St Stefanus Min Kuk Ka (1787-1840) : Santo Yusuf dari Korea

414
Lukisan St Stefanus Min Kuk Ka bersama anaknya.
[koreanmartyr.org]

HIDUPKATOLIK.com – “Seribu kali anda bertanya, saya tidak akan melepaskan iman saya. Kristus yang disalibkan menjadikan saya rela mati seperti diri-Nya,” ujarnya suatu ketika.

Salah satu tujuan pernikahan adalah demi kebahagiaan suami istri. Perjanjian kasih antara suami-istri dalam perkawinan sejatinya adalah janji untuk sehidup-semati. Keduanya juga berjanji menjadi orangtua yang baik bagi anak-anak. Sering kali, kesepakatan untuk senasib sepenanggungan dalam untung dan malang adalah tugas yang berat. Dalam berbagai pengalaman, masih banyak perkawinan yang berakhir tragis dan tidak bahagia.

Sejak pernikahannya dengan Lin Kung, Stefanus Min Kuk Ka telah berjanji untuk bisa menjadi suami yang baik. Hal ini terbukti dengan kesetiaannya mendampingi Lin kala istrinya sakit. Stefanus terus berusaha memahami kebutuhan sang istri. Selama satu tahun, Lin mendekam kesakitan, Stefanus tidak pernah mengeluh melayaninya. Bahkan ketika keluarga Stefanus mencibir Lin karena tidak memberikan keturunan, Stefanus lah yang menyelamatkan rasa malu sang istri.

Banyak orang mengenal Stefanus dan Lin sebagai pasutri yang menyerupai Keluarga Kudus Nazareth. Stefanus setia mendampingi Lin sampai akhir hayatnya.

Membagi Cinta
Kesetiaan Stefanus pada Lin membuat dirinya berjanji untuk tidak menikah lagi. Sayang, kedua orangtuanya yang masih memegang kepercayaan paganisme. Mereka memaksa Stefanus untuk menikah. Dalam tradisi Korea, seorang lelaki dilarang berduka lebih dari 100 hari setelah kematian sang istri. Dalam buku The Role of Shamanisme of Korea, 1992 dikatakan, bahkan paganisme di Korea kala itu mengharuskan, seorang pria agar secepatnya mencari pengganti istrinya yang meninggal. “Kematian dianggap sebagai batas akhir relasi manusia dengan dunia. Orang meninggal tidak ada hubungan apapun dengan orang hidup.”

Stefanus merasa, keinginan untuk menikah bukan semata-mata karena dorongan dari kebiasaan yang berlaku di dalam masyarakat. Ia meyakini, hidup pernikahan bertujuan untuk bisa bersama-sama membagi tanggung jawab dalam rumah tangga. Dalam hal ini, ia menganggap kehadiran seorang wanita dalam hidup menjadi penting.

Agar pernikahan tidak hambar, dan agar jejak hidup Lin terus dikenang, Stefanus lalu menikahi seorang wanita Kristen yang saleh. Istri kedua Stefanus berasal dari keluarga terpandang di Korea Selatan.

Dalam membangun rumah tangga, Stefanus merasakan bila pernikahan bertujuan untuk kesenangan, mereka akan cenderung cepat bosan satu sama lain. Terutama apabila tidak menemukan sesuatu yang menarik dari pasangan. Maka, ia baginya yang perlu dilakukan setiap pasangan adalah maju dan bertumbuh bersama. Salah satu cara yang dilakoni keluarganya adalah memberi diri untuk melayani orang-orang Kristen.

Pelayanan ini bukanya tanpa bahaya, Stefanus sadar, saat itu Korea sedang dalam masa suram. Di zaman Dinasti Joseon, dinasti yang didirikan Raja Yi Seong-Gye (1335-1408), ajaran Konfusianisme mendominasi kepercayaan dan pemikiran masyarakat Korea. Pada zaman keemasannya, ajaran Konfusianisme dipraktikkan bersamaan dengan Buddhisme, Taoisme, dan Shamanisme (kepercayaan yang dianggap cikal bakal Konfusianisme).

Ketika berkuasa, Dinasti Joseon menolak ajaran Katolik, karena dianggap akulturasi budaya barat. Raja lalu mengeluarkan Maklumat Seohak yang menolak semua ajaran Barat. Dengan kata lain, maklumat ini sebenarnya anti Kekristenan. Dalam situasi ini, banyak orang Kristen di kejar dan dibunuh termasuk para misionaris.

Di masa ini, Stefanus dan istrinya memberi hati bagi orang-orang Kristen yang dikejar-kejar karena iman akan Kristus. Mereka memperhatikan segala kebutuhan umat termasuk urusan makan minum. Tak lupa, pasutri ini memberi tempat bagi orang-orang Kristen yang melarikan diri dari kejaran tentara kerajaan.

Kehendak Allah
Perjuangan ini dilakoni bahkan sampai keduanya dianugeri seorang putri. Tetapi naas bagi keluarga Stefanus. Saat hendak melahirkan, sang istri meninggal dunia, menyusul anak dari istri pertamanya yang berumur tiga tahun. Kematian dua kekasih hatinya ini membuat Stefanus benar-benar putus asa. Kerap kali, ia bertanya, kenapa harus dirinya yang mengalami pengalaman duka ini? Ia telah melayani orang Kristen, apakah masih kurang bagi ukuran Tuhan?

Pertanyaan-pertanyaan ini membuat Stefanus merasa sia-sia melayani Tuhan. Ia sempat memikirkan untuk melepaskan imannya dan kembali ke iman asali sebagai seorang pagan. Tetapi niat itu diurungkannya karena kecintaan kepada orang-orang Kristen yang dikejar-kejar pihak kerajaan. Dalam peristiwa duka ini, Stefanus ingat sosok St Yusuf, suami Maria, seorang yang bijaksana. Yusuf tidak pernah tampak dalam Kitab Suci, tetapi ketokohannya membuat Yusuf dikenal sebagai pribadi yang menerima kehendak Allah- mengambil Maria sebagai isterinya.

Pria yang lahir di Gyeonggi-do sekitar tahun 1787 ini berusaha merefleksikan peristiwa-peristiwa dalam hidupnya itu. Ia memutuskan tidak menyalahkan diri apalagi Tuhan. Lambat laun, ia bisa memasrahkan hidupnya kepada Tuhan. “Segala kehendak yang terjadi, biarlah atas kehendak Tuhan,” Stefanus berikrar.

Mulailah jalan panjang pelayanan Stefanus seorang diri. Ia tampil sebagai seorang katekis yang bersedia melayani kemana pun. Konon, Stefanus melayani dari wilayah Eulhae (1815), Junghae (1827), Gihae (1839), sampai wilayah Byungin (1866). Setidaknya puluhan orang telah dibaptisnya.

Karya pelayanannya ini berakhir setelah dirinya ditangkap di Byungin, saat ia hendak mengajarkan katekismus, kepada penganut agama Konfusianisme. Ia lalu dihadapkan ke sidang kerajaan. Beberapa kali, ia ditawarkan untuk melepaskan imannya, tetapi Stefanus menolaknya. “Seribu kali anda bertanya, saya tidak akan melepaskan iman saya. Kristus yang disalibkan adalah perintah bagiku untuk rela menderita seperti diri-Nya,” sebut Stefanus sebelum wafat.

Katekis rendah hati ini lalu dijebloskan dalam penjara bersama beberapa orang Kristen lainnya. Dalam kurungan itu, ia tetap tampil sebagai pemberi harapan bagi orang-orang Kristen. Bersama beberapa imam yang dipenjara, Stefanus terus melatih dan mengajarkan pelajaran-pelajaran dasar iman Kristen kepada beberapa remaja yang juga ikut tertangkap. Tahun 1840, Stefanus divonis bersalah dan dicekik hingga mati. Kematiannya menambah daftar kematian para martir Korea di zaman Dinasti Joseon.

Pada 9 Mei 1925, Paus Pius XI menyetujui dekrit kekudusan Stefanus dan menyatakannya sebagai venerabilis. Ia dibeatifikasi oleh Paus yang sama pada 5 Juli 1925. Dalam kunjungan Paus Yohanes Paulus II ke Korea Selatan pada 2-12 Mei 1984, Beato Stefanus Min Ku Ka dibeatifikasi bersama 103 martir Korea Selatan. St Stefanus dan para martir tersebut dikenang setiap tanggal 20 September.

Yusti H. Wuarmanuk

HIDUP NO.23 2019, 9 Juni 2019

1 KOMENTAR

  1. Semestinya ini subjek yang bagus dan menarik. Sayangnya ditulis dengan kurang baik dan terlalu banyak opini pribadi.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini