Makna Baru untuk Sejuta Simbol

378
Prosesi rangkaian upacara pemakaman jenazah orangtua Pastor Nathanael Runtung di Sangalla, Toraja, Sulawesi Selatan.
[HIDUP/Hasiholan Siagian]

HIDUPKATOLIK.com – Gereja hadir bukan untuk memusnahkan budaya dan tradisi Toraja tetapi membawanya ke dalam pangkuan Gereja untuk disempurnakan, dan diberi makna baru.

Satu miliar rupiah untuk upacara pemakaman, bukan isapan jempol di Toraja. Itu baru rata-rata untuk kalangan tertentu. Falsafahnya, berikan yang terbaik untuk orang meninggal yang kita cintai. “Jangan pertama-tama lihat nominalnya,” sela budayawan Toraja, Pastor Yans Sulo Paganna kepada penulis dalam perjalanan menuju situs-situs budaya Toraja di kawasan Makale, Toraja, Sulawesi Selatan awal Juni lalu.

“Besar dan kecilnya biaya upacara itu, bergantung pada kesanggupan keluarga yang bersangkutan. Memang ada semacam standar, tapi tidak kaku,” timpal putra asli Toraja yang ditugaskan Uskup Agung Makassar Mgr John Liku Ada’ mendalami budaya Toraja.

Sudah jamak bahwa upacara pemakaman adat Toraja (rambu solo’) berbiaya “em-eman”. Belum lama ini HIDUP berkesempatan menyaksikan sepenggal rangkaian upacara pemakaman jenazah orang tua Vikaris Episkopal (Vikep) Toraja, Pastor Nathanael Runtung di Sangalla, Kecamatan Sangalla, Kebupaten Toraja. Kerbau sekian puluh ekor dengan harga terendah sekitar enam puluh juta rupiah. Kerbau-kerbau itu terdiri dari berbagai jenis, mulai dari kerbau petarung sampai kerbau belang (tedong donga) berbaderol tujuh ratus juta hingnga satu miliaran rupiah per ekor. Belum lagi hewan-hewan lain yang jumlahnya juga cukup besar. Tentu saja banyak hal lain yang melengkapi rangkaian upacara tersebut. Nilai rupiah nya pun menguras kantong.

Diawali dengan Misa Requiem di Gereja Sangalla yang dipimpin oleh Mgr John Liku Ada’ dan puluhan imam, kedua jenazah orangtua Pastor Nathanael kemudian diarak dengan prosesi adat meriah menuju tongkonan keluarga sekitar satu kilometer lebih jauhnya. Prosesi ini menjadi tontonan menarik banyak wisatawan dalam dan luar negeri yang sengaja datang menyaksikan rangkaian upacara tersebut.

“Rangkaian upacara itu merupakan warisan leluhur yang dipelihara manusia Toraja hingga saat ini. Rangkaian demi rangkaian upacara itu kaya dengan simbol. Kerbau-kerbau yang diupacarakan pun mengandung simbol. Tidak hanya itu, tongkonan, rumah, bangunan, dan lain-lain sarat dengan simbol yang perlu kita pahami sehinga kita bisa mengerti siapa itu manusia Toraja. Bagaimana tradisinya? Bagaimana ia memandang alam semesta ini? Bagaimana kepercayaannya kepada Yang Maha Kuasa,” papar Pastor Yans – sapaan Pastor Yans Sulo Paganna’.

“Toraja itu bagaikan sebuah laboratorium raksasa sekaligus sebuah kitab maha besar yang tidak akan pernah habis dan tuntas untuk dikupas. Toraja itu sejuta simbol dengan sejuta makna di dalamnya,” tambah Pastor Yans yang menjadi referensi dan ‘guru’ kalangan imam dan Gereja Katolik Toraja bila berbicara mengenai kebudayaan Toraja saat ini.

Makna Baru
Tahun 2013 lalu dirayakan genap seratus tahun Injil masuk ke Tanah Toraja. Sebuah patung raksasa, “Tuhan Yesus Memberkati“ dibangun di Buntu Burake untuk mengenang peristiwa bersejarah itu. Pada Mei 2018 lalu, Gereja Katolik merayakan 80 tahun pembaptisan empat orang pertama orang Toraja menjadi Katolik. Dari empat orang, kini jumlah umat Katolik Toraja mencapai lebih dari 60 ribu jiwa.

“Kendati Injil sudah masuk, Gereja Katolik sudah masuk dan kini puluhan ribu orang Toraja menjadi Katolik, bila digabung dengan Protestan, maka jumlahnya akan ratusan ribu jiwa orang Toraja menjadi Kristen. Namun, warisan leluhur, tradisi yang kaya dengan makna itu tetap terjaga hingga saat ini,” Pastor Yans menjelaskan.

“Kekristenan, terutama Gereja Katolik hadir di Tana Toraja bukan untuk memusnahkan adat dan tradisi Toraja melainkan menyempurnakannya,” timpal penulis buku Bisikan Suci Passura’ Toraya dan Toraya Tondokku, Nusantara Negeriku (Nilai Luhur Turun-Temurun Manusia Toraja di Sulawesi) itu.

Pastor Yans mengajak HIDUP melihat beberapa pemakaman adat Toraja di beberapa bukit/gunung, termasuk pemakaman bayi di sebuah bohon besar. “Bagi yang bukan Toraja, akan sangat sulit memahami tradisi ini. Bagi orang Toraja tidak! Hanya bayi yang belum punya gigi yang ”dimakamkan” di dalam pohon denganposisi berdiri. Itu simbol, bahwa bayi itu masih dalam pertumbuhan dan akan ”bertumbuh” dalam kesatuan dengan tumbuhan, dengan alam ini,” ujarnya sambil menunjukkan sebuah pohon besar dikelilingi bambu-bambu yang rimbun nan alami.

Di dalam batang pohon itu terdapat lubang-lubang besar tempat jenazah bayi-bayi ”dimakamkan”. “Sekali lagi, Gereja masuk lewat budaya Toraja, dan memberikan makna baru tentang kehidupan dan kematian. Bahwa manusia tidak binasa karena kematian, melainkan diubah kepada kehidupan baru,” ujar Pastor Yans. “Coba bayangkan, orang meninggal tidak langsung dimakamkan. Jikalau keluarga belum sepakat, jenazah masih akan tinggal di rumah dan dianggap sebagai orang yang masih sakit. Bisa bertahun-tahun baru dimakamkan dalam pemakaman tradisi Toraja,” imbuh Pastor Yans lebih jauh.

Membawa ke Altar
Modernitas dan globalisasi kini juga merangsek ke sendi-sendi Toraja. Tidak bisa dielakkan, terjadi ketegangan dan tarik-menarik bagaimana menghidupi nilainilai luhur Toraja tersebut. “Orang Toraja yang tinggal di kampung dan di kota pasti punya pemahaman dan penghayatan yang berbeda. Tidak bisa dihindari,” aku pria yang selalu mengenakan tudung dan sarung Toraja ke mana pun pergi.

“Sekali lagi, Gereja Katolik hadir di tengah budaya dan tradisi Toraja. Anda lihat di dalam gereja di Makale. Semua elemen diwarnai dengan simbol Toraja, mulai dari halaman, pintu depan hingga ke altar. Gereja membawa budaya dan tradisi itu ke dalam pangkuan Gereja untuk diberi makna baru. Kami sedang membangun sebuah gereja yang seluruh arsitekturnya seratus persen Toraja,” imbuh Pastor Yans dalam bincang-bincang menjelang tengah malam di kamar kerjanya di Pastoran Makale.

Hasiholan Siagian

HIDUP NO.27 2019, 7 Juli 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini