Menghujat Roh Kudus

4122

HIDUPKATOLIK.com – Mengapa menghujat Roh Kudus merupakan dosa yang tidak bisa diampuni? Seperti apa praktik penghujatan terhadap Roh Kudus?

Susi, Pangkal Pinang

Sebelum memberikan penjelasan tentang dosa menghujat Roh Kudus, ada baiknya mengenal dulu bagaimana iman Katolik memahami apa itu dosa dan sejauh mana dosa itu disebut berat. iman Katolik memahami perbuatan sebagai dosa merupakan perbuatan yang dilakukan sebagai penghinaan terhadap Allah (KGK 1850). Sebagai dosa, dosa dinilai berdasarkan bobotnya, yaitu berat atau ringan. Ukuran yang dipakai untuk menyatakan berat atau ringannya dosa ini berasal dari sikap manusia terhadap sejauh mana dia menghina Allah.

Dosa berat merusakkan kasih di dalam hati manusia oleh satu pelanggaran berat melawan hukum Allah (bdk. KGK 1855). Sebaliknya, dosa ringan dilakukan oleh manusia dengan membiarkan kasih Allah itu tetap ada walaupun manusia telah melukainya. Kedua dosa ini tetapi diampuni ketika manusia mau menyesali dosa yang dilakukannya dan berbalik kepada Allah dengan bantuan rahmat-Nya.

Ungkapan menghujat Roh Kudus sesungguhnya diungkapkan oleh Tuhan Yesus sendiri dalam Injil (Bdk. Mat 12:31; Mrk 3:29). Pengungkapan ini hendak menunjukkan bahwa dosa yang dilakukan oleh manusia ini bukan lagi sekedar soal berat atau ringannya dosa (berdasarkan bobot dosa) saja, tetapi dosa yang diperbuat oleh manusia sebagai bentuk penolakan, yaitu tidak menerima Roh Kudus dalam hidup. Secara jelas, Injil menunjukkan kepada kita apa itu Roh Kudus. Roh Kudus merupakan Roh Penghibur (parakletos= παράκλητος) yang diutus oleh Bapa dalam nama Tuhan Yesus (Bdk. Yoh 14:26).

Sebagai Roh Penghibur, Roh Kudus ini merupakan Roh yang memberikan kepada manusia petunjuk untuk melakukan tindakan yang benar dan baik dalam hati nurani manusia. Roh Kudus ini merupakan Roh yang menuntun manusia untuk hidup sesuai dengan kehendak Allah dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, Roh Kudus ini memberikan dan menawarkan keselamatan kepada manusia melalui pertobatan atas segala pelanggaran dan kesalahan yang dilakukan. Maka, “menghujat Roh Kudus” itu sebenarnya berarti manusia melakukan bukan saja penghinaan terhadap Allah tetapi juga menolak Allah yang hadir dalam diri Roh Kudus.

Bagaimana bentuk konkret penghujatan Roh Kudus ini dalam kehidupan orang? Di atas telah disebutkan bahwa “menghujat Roh Kudus” berarti “menolak Yesus sendiri dan menolak Allah”. Maka, penghujatan terhadap Roh Kudus itu pertama-tama bukan berkata-kata yang tidak baik akan Roh Kudus atau berkata-kata melawan Yesus (Bdk. Luk 12:10), tetapi penghujatan ini terjadi ketika seorang itu benar-benar menolak tawaran keselamatan yang diberikan Kristus melalui salib-Nya untuk menghapus dosa manusia (Bdk. Yohanes Paulus II, Dominum et Vivificantem, 46). Ini sesungguhnya merupakan bentuk penolakan kasih Yesus secara total dengan melakukan ketidaktaatan pada Dia: “Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti perintah-Ku” (Yoh 14:15).

Penolakan kasih ini dilakukan secara konkret yaitu ketika seorang sadar akan dosa-dosanya tetapi tidak mau datang menerima Sakramen Tobat (Bdk. KGK 1864), sebagai buah kasih Allah kepada manusia dalam hidupnya. Tindakan ini sebenarnya merupakan kesombongan dalam diri manusia yang menganggap mampu melakukan segala sesuatu tanpa Allah. Dia tidak mau mengasihi Allah tetapi mengasihi dirinya sendiri dengan ketegaran hati yang sudah beku. Maka, orang semacam ini tidak akan pernah mendapatkan ampun selama-lamanya karena telah berbuat dosa kekal (Bdk. Mrk 3:29).

Pastor Yohanes Benny Suwito

HIDUP NO.18 2019, 5 Mei 2019

1 KOMENTAR

  1. The last paragraph doesn’t seem to be relatable to the context. You are free to say your opinion, but the text from the Bible that states about blasphemy of the Spirit is absolute, the sacrament of reconciliation is not an absolute matter in this context. Yet you cited an article from the Catechism of the Catholic Church which the particular article (1864) does not speak about the repentance of a person (is only) by confessing in the sacrament of reconciliation. It is very unacceptable when you say if a person rejects to receive the sacrament of reconciliation is doomed with eternal and unforgivable sin. Please be careful with your statement and not just stating your ego or pride as priest so it won’t create confusion to your readers. Thank you.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini