Saya dicalonkan jadi ketua lingkungan, tapi terkendala (karena) belum Krisma,” katanya.

Baru, setelah menerima Sakramen Krisma, Tardjo dijadikan Ketua Lingkungan St Theresia. Namun, tak lama berselang, imam yang membaptisnya wafat. “Saya tetap nindakke dhawuh (mengikuti kata-kata) Romo Dwijo. Jadi katekis, semampu saya mencoba mengembangkan lingkungan,” tekadnya.

Tardjo juga sempat menjadi ketua wilayah. Sejak dulu hingga kini, ia masih aktif tugas kor Misa harian di Gereja Pugeran. “Kalau kor, saya bagian suara tenor”, ujarnya.

H. Bambang S

HIDUP NO.29 2019, 21 Juli 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini