Mgr Nicolaus Adi Seputra MSC : Perlu Gerakan Penyadaran Berkesinambungan

368
[dok.Kawali.org]

HIDUPKATOLIK.com – Perempuan dan laki-laki setara dan bersama-sama saling mengembangkan dan membangun hidup yang penuh dalam keluarga.

Skretariat Gender dan Pemberdayaan Perempuan (SGPP) kini menjadi ujung tombak Gereja Katolik Indonesia untuk turut berjuang dalam mewujudkan setara gender. Untuk semakin memahami apa saja peran SGPP, berikut petikan wawancara dengan Mgr Nicolaus Adi Seputra MSC. Uskup Agung Merauke ini adalah moderator SGPP Konferensi Waligereja Indonesia.

Mengapa SGPP ini didirikan?

SGPP menjadi tanda bahwa kita peduli soal gender ini. Lewat SGPP, harapannya pemahaman akan gender di kalangan perempuan semakin memadai. Sehingga, keadilan dan kesetaraan gender itu bisa dirasakan di mana-mana. Memang, pemahaman gender ini masih banyak yang belum tahu dengan baik. Masih banyak yang belum peduli.

Isu ini adalah isu kemanusiaan tentang martabat manusia. Karena itu, terbukalah mata kita, bahwa persoalan gender itu penting. Berjejaring, berkomunikasi itu penting. Dibutuhkan juga gerakan-gerakan yang berkesinambungan dan berenjang, sehingga seemakin berbobot. Bukan hanya pada tataran pengetahuan, tetapi pemberdayaan itu perlu tindak lanjut yang konkret.

Mengapa pada Pertemuan Nasional SGPP 23-26 Mei ini mengangkat tema “Kesetaraan Perempuan dan Laki-laki dalam Keluarga sebagai Citra Allah”?

Peranan keluarga itu penting. Pemberdayaan gender ini mau tidak mau dimulai juga di dalam keluarga. Laki-laki dan perempuan saling menghargai, mencintai, berkomunikasi, melengkapi, bekerjasama untuk melengkapi dunia. Dalam cahaya iman, mereka ini adalah utusan-utusan Tuhan Allah. Laki-laki dan perempuan diciptakan secitra dengan Allah untuk menyempurnakan dunia.

Sebenarnya, apa saja kasus yang terjadi terkait kesetaraan gender dalam keluarga?

Ada kekerasan. Sebelum kekerasan itu ada pemahaman yang keliru, yang sudah terjadi sekian lama. Umpamanya, perempuan itu bekerjanya di rumah; masak, urus anak, lemah lembut, tunduk kepada suami. Untuk yang seperti itu kan tidak perlu sekolah.

Sebaliknya, laki-laki harus cari makan, berelasi dengan orang, untuk itu kan perlu sekolah. Jadi kalau pembagiannya jelas, perempuan itu urusan di dalam rumah, dan laki-laki di luar rumah, dan itu sudah terjadi sejak dulu, ya sudah.

Tapi kemudian, ketika suami pulang dari kerja, tidak ada makanan dan merasa itu adalah tugas sang istri, maka si lelaki kesal dan merasa boleh memukul istrinya. Ia merasa sudah melaksanakan tugasnya di luar rumah, ketika pulang kemudian merasa itu haknya. Jika istri keluar rumah, itu salah dan dipukul kembali.

Itu sudah tercetak seperti itu. Lelaki boleh memukul, sedangkan istri tidak boleh memukul. Itulah pembagian peran yang kurang dipahami bersama yang akhirnya menimbulkan kekerasan.

Untuk mengurangi itu dilakukan penyadaran-penyadaran. Lelaki tidak hanya bisa menuntut haknya, tetapi juga punya tanggung jawab menjaga anak dan istri. Itu sudah terjadi berabad-abad lamanya, seolah istri harus menyerah bahkan taat tunduk. Itu perlu perubahan.

Apa kunci utama relasi suami dan istri?

Pertama, pasangan adalah nomor satu, yang memberikan dan diberikan pengertian dan penghargaan. Komunikasikan dengan jujur perkembangan-perkembangan yang terjadi. Perlu ada waktu untuk berdua untuk mengokohkan lagi (relasi suami-istri-red). Mungkin dalam perjalanan sudah capek, maka itu butuh istirahat dan mengokohkan lagi ikatan suami istri. Ketika suami dan istri bekerja, mereka bekerja untuk keluarga.

Kedua, perlu bapak rohani atau orang bijak yang bisa mengingatkan, bisa meredam emosi, juga sebagai mediasi. Ketiga, setiap hari dibina dengan rasa syukur atas apa saja. Banyak alasan untuk bersyukur. Saling terbuka, menyadari bahwa masing-masing memiliki keterbatasan dan kekurangan, siap dikoreksi dan siap untuk ditolong.

Dengan kata lain, syukur itu dibarengi dengan pertobatan, pengampunan. Jika punya salah, minta maaf, baik yang meminta maaf dan yang memaafkan akan lega.

Apa harapan ke depan?
Harapannya pemahaman akan gender ini makin sempurna. Oleh karena itu perlu penggerak-penggerak yang jumlahnya banyak, laki-laki dan perempuan dari tingkatan generasi. Melibatkan banyak lembaga untuk berjejaring. Perlu juga pembinaan berkelanjutan. Kumpul-kumpul ini penting, bukan sekadar kumpul-kumpul, lalu kelihatan bahwa kita bukan kerja sendiri tetapi ada pencerahan, ada hal baru yang dipahami. Juga ada tantangan-tantangan baru sehingga dihadapi secara bersama-sama. Sehingga ini betul menjadi gerakan bersama oleh umat, bersama umat, dan gembala Gereja.

Untuk keluarga-keluarga Katolik harapannya bahwa bahan tentang gender ini bisa menjadi bahan katekese, kepada anak-anak, remaja, calon komuni pertama, krisma, perkawinan, pasangan-pasangan ME, dan sebagainya. Karena ini sebenarnya adalah bahan yang membicarakan tentang kemanusiaan, khususnya tentang peran laki-laki dan perempuan. Perilaku dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Karena gender ini dibangun oleh masyarakat secara sosial dan budaya, jadi laki-laki dan perempuan ini yang berkepentingan untuk memahami. Jika keliru ya diperbaharui sehingga mendapatkan pemahaman yang adil dan benar, sehingga adil bagi manusia yang diciptakan Tuhan sebagai laki-laki dan perempuan.

Marchella A. Vieba

HIDUP NO.19 2019, 12 Mei 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini