Beata Victoria Díez Bustos de Molina (1903-1936) : Jalan Terakhir Anak Indigo

644
Beata Victoria Díez Bustos de Molina saat berumur 17 tahun dan bergabung dengan Kelompok Teresian di Sevilla.
[grandesmujeresgrandesantas.com]

HIDUPKATOLIK.com – Di masa kecil, ia “divonis” terbelakang mental. Siapa sangka, kini ia pelindung anak-anak dengan keterbelakangan mental.

Ruangan tidur itu tidak luas. Hanya berukuran 5×7 meter. Dindingnya terbuat dari kayu, sebagian telah usang. Hanya sedikit cat putih yang mempercantik tembok-temboknya. Tidak setiap malam ada penerangan listrik, sebab tergantung pasokan batubara sebagai pengganti diesel. Lilin atau obor adalah penerangan yang dirasa nyaman.

Di sudut kamar itu terdapat sebuah meja sederhana. Di atas meja itu, diletakkan patung Pieata dan Santa Theresia dari Avila. Di samping kedua patung itu, sebuah buku “puri batin”, catatan harian Sta Theresia. Semuanya terkesan sederhana.

Kamar ini pernah dihuni seorang guru pedagogik, Victoria Díez Bustos de Molina. Kamar yang hingga saat ini masih terawat rapi itu terletak di Academia Inernado, Sevilla, Spanyol. Di ruang sempit ini, Victoria memulai pengajaran imannya kepada murid-murid di Inernado. Victoria dikenal tidak saja sebagai guru yang mengusai agama, tetapi juga handal dalam mempertobatkan anak didiknya.

Lewat tangan dinginnya, banyak anak diselamatkan. Banyak pula yang menjadi menjadi imam. Victoria adalah “mutiara tak bersinar”, yang memberi sinarnya untuk anak-anak didiknya. Ia merelakan dirinya, pengetahuan, waktu, dan hatinya agar anak didiknya tampil sebagai bintang gemilang. Jiwa raganya terpatri manis di sanubari anak didiknya. Di ujung jalan hidupnya, Victoria berkata, “Aku adalah ketidakmungkinan yang dinantikan oleh mereka yang mungkin selamat.”

Anak Spesial
Sejak muda, putri tunggal pasangan José Díez Moreno dan Victoria Bustos de Molina. José bekerja sebagai seorang juru tulis, sedangkan Molina, ibu rumah tangga. Pada masa kecilnya, Victoria sebenarnya tidak menunjukkan minatnya di bidang pendidikan. Ia mulai belajar membaca dan menulis sejak usia delapan tahun. sepertinya, ia memang lambat dalam belajar.

Dalam buku Our Sunday Visitor’s Encyclopedia of Saints, Stephen Bunson menyebut Victoria sebagai anak indigo. Cerita ini juga terbukti dalam pengalaman José dan Molina. “Ia seorang yang spesial, tidak biasa, dan karakter supranatural. Ia seorang indigo.”Bila orang tua menganggapnya sebagai “anak spesial” tetapi tidak bagi warga sekitarnya. Victoria adalah anak yang perlu mendapatkan penanganan. Kendati begitu, Victoria memiliki rasa ingin tahu yang kuat dan independen. Ia yakin akan dirinya, bahwa ia bisa bersaing dengan orang-orang di dunia.

Di usia remaja, Victoria menempuh pendidikan di sekolah seni dan kerajinan di Sevilla. Sayang, di tempat ini ia merasakan betapa sulitnya menangkap pelajaran dari para gurunya. Kesulitan ini membuat guru-guru akhirnya menganggapnya sebagai anak yang memiliki keterbelakangan mental. Ia kerap disamakan dengan anak bodoh, tidak mampu, aneh, bahkan anak malas.

Namun, kata-kata dari para gurnya, justru membuat Victoria bernazar ingin mengikuti jejak mereka menjadi pendidik. Ia ingin mengajarkan anak-anak dengan bahasa sederhana, mudah dimengerti, dan mengena. Tujuan ini lalu membawanya masuk kuliah di Universitas Sevilla, dengan spesialisasi bidang pendidikan. Selama kuliah antara tahun 1919-1923, Victoria tak pernah melewatkan kecintaannya kepada anak-anak. Setiap hari, Victoria menawarkan diri mengajar anak-anak tunawisma di Sevilla maupun di paroki-paroki terdekat.

Pendidikan Pedadogi
Karya sosial ini dijalani hingga kemudian bertemu dengan organisasi Teresian di Sevilla tahun 1925. Setahun kemudian, pada 25 April 1926, ia terdaftar sebagai anggota Teresian di bawah asuhan Direktur Teresian Ibu María Josefa Grosso. Sejak pertemuan berkala dengan Ibu Grosso, Victoria mulai mencintai pekerjaannya.

Setelah menetap di Sevilla, kelahiran Sevilla 11 November 1903 ini mulai ditugaskan di Academia Inernado. Kemudian tahun 1927, ia memberi kursus di Sekolah Cheles. Di sekolah kedua ini, ia memperbaiki bangunannya yang telah rusak, mengatur perpustakaan, menanamkan disiplin hidup kepada karyawan-karyawati di sekolah tersebut. Ia juga mulai sebagai ibu bagi gadis-gadis desa yang tinggal di asrama tersebut.

Dalam pelayanannya ini, Victoria sangat memperhatikan pendidikan pedagogis. Ia tidak terlalu memfokuskan pembinaannya pada aspek intelektual semata. Ia lebih menitikberatkan pembinaan akhlak, dengan metode pendampingan berkelanjutan. Pembinaan di sekolah diwujudkan dalam pekerjaan rumah. Di masa ini, Victoria selalu menjalin relasi baik dengan Ibu María Josefa Segovia Morón pendiri Kongregasi Theresian.

Pada 13 Juni 1928, Victoria ditugaskan sebagai pendidik di Hornachuelos. Jabatan ini adalah sebuah pelayanan istimewa bagi kelompok Theresian. Tidak semua orang dapat bertugas dengan baik di Hornachuelos, Córdoba. Tetapi, gadis 25 tahun itu tidak menolak ditempatkan di situ.

Ibu María menulis, seseorang yang mendapatkan pelayanan di Hornachuelos tidak menjadikannya “ratu” Theresian. Sebaliknya, ada tanggungjawab besar menantinya. Di tempat “angker” ini, Victoria menemukan makna hidup yang sesungguhnya. Ia berkatekese dengan caranya yang menyentuk nulari anak-anak. Kolaborasi dengan menampilkan cerita-cerita kehidupan menjadi isi materi ajarnya. Tak lupa pesan-pesan pertobatan menjadi semangat yang terus disampaikan di akhir pelajarannya.

Jalan Terakhir
Dalam pelayanannya itu, Pecah Perang Spanyol. Gereja didalamnya termasuk para imam dan suster menjadi korban kekejaman diktator Spanyol, Jenderal Franco (1892-1975). Konfrontasi di tahun 1930-an telah memporak-porandakan Spanyol. Nilai kemanusiaan, moral, sosial, dan spiritual sekejap hilang setelah Franco berkuasa. Pelayanan Gereja menjadi pincang karena banyak pelayanan Gereja dibunuh.

Pada malam, 11 Agustus 1936, ketika sedang mengajar, dua pria bersenjata memasuki ruangannya. Tentara Spanyol itu memaksa Victoria mengikuti mereka agar bisa bersaksi tentang karya pelayanan yang dijalaninya. Pada pukul dua pagi, Victoria ditahan bersama tujuh belas orang lain termasuk ada Kepala Paroki Hornachuelos, Pastor Antonius Molina.

Mereka ditahan dan dipaksa menanggalkan iman mereka. Tetapi, Victoria mendesak dan berkata, “silakan ambil hati saya. Saya ingin melihat surga yang terbuka”. Mesikipun ada upaya dari keluarga untuk menyelamatkannya, tetapi hasilnya nihil. Pastor Molina ditembak saat fajar menyingsing, sementara Victoria ditembak pada pukul tujuh pagi. Ia ditembak paling terakhir untuk menyaksikan teman-temannya meninggal.

Jazadnya dikuburkan oleh umat Katolik setempat. Selama kurang lebih 30 tahun, jazadnya lalu dipindahkan ke Rumah Induk Teresian di Cordoba. Proses beatifikasinya dibuka pada 11 Desember 1965 oleh Keuskupan Agung Sevilla, bertepatan dengan peristiwa pemindahan jazadnya. Postulator saat itu adalah Pemimpin Umum Teresian Ibu Teodora Zamalloa. Ia dibeatifikasi pada 10 Oktober 1993 oleh Paus Yohanes Paulus II.

Saat ini proses kanonisasi sedang berlangsung dari Keuskupan Agung Sevilla dengan promotor Paroki Hornachuelos. Ia menjadi pelindung anak-anak yang memiliki keterbelakangan mental, termasuk anak-anak idigo.

Yusti H. Wuarmanuk

HIDUP NO.27 2019, 7 Juli 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini